Senin, 11 April 2011

Problematika dalam Perbandingan pendididkan


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia dan alam semesta, satu hal yang menjadi hokum alam yang selalu menghampiri dan menemani kehidupan, baik dalam keadaan sadar atau tidak, ikhlas atau tidak, kehidupan akan selalu menerima tamu perubahan. Problemnya adalah apakah perubahan tersebut membawa pada perbaikan atau menjerumuskan kita pada kemunduran atau berubah ke arah yang negative. Tentunya sebagai generasi terdidik kita akan selalu merindukan perubahan tersebut kearah yang positif.
Menurut Kasali (2005), perubahan itu bagaikan badai Tsunami atau angin tornado. Ia memiliki kekuatan menghancurkan yang sangat luar biasa. Setelah terjadinya perubahan, hal-hal yang dimunculkan tampak begitu aneh/asing (strange).
Perubahan dunia selalu mengajarkan kepada kita bahwa untuk dapat menang di dalam setiap persaingan harus memiliki kemampuan beradaptasi. Kemampuan beradaptasi menjadi dasar dari segala strategi. Dan menurut penulis untuk dapat beradaptasi, maka kita harus mampu membandingkan dua keadaan yang berbeda yaitu keadaan dalam diri kita dan keaadaan di luar diri kita (lingkunagan) tempat kita beradaptasi. Dalam Al Qur’an sendiri telah dijelaskan bahwa perubahan itu harus muncul dari dua arah yaitu dalam diri kita dan luar diri kita.
Dalam dunia pendidikan-pun akan selelu mengalami perubahan, sebagai contoh setiap detik teknologi informasi, dan komunikasi mengalami perubahan dan menyentuh dunia pendidikan, di belahan dunia banyak Negara maju dengan perubahannya, berkembang bahkan mundur kerena tidak mempu menyikapi perubahan. Indonesia termasuk Negara yang sedang berkembang, salah satu langkah untuk bisa menjadi Negara yang maju adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya, dan cita-cita tersebut sulit untuk diraih ketika kita tidak beajar dari Negara-negara yang sudah maju. Oleh karena itu sangat urgen sekali kita membandingkan antara pendidikan dalam Negara kita dengan pedidikan internasional (Negara-negara) lain. Sehingga dengan demikian maka kita akan mengetahui kelemahan dan kelebihan dalam dunia pendidikan kita, yang akhirnya cita-cita perbaikan pendidikan kita akan terwujud. Begitupun ketika kita tarik perhatian perbandingan pendidikan ini ke dalam Islam, maka Islam sangat menjunjung tinggi adanya perbedaan dalam segala ruang kehidupan, termasuk di dalamnya perbedaan dalam pendidikan. Di isyaratkan oleh baginda Rasulullah dalam hadisnya “Uthlubul ‘Ilmi Walau Bissin” (tuntutlah ilmu hingga ke Negeri Cina). Bilakita cermati makna hadis tersebut secala luwes dan dalam maka kita akan menemukan isyarat bahwa ada perbedaan pendidikan di negeri Arab (waktu itu) dengan Negeri Cina yang mungkin secara lembaga dan menajemennyalebih maju. Sehingga diharapkan dengan pertukaran ilmu tersebut dapat memberikan nilai plus untuk perbaikan pendidikan secara local. Namun dalam semua itu, setiap ada hal atau obyek, maka pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Kekuarangan inilah yang kemudian menjadi masalah/problem. Dalam makalah atau karya ini akan dideskripsikan berbagai Problematika dalam ilmu perbandingan pendidikan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan penulis sadar diberbagai belahan tulisan ini terdapat kekuarangan, maka untuk lebih memperkaya khazanah keilmuan kita, penulis mohon diberi masukan dan kritik yang membangun untuk sempurnannya karya ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kalimat Problematika dalam ilmu perbandingan pendidikan secara difinitif dapat dijelaskan perkata yaitu Problematika, dalam kamus ilmiah diartikan sebagai masalah atau perkara sulit dimana akar kata tersebut diambil dari kata Problem atau problema.
Kata perbandingan, dalam bahasa inggris diterjemahkan dengan istilah Comparative yang memiliki arti bersamaan atau sama. Dan kata pendidikan dikenal dengan istilah education. Jadi kata perbandingan pendidikan dapat diartikan dengan Comparative education yang bila ditarik dari pengertian etimologis di atas, maka dapat kita jelaskan sebagai usaha melihat kesamaan dalam pendidikan dan problem-problem juga latar belakangnya. Maka menurut penulis problematika dalam ilmu perbandingan pendidikan dapat diartikan sebagai problem yang timbul dalam membahas atau melihat kesamaan kegiatan pendidikan.
Pengetian secara terminology dapat kita lihat dan analisa dari beberapa pendapat pakar yaitu sebagai berikut.
I.L. Candel dalam bukunnya Comparative Education, mengatakan bahwa pendidikan perbandingan adalah studi mengenai teori dan praktek pendidikan sekarang, sebagaimana dipengaruhi oleh bermacam-macam latar belakang dan merupakan kelanjutan dari sejarah pendidikan. Di sini Candel menunjukkan bahwa ketika kita membahas perbandingan pendidikan, maka kita harus mempelajari lintas teori dan praktek pendidikan sekarang dengan megingat berbagai macam latar belakang, yang diantaranya adalah sejarah karena historis pendidikan masa lampau akan mempengaruhi praktek pendidikan modern sekarang. Sejarah pendidikan tidak bisa kita lupakan karena mata rantai pendidikan dari zaman ke zaman selalu berhubungan dan sifatnya sistematis.
Tokoh lain yang mendefinisikan perbandingan pendidikan adalah Carter V. Good. Dikemukakannya bahwa pendidikan comparative adalah lapangan studi yang bertugas mengadakan perbandingan teori dan praktek pendidikan yang dimiliki beberapa negeri dengan meksuk untuk mengadakan perluasan pemandangan dan pengetahuan di luar batas negeri sendiri.
Kalau Candel lebih menitik-beratkan pada latar belakang sejara, maka Carter, dapat kita katakan lebih menitik-beratkan pada kegiatan penelitian perbandingan praktek pendidikan antar Negara, jadi mengandung jiwa kepraktisan. Namun terbebas dari perbedaan pendapat dua tokoh tersebut, kita tidak melihat pertentangan melainkan saling mengisi dan melengkapi antara keduanya. Sebab antara kedua pendapat tersebut menurut penulis sama-sama membandingkan teori dan praktek pendidikan baik dari masa ke masa suatu Negara atau internasional maupun teori dan praktek lintas Negara internasional yang tujuannya adalah sama-sama meneliti dan mempelajari untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dalam suatu Negara.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu perbandingan pendidikan merupakan disiplin ilmu atau pengetahuan yang menfokuskan diri pada penelitian perbandingan teori dan praktek pendidikan lintas waktu, lembaga dan Negara internasional yang dipengaruhi oleh berbagai macam latar belakang, dan yang menjadi inti pokok Ilmu Perbandingan Pendidikan itu adalah studi tentang sebab-sebab yang menimbulkan problematika kependidikan dan pengajaran serta sebab-sebab yang dapat menimbulkan persamaan dan perbedaan antara sistem-sistem yang ada di Negara-Negara yang berbeda tersebut.
Dalam Islam jauh sebelum teori perbandingan pendidikan dirumuskan, telah diisyaratkan oleh Rasulullah baik lewat Firman Allah SWT (Al-Qur’an). maupun lewat hadis beliau bahwa perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang tujuan semua itu adalah rahmah dan perbaikan. Begitupun dalam pendidikan dan teori perbandingannya, Dalam hadis beliau mengisyaratkan “Uthlubul ‘Ilmi Walau Bissin” (Tuntutlah ‘Ilmu Hingga Ke Negeri Cina). Bila kita mencermati hadis tersebut dengan baik dan dalam, maka kita akan menemukan isyarat bahwa kita harus sadar akan perbedaan tingkat pendidikan dari tiap Negara dan tidak menutup diri dari perbedaan tersebut. Dari hadis di atas sesungguhnya memberikan isyarat bahwa kita seyogyanya tidak egois dan menutup diri, kita harus berani mempelajari teori dan terapan orang lain hingga memperkaya khazanah dalam diri dan tentunya juga dapat menyumbang untuk orang lain.
Di sisi lain Abdul Rahman As-Segaf mengemukakan salah satu pandangan Carter V. Good. Yang menyertakan factor-faktor eksternal yang mempengaruhi pendidikan, bahwa perbandingan pendidikan adalah studi tentang kekuatan-kekuatan pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi dalam hubungan internasional dengan tekanan pada dan bentuk pendidikan. Dengan tujuan meningkatkan saling pengertian dengan jalan saling tukar-menukar sarana pendidikan, teknik dan metode pendidikan dan pengajaran, siswa, mahasiswa, guru, dosen, teksini dan lain-lain. Sedangkan pandangan Robert R. Arnove, sebagaimana dikemukakan Abdul Rahman As-Segaf, menyatakan tentang tujuan kajian pendidikan sebagai berikut: “Perbandingan pendidikan mengkaji bagaimana negara-negara berencana memperluas, meningkatkan, dan melakukan upaya demokratisasi terhadap system pendidikan mereka”.
Kesimpulan terhadap pengertian perbandingan pendidikan ini menurut Arifin , antara lain:
1. Ilmu perbandingan pendidikan adalah studi tentang sistem pendidikan dan pengajaran beserta problematika-problematikanya dalam negara-negara yang berbeda. Masing-masing sistem dan problematika tersebut diusut sampai kepada sebab-sebab sebenarnya yang berada dibalik sistem dan problematikanya tersebut.
2. Ilmu perbandingan pendidikan dapat juga diartikan sebagai studi tentang pendidikan dan pengajaran di negara yang berbeda-beda, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Ilmu perbandingan pendidikan juga diartikan sebagai studi tentang teori-teori kependidikan dan pengajaran serta bagaimana pengamalan atau pengetrapannya di negara-negara yang berbeda itu dengan memperbandingkan antara teori-teori tersebut sehingga diketahui persamaan dan perbedaannya serta mengembalikan kepada latar belakangsumberyangmempengaruhinya.
Sedangkan kesimpulan perbandingan pendidikan menurut Abdul Rachman Assegaf , antara lain:
1. Perbandingan pendidikan adalah perbandingan teori dan praktik pendidikan antarnegara dengan tinjauan terhadap faktor yang berpengaruh ataupun sejarah perkembangannya dalam rangka pengembangan sistem pendidikan mereka.
2. Perbandingan pendidikan berkaitan dengan sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku di suatu Negara.
3. Perbandingan pendidikan juga berhubungan dengan perbandingan antar tokoh, konsep, ataupun institusi pendidikan antar negara.
Seperti yang penulis katakana di bab pendahuluan bahwa seyogyanya perbandingan adalah terdapat dua hal atau dua aspirasi yang dibandingkan dan akan dikembangkan artinya persamaan dan perbedaan sistem kependidikan dan pengajaran yang terdapat di negara-negara manapun di dunia ini, baik di Barat maupun di Timur, pada hakekatnya ditentukan oleh aspirasi bangsa bangsa yang berjuang untuk mencapai cita cita masing masing, begitupun Indonesia memiliki landasan aspirasi nasional sendiri. Di bawah sedikit penulis jelaskan beberapa aspirasi nasional yang mendasari konsep perbandingan pendidikan.
a. Tahun 1921, berdiri lembaga pendidikan yang kita kenal dengan “Taman Siswa”. N Azas ini merupakan usaha menentang pendidikan yang berdasarkan asas kebudayaan barat, khususnya belanda wktu itu. Usaha ini merupakan sebuah rumusan yang memberikan peluang terhadap timbulnya usaha saling mengerti internasional.
b. Inspirasi nasionalisme, dalam pengertian secara luas yaitu kualitas kejiwaan yang berlandaskan hidup bersama/gotong royong, kesadaran bersama dan harga diriyang timbul dari masyarakat kebudayaan. Dan masih banyak inspirasi yang lain yang menjadi konsep perbandingan itu sendiri seperti rumusan GBHN dalam bentuk susunan pembangunan nasional. Dalam politik, Indonesia terus memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian yang abadi. Dan lain-lain.
Salah satu contoh perbandingan pendidikan ini, dapat diambil perbandingan kebijakan pendidikan antara pendidikan AS dengan Indonesia.
Amerika Serikat adalah salah satu negara pelopor demokrasi. Sudah sejak lama kebijakan pendidikan di Amerika Serikat menjadi tanggung jawab Pemerintah Negara Bagian (State) dan Pemerintah Daerah (Distrik). Sebelumnya, Pemerintah Pusat memang mengintervensi kebijakan pendidikan, sebagaimana yang terjadi sejak tahun 1872, dimana Pemerintah Pusat AS mengintervensi kebijakan pendidikan dengan cara memberikan tanah negara kepada Negara Bagian untuk pembangunan fakultas-fakultas pertanian dan teknik; membantu sekolah-sekolah dengan program makan siang, menyediakan pendidikan bagi orang-orang Indian; menyediakan dana pendidikan bagi para veteran yang kembali ke kampus untuk menempuh pendidikan lanjutan; menyediakan pinjaman bagi mahasiswa; menyediakan anggaran untuk keperluan penelitian, pertukaran mahasiswa asing dan bantuan berbagai kebutuhan mahasiswa lainnya; serta memberikan bantuan tidak langsung (karena menurut ketentuan Undang-Undang Amerika Serikat pemerintah dilarang memberikan bantuan langsung) kepada sekolah-sekolah agama dalam bentuk buku-buku teks dan laboratorium. Namun semenjak masa Pemerintahan Presiden Ronald Reagen,intervensi Pemerintah Pusat AS terhadap pendidikan mulai dikurangi. Selanjutnya tanggung jawab dan inisiatif kebijakan pendidikan diserahkan kepada Negara Bagian (setingkat Propinsi) dan Pemerintah Daerah/Distrik (setingkat Kabupaten/Kota). Di Amerika Serikat terdapat 50 Negara Bagian dan 15.358 Distrik. Jadi sebanyak itu lembaga yang diberi kewenangan dan otonomi untuk mengelola pendidikan.
Tujuan Pendidikan AS
Sebagaimana dideskripsikan di atas bahwa karakteristik utama politik system pendidikan Amerika Serikat adalah menonjolnya DESENTRALISASI. Pemerintah Pusat sangat memberi otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah di bawahnya, yaitu Negara Bagian dan Pemerintah Daerah (Distrik). Meskipun Amerika Serikat tidak mempunyai system pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional, akan tetapi bukan berarti tidak ada rumusan tentang tujuan pendidikan yang berlaku secara nasional. Tujuan system pendidikan Amerika secara umum dirumuskan dalam 5 poin sebagai berikut:
a. Untuk mencapai kesatuan dalam keragaman;
b. Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi;
c. Untuk membantu pengembangan individu;
d. Untuk memperbaiki kondisi social masyarakat; dan
e. Untuk mempercepat kemajuan nasional.
Di luar 5 tujuan tersebut, Amerika Serikat mengembangkan visi dan missi pendidikan gratis bagi anak usia sekolah untuk masa 12 tahun pendidikan awal, dan biaya pendidikan relative murah untuk tingkat pendidikan tinggi.
Sumber pendanaan pendidikan di Amerika, khususnya pendidikan dasar dan menengah, yang lebih dikenal dengan PUBLIC SCHOOLS, berasal dari Anggaran Pemerintah Pusat (Federal), Anggaran Pemerintah Negara Bagian dan Anggaran Pemerintah Daerah.
Yang lebih teknis (yaitu; tentang kurikulum sekolah, penentuan persyaratan sertifikasi, guru-guru, dan pembiayaan sekolah) dibentuk sebuah bagian pendidikan yang disebut sebagai COMISSIONER, sering juga disebut sebagai SUPERINTENDENT. Bagian ini dipimpin oleh seorang yang ditunjuk oleh Board of Education atau oleh Gubernur
Isu-isu Pendidikan AS
Menurut hasil studi perbandingan yang dilakukan oleh Agustiar Syah Nur (2001), ada beberapa isu dan masalah pendidikan yang dialami pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat, antara lain:
a. Banyaknya anak usia sekolah yang tidak diasuh langsung oleh orang tua mereka, karena adanya dinamika perubahan social masyarakat AS yang umumnya baik sang ibu atau sang ayah memiliki kesibukan yang sangat tinggi di luar rumah. Hal ini akan menjadi permasalahan yang serius bagi perkembangan social anak dilihat dari aspek psikis dan emosional.
b. Tingginya tingkat perceraian, yang mengakibatkan banyaknya anak-anak usia sekolah yang hanya diasuh oleh sang ibu sebagai single-parent dalam rumah tangga. Tidak sedikit janda cerei di AS yang terpaksa harus berporfesi rendahan dan kasar. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan social anak-anak mereka.
c. Tingginya tingkat imigrasi yang umumnya berasal dari kalangan tidak mampu dan tidak terdidik, yang karenanya banyak diantara mereka yang tidak memperoleh pekerjaan yang layak. Hal ini menyebabkan masalah pendidikan anak-anak dari keluarga imigran tidak dapat teratasi. Ditambah lagi factor bahasa dari kalangan imigran yang menyulitkan bagi anak-anak imigran itu sendiri jika mereka mendapat akses pendidikan.
d. Dari berbagai monitoring dan evaluasi pendidikan yang dilakukan oleh berbagai badan resmi AS sendiri, ternyata kualitas pendidikan dan lulusan sekolah di AS masih kalah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam standar internasional. Banyak anak-anak yang drop-outs dan tingginya kekerasan oleh anakanak.

Politik Pendidikan Indonesia
Politik pendidikan di Indonesia agaknya mengalami pergeseran dari sentralistik (terpusat) ke desentralisasi. Amal mula intervensi negara terhadap sector pendidikan ini sangat besar, sangat kental, dan sangat vulgar. Keadaan mencapai puncaknya saat kementerian pendidikan dipegang oleh Daoed Joesop. Saat itu tidak ada satupun kebebasan dalam sekolah dan kampus. Bahkan berbeda pendapat pun tidak dimungkinkan.
Sekolah dan kampus tak ubahnya kelas besar untuk indokrinasi ideology pemerintah (bukan ideology negara) yang tidak menginginkan adanya kritik terbuka. Kurikulum didisain sedemikian rupa sehingga mata-mata pelajaran yang sifatnya politis menjadi sangat dipentingkan. Mata pelajaran Pancasila, Sejarah, Kewiraan, dan bahkan agama didisain untuk mengentalkan intervensi negara kepada otak, pikiran dan sikap warga negaranya. seiring dengan kejatuhan rejim ‘orde baru’ yang interventif tersebut, yang dijatuhkan oleh adanya gerakan reformasi total masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa dan kalangan terpelajar, datanglah era yang penuh semangat untuk mengurangi peran dan campur tangan pemerintah pusat dalam menangani berbagai permasalahan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan.
Inspirasi pertama muncul dari diundangkannya otonomi daerah secara reformis, yaitu UU No.22 tahun 1999. Dikatakan secara reformis karena sebelum ini memang sudah pernah ada UU otonomi daerah tetapi tidak memiliki ruh reformasi dan hanya formalitas, yaitu UU No.5 tahun 1975. UU otonomi daerah yang baru itu mengilhami dirumuskannya kebijakan desentralisasi pendidikan.Dalam bukunya yang berjudul ‘Membenahi Pendidikan Nasional’, Prof. H.A.R. Tilaar (2002), menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia bukan saja sekedar keinginan dan kemauan, tetapi sudah merupakan suatu keharusan. Pasca gerakan reformasi politik dicanangkan pada tahun 1998, ke depan ini bangsa Indonesia harus bangkit menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat, yang berarti sektor pendidikan harus ditempatkan pada posisi pentring dan urgen.
Berkaitan dengan urgensi sektor pendidikan itu maka harus dilakukan reformasi dalam pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi. Ada 3 hal yang dapat menjelaskan urgensi desentralisasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. Untuk pembangunan masyarakat demokrasi;
b. Untuk pembangunan social capital; dan
c. Untuk peningkatan daya saing bangsa;
B. Tinjauan Historis
Secara historis perbandingan pendidikan ini, pada awal mula kemunculannya disebut sebagai pendidikan internasional. Setelah disiplin ilmu ini berkembang kemudian barulah disebut sebagai comparative education. Kemunculan disiplin ilmu ini dalam bidang pendidikan memunculkan dua versi penyebutan, ada yang menyebutnya dengan istilah pendidikan perbandingan dan ada pula yang menyebutkannya dengan istilah perbandingan pendidikan. Awalnya, pendidikan Internasional dikenal sebagi usaha dalam forum internasional untuk mewujudkan harmoni dan perdamaian internasional dengan pendidikan sebagai alatnya. Dan dengan usaha inilah maka timbul berbagai lembaga pendidikan yang diberi nama lembaga pendidikan internasional.
Banyak tokoh-tokoh pendidikan yang menempatkan dirinya sebagai perintis pendidikan inhternasional diantaranya adalah Pioro Du Bois (1250 -1321), seorang tokoh yang menjadi penasehat Raja Philips IV dari Prancis, mengusulkan didirikannya sekolah internasional, namun tidak tercapai.
Francis Bacon (1561-1626), filsuf dan ahli ilmu pengetahuan Inggris, menuliskan cita-cita pendidikan internasionalnya sebagai The New Atlantis. Bacon mencita-citakan agar maksud yang mulia tersebut dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama antara para sarjana dalam perguruan tinggi yang diberi nama The Solomon’s House. Harapan bacon juga sebatas anga-angan saja.
Johann Amos Comenius (1592 - 2670), berusaha mendirikan perguruan tinggi yang bernama Pansophia. Namun cita-cita Johann-pun hanya impian belaka.
Usaha-usaha pendidikan intenasional pada abad ke-20 menunjukkan hasil-hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Perintisnya adalah Dr. Fannie Ferm Andrews, seorang ahli dalam hubungan internasional, tertarik mengembangkan pendidikan sebagai usaha perdamaian. Mengusulkan cita-citanya kepada Taft (Presiden AS) pada waktu itu dan diterima dengan baik.
C. Sifat-sifat pendidikan perbandingan
Pendidikan perbandingan mempunyai cirri-ciri yang ilmiah, kulturil, humanistic, komprehensif dan interdisipliner. Dikatakan ilmiah karena mempunyai kelengkapan sebagaiman ilmu pengetahuan pada umumnya, ialah mempunyai objek yang menjadi sasaran penelitian. Bersifat kulturil, karena termasuk dalam lingkungan ulmu pendidikan dan cabang disiplin ini termasuk dalam golongan ilmu-ilmu kebudayaan. Dikatakan humanistic karena focus utama dari padanya berasal dari inter-aksi manusia dengan lingkungan serta pengalaman-pengalamannya. Selanjutnya disebut komperehensif atau luas karena sifatnya yang interdisipliner. Berarti luasnya harus mencakup fakta penting dari ilmu-ilmu modern, yaitu yang dapat memberikan sumber-sumber penerangannya untuk kkeperluan studinya.

D. Lingkup Perbandingan pendidikan
Menurut W. Brickman, pendidikan perbandingan itu meliputi; (a) Deskriptif mengenai sistem pendidikan (termasuk statistik) negeri lain, dan penerangan mengenai persoalan-persoalan pendidikan, (b) Analisa mengenai latar belakang, problem-problem pendidikan dan berbagai pandangan mengenai problem yang kontroversil, (c) Perbandingan mengenai kesamaan dan perbedaan dari (a) dan (b), (d) Perbandingan dan penilaian dari sebab-sebab utama sebelum dan sesuadah diadakan problem baik yang biasa (a) maupun yang kontroversil (b).
Dari pandangan William di atas dapat kita analisa bahwa ruang lingkup perbandingan pendidikan harus diawali dengan penjelasan gambaran pendidikan diantara dua Negara atau lebih, kemudian dibandingkan dan dari perbandingan tersebut dapat kita lihat kelebihan dan kekuarangan masing-masing yang kemudian promblem-problem tersebut dapat kita carikan solusi untuk kematangan kebijakan pendidikan dalam Negara tersebut.
Selain William watak nasional juga diuraikan oleh Nicholas Hans dalam bukunya Komparative Education, dengan mengatakan, bahwa watak nasional itu adalah kesudahan atau hasil-hasil yang berasal dari macam-macam ras, berbagai bentuk adaptasi linguistic, gerakan-gerakan agama, situasi-situasi umum dari sejarah dan geografis suatu Negara atau bangsa.
Salaras dengan Nicholas Hans, Kandel juga mengemukakan pentingnya latarbelakang pendidikan. Kandel mengemukakan bahwa tidak cukup dengan anatomi pendidikan saja, akan tetapi harus didukung oleh; a. mekanisme dan teknik pendidikan, b. Administari, c. Kurikulum, d.Organisasi Sekolah, e.Jadwal sekolah, dan f. metode pengajaran.
Dari tiga pandangan di atas, ada perbedaan yang mendasar antara William dan Nicholas Hans dengan Kandel. William dapat kita lihat bahwa lingkup pendidikan komparatif cukup dengan mempelajari, mendeskripsikan berbagai persoalan pendidikan antar Negara yang kkemudian dianalisa dan dinilai yang kemudian dipelajari dan diterapkan. Berbeda dengan Kandel yang senada dengan Nicholas Hans, mengatakan bahwa tidak lingkup perbandingan pendidikan itu akan terasa sempurna dan memadai ketika dipelajari berbagai macam kekuatan dalam negri, baik yang bersifat humanistic, social, budaya maupun ang bersifat spiritual seperti agama dan faham-faham tertentu.
E. Langkah-langkah dan Problematika dalam perbandingan Pendidikan.
Ketika kita ingin mengadakan sebuah perbandingan pendidikan, tentunya kita terlebih dahulu harus memahami langkah-langkah apa saja yang harus kita tempuh dan apa problem yang akan kita hadapi, sehingga seyogyanya hal-hal yang dipelajari dapat diperbandingkan yang dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah “Comparable”. Dibawah ini penulis akan mendeskripsikan langkah-langkah-langkah dalam perbandingan pendidikan dan problem-problemnya.
Dalam hal ini Nicholas Hans mengemukakan bahwa langkah-langkahnya sebagai berikut:
Pertama; ialah mempelajari sistem pendidikan Negara-negara yang dipilihnya, terpisah satu sama lain. Entunya dengan mempelajari dari berbagai sumber, dan ditinjau dari hubungannya dengan sejarah, watak nasional juga kebudayaannya.
Kedua; mengumpulkan bahan mengenai sistem pendidikan sendiri . Sedapat mungkin semua aspek yang penting dipelajari, seperti dasar hokum, tujuan, jenjang pendidikan, bentuk-bentuk persekolahan, administrasi dan organisasi pendidikan.
Adapun masalah-maslah yang timbul dalam penrbandingan pendidikan, dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
1. Sebagaimana yang diuraikan oleh para pakar di atas, bahwa dalam perbandingan pendidikan, kurang lengkap ketika kita tidak mempelajari latar belakang dari pendidikan suatu Negara, seperti sejarah, politik, budaya, social masyarakat, ras, dan lain-lain. Keragaman latar belakang tersebut menjadi problem dalam perbandingan pendidikan, karena tidak mudah untuk mempelajari dan mendeskripsikan latar belakang tersebut.
Sebagai contoh ketika Prancis masih menguasai Afrika Barat sebagai jajahannya, menjalankan politik pendidikan yang berdasar atas keunggulan bangsa dan kebudayaan bangsa kulit putih. Hal ini tidak sesuai dengan situasi dan kondisi jajahannya. Kurang diperhatikan oleh Prancis bahwa yang dapat terjadi di Eropa, belum tentu dapat terjadi di Afrika.
2. Bahasa dapat menonjol dalam permasalahan pendidikan. Misalnya mengenai masalah penguasaan lebih dari satu bahasa (bilingulisme).
Tentu masalah bahasa dapat menjadi problem dalam perbandingan pendidikan, karena setiap Negara memiliki bahasa nasional, lebih-lebih antar benua. Asia bilingualism berbeda sifatnya dengan Eropa.
3. Panjang pendeknya kewajiban belajar dan kurikulum yang digunakan.
4. Kekurangan tenaga guru dan peningkatan mutu guru.
5. Dalam melakukan penelitian perbandingan pendidikan juga dibutuhkan kesiapan yang matang, baik dari peneliti, masyarakat sebagai penerima kebijakan, juga pemerintah secara umum sebagai pengambil kebijakan.
6. Lapangan-lapangan lain yang bersumber atas situasi dunia yang relevan dengan pendidikan. Msalnya keadaan di dunia yang sifatnya transisionil, rovolusioner, rekonstuktif , dan lain-lain.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Comparative education merupakan usaha melihat kesamaan, problem-problem dalam pendidikan lintas lembaga pendidikan dan Negara dengan mempelajari berbagai macam latar belakangnya yang bertujuan membandingkan yang kemudian dipelajari hasil-hasilnya untuk memperkaya dan mengembangkan pendidikan dalam negeri. Pendidikan perbandingan mempunyai ciri-ciri yang ilmiah, kulturil, humanistic, komprehensif dan interdisipliner.
Perbedaan adalah keniscayaan, Rasulullah SAW. dalam hadisnya “Uthlubul ‘Ilmi Walau Bissin” (tuntutlah ilmu hingga ke Negeri Cina). Hadis tersebut sesungguhnya mengisyaratkan adanya perbedaan dalam teori dan terapan pendidikan internasional dan seyogyanya kita sebagai bangsa yang berkembang dan maju dapat mengaplikasikannya dengan pempelajari dan saling tukar ilmu yang tujuannyauntuk saling melengkapi untuk kemajuan bersama.
Dalam studi perbandingan pendidikan ada beberapa problem yang timbul diantaranya; Keragaman latar belakang pendidikan dalam suatu Negara, keragaman bahasa, Panjang pendeknya kewajiban belajar dan kurikulum yang digunakan, Kekurangan tenaga guru dan peningkatan mutu guru. Dan lain-lain.
Secara historis perbandingan pendidikan erat hubungannya dengan pendidikan internasional. Pendidikan internasional dan perbandingan makin berkembang pada abad ke 20. Diantara tokoh-tokoh pencetusnya adalah Marc Antoine, Julien De Paris, John Griscom, Harace Mann, I.L. Kandel.
B. Saran-Saran
Sebagai seorang pendidik seyogyanya mengetahui urgensi dari studi perbandingan pendidikan untuk memperkaya pengalaman, dan life skill.
Makalah ini, merupakan sumber ilmu yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kita pelaksana pendidika, dan tentunya masih jauh dari sempurna. Mari kita terus menggali referensi yang lebih mutaakhir dan penulis berharap pembaca dapat memberikan masukan, saran-saran juga kritik yang membangun tentunya

Tafsir Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu persoalan pokok yang dibicarakan oleh Al-Qur’an adalah tentang masyarakat. Walaupun al-qur’an bukan kitab ilmiah, namun di dalamnya banyak sekali dibicarakan tentang masyarakat. Ini disebabkan karena fungsi utamanya adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau istilah dalam Al-Qur’an: litukhrija al-nas min al-zulumati ila al-nur (mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang). Dengan alasan yang sama dapat dipahami ketika kitab suci ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan tegak runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan Al-Qur’an merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum masyarakat.
Ibnu Khaldum adalah diantara sekian banyak cendekiawan muslim yang pertama membahas secara jelas dan gamblang tentang hukum-hukum yang mengatur masyaraka. Al-Qur’an secara tegas menerangkan bahwa bangsa dan masyarakat mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip bersama yang menentukan kebangkitan dan kejatuhannya sesuai dengan proses-proses tertentu. Ayat-ayat yang secara tegas menunjukkan hal tersebut antara lain dalam surat al-isra’/17: 8. Ungkapan yang berkaitan dngan masalah tersebut adalah; “… wa in ‘udtum ‘udna…” ( jika kalian ulangi (kejahatan itu), maka kami akan menghukum lagi). Disini Al-Qur’an mengingatkan dengan mengunakan bentuk jamak yang mewakili kelompok masyarakat Bani Israil.








BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Beberapa persoalan yang menjadi perdebatan para ahli adalah tentang bagaimana hubungan individu dengan masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut muncul beberapa pendapat; pertama, bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu. Manusia tidak pernah melebur menjad satu sintesa (penggabungan berbagai unsure terpisah untuk membentuk suatu keseluruhan yang saling berkaitan). Artinya keberadaan masyarakat adalah suatu yang tidak berdiri sendidiri melainkan karena dibentuk oleh individu-individu, eksistensi individual yang sebenarnya hakiki. Pandagan kedu, masyarakat dalam pandangan kedua ini bagaikan sebuah mesin yang merupakan suatu sistem yang saling berkaitan antar bagiannya. Kehidupan bermasyarakat merupakan suatu gejala yang bergantng pada mesin masyarakat. Dalam proses ini baik identitas perseorangan maupun identitas lembaga tak sepenuhnya terlebur dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Pandangan ketiga, berlainan dengan pandangan pertama da kedua, menurut pandangan yang ketiga ini bukan manusia yang membentuk manusia msyarakat adalah seprangkat cara keterkaitan tingkah laku yang telah ada sebelumnya.
Pandangan Al-Qur’an menyangkut masalah di atas berbeda sama sekali, meskipun ada sedikit kmiripan dengan pandangan yang ketiga. Beberapa terminology yang dipakai oleh Al-Qur’an lebih mendekati kepada pandangan yang ketiga. Al-Qur’an mengemukakan gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan bersama yang terhimpun dalam sebuah komunitas masyarakat. Dalam hal ini Al-qur’an menjelaskan dalam Q.S. Al-a’raf/ 7: 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.
Ayat ini menjelaskan tentang batas waktu kejyaan dan keruntuhan sebuah masyarakat. Batas waktu tersebut tidak bisa diajukan tidak bisa pula diundurkan. Dalam ayat yang lain Allah SWT. Berfirman:
وَتَرَى كُلَّ أُمَّةٍ جَاثِيَةً كُلُّ أُمَّةٍ تُدْعَى إِلَى كِتَابِهَا الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa bukan hanya individu yang ditentukan oleh catatan perbuatan sendiri , tetapi masyarakat juga ditentukan oleh catatan-catatan perbuatannya sendiri. Hal ini juga berarti masyarakat oleh Al-Qur’an diperlakukan sperti makhluk hidup yang sadar, bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya, sebab ia bebas berkehendak dan bertindak.
Berdasarkan term-trem tersebut para mufasir berusaha untuk menjelaskan pengertian masyarakat lebih khusus lagi adalah masyarakat yang diidealkan Al-Qur’an. Dari kelompok mufassir klasik antara lain Ibnu Jarir al-Thabari ketika memberikan penelasan tentang masyarakat yang baik khususnya yang ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran/3: 110 yang disebut dengan term khairu ummah adalah para sahabat yang ikut hijrah kemadinah bersama Rasulullah Saw. Pendapat al-Thabari ini didasarakan kepada beberapa riwayat yang menegaskan tentang kebaikan umat islam pada masa Rasulullah Saw. Pandanganyang sama juga disampaikan oleh Ibnu Kasir dengan menambahkan bahwa masyarakat yang baik bukan hanya ada pada masa Rasulullah Saw. Melainkan juga pada masa-masa sebelum Nabi Muhammad Saw diutus sampai hari kiamat dengan catatan Masyarakat tersebut melaksanakan hal-hal yang menjadi persyaratan sebagai sebuah masyarakat yang baik sebagaimana ditegaskan dalam surah Ali Imran 110.
Dari kalangan mufasir kontenporer secara umum ketika memberikan penjelasan tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan masyarakat yang baik tidak berbeda jauh dengan apa yang telah dijelaskan oleh para mufassir terdahulu. Ibnu ‘Asyur dalam karya tafsirnya al-Tahrir menjelaskan bahwa Khairu Ummah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah eksistensi komuitas masarakat yang baik pada masa lapau tampa terikat waktu tertentu.
Dari kalangan mufassir beraliran Syi’ah, Thabathabai dan al-Thabarsyi berpendapat tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para mufasir yang telah dikutup di atas dengan memberikan penekanan tentang persyaratan utuk mencapai sebuah masyatakat yang baik (ideal) di antaranya pada aspek keimanan yang benar disamping ama ma’ruf nahi mungkar.
Dari pemaparan di atas terlihat mayoritas mufassir berpedapat bahwa masyarakat yang baik yang di cita-citakan oleh al-Qur’an adalah sebuah masyarakat muslim yang memenuhi syarat sebagaimana dijelaskan dalam A-Qur’an. Pandangan ini menutup rapat bagi komunitas masyarakat non muslim untuk menjadi sebuah masyarakat yang baik. Dalam realitasnya terlebih pada masa sekarang sulit rasanya untuk mengatakan bahwa masyarakat (Negara) yang mayoritas warganya muslim adalah sebuah masyarakat yang ideal.
B. SYARAT POKOK PERUBAHAN DALAM MASYARAKAT
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dipahami bahwa perubahan baru dapat terlaksana bila dipenuhi dua Syarat pokok:
1. Adanya ilai atau ide
2. Adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut
Bagi umat islam, syarat ertama telah diambil alih sendiri oleh Allah SWT melalui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an serta penjelasan Rasul Saw., walaupun sifatnya masih umum dan memerlukan perincian dari manusi. Adapun para pelakunya, mereka dalah manusia-manusia yang hidup dalam suatu tempat dan yang selalu terikat dengan hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan itu.
Salah satu hukum masyarakat yang ditetapkan oleh Al-Qur’an menyangkut perubahan adalah yang dirumuskan dalam firman Allah SWT : . . . Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebh dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka) . . . (Q.S.13:11).
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku: (a) perubahan masyarakat yang oelakunya adalah Allah SWT. (b) perubahan keadaan diri manusia yang pelakukannya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainya. Siapapun yang mengabaikan akan digilasnya, sebagaimana yang terjadi kini pada masyarakat islam, dan sebagaimana pernah terjadi pada masyarakat yang dipimpin oleh Nabi sendiri dalam perang Uhud.
C. AN-NAHL 91
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
Tafsir Q. S. An-Nahl 16: 91
Dalam ayat ini,allah swt memerintahkan kaum muslimin untuk menepati janji mereka dengan allah jika mereka suda mengikat janji itu. menuru Ibnu Jaribr, ayat-ayat ini di turunkan dengan bai’at (janji setia) kepada Nabi Muhammat Saw yg di lakukan oleh orang-orang yang baru masuk islam. Merekah di perintahkan untuk menepati janji setia yang telah mereka teguhkan dengan sumpah,dan mencegah merekah membatalkannya. Jumlah kaum muslimin yang sedikit janganlah mendorong mereka untuk membatalkan bai’at itu setelah melihat jumlah kaum musyrikin yang besar.
Menurut ayat ini, semua ikatan perjanjian yang dibuat dengan kehendak sendiri, wajib di panuhi baik perjanjian itu sesama kaum muslimin ataupun terhadap orang di luar islam. Allah SWT melarang kaum muslimin melanggar sumpah yang di ucapkan dengan mempergunakan nama Allah, kerena dalam sumpah seperti itu, Allah telah ditempatkan sebagai saksi, Allah akan memberi pahala bagi mereka yang memenuhi apa yang diucapkannya dangan sumpah atau membalas dengan azab bagi mereka yang mengkhianati sumpah itu, Sesungguhnya Allah mengetahui segala amal perbuatan manusia, Dialah yang mengetahui segala parjanjian yang di kuatkan dengan sumpah, dan mengetahui pula bagaimana mereka memenuhi janji dan sumpah itu.
Konteks ayat di atas seakan-akan membuat malu para muta’ahidin pemegang janji ketika mereka membatalkan sumpah-sumpahnya setelah mereka meneguhkan sendiri janji-janjinya itu. Sementara mereka telah menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka. Mereka pun memberikan kesaksian sumpah-sumpahnya kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai saksi bagi mereka untuk menepatiny. Kemudian Allah mencakup mereka dalam yang sangat halus dari jankauan mereka, ’’Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.’’
Ajaran Islam sangatlah tegas tentang masalah penepatan terhadap sumpah ini dan tidak memberikan peluang toleransi sedikit pun dalam hal itu selamanya. Kerena masalah menepati sumpah ini adalah kaidah tsiqah “kepercayaan” yang tampanya ikatan suatu jama’ah akan berurai dan lepas.Konteks-konteks ayat di atas tidak hanya berhenti membahas pada masalah perintah menepati janji dan larangan membatalkannya. tapi mengikuti jalan yang di bawanya, juga menyampaikannya dengan cara memaparkan contoh-contoh, melarang keras pelanggaran terhadap sumpah, dan menafikkan (meniada-kan) sebab-sebab yang terkadang dijadikan alasan oleh mereka.
D. AN-NISA 115
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q. S. An-Nisa’: 115).
Tafsir Q. S. An-Nisa’ 4: 115
Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang yang menentang Rosul setelah nyata baginya kebenaran dan kebenaran risalah yang di bawahnya, serta mengikuti jalan orang-orang yang menempuh dari jalan kebenaran,maka Allah SWT membiarkan mereka menempuh jalan sesat yg di pilinya itu kemudian dia akan memasukan naraca kedalam neraka jahannam, tempat kembali yang seburuk-buruknya.
Ayat ini erat hubungannya dengan tindakan Thu’mah dan pangikut pengikutkannya, dan perbuatan orang-orang yang bertindak seperti yang di lakukan Thu’mah itu.
Dari ayat ini di fahami bahwa Allah SWT menganuhgerahkan kepada manusia kemauan kebebasan memilih,pd ayat Al-Qur’an. yang lain di terangkan pula bahwa Allah SWT telah menganuhgarakan akal, pikiran dan perasa’an serta melengkapinya dengan petunjuk-petunjuknya yang di bawah para Rosul, jika manusia menggunakan dengan baik semua anuhgerah Allah itu, pasti ia dapat mengikuti jalan yang benar.
Tetapi kebanyakan manusia mementingkan dirinya sendiri mengikuti hawa nafsunya, sehinga ia tidak menggunakan akal, pikiran, perasaan, dan petunjuk-petunjuk Allah SWT dalam menetapkan dan memilih perbuatan yang patuh dikerjannya, kerna itu manusia yang menantang dan memusuhi para Rosul, setelah nyata bagi mereka kebenaran dan ada pula manusia yang amat suka mengerjakan pekerjaan -pekerjaan jahat, sekalipun hatinya mengakui kesalahan perbuatannya itu.
Allah SWT menilai perbuatan-perbuatan manusia, kemudian dia menberi balasan yang setimpal. ’amal baik dibalas dengan pahalah yang berlipat ganda, perbuatan buruk diberi balasan yang setimpal dengan perbuatan itu.
Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berbisik-bisik secara rahasia, melakukan sesuatu yang di terlarang seperti yang telah di lakukan Thu’mah dan pengikut pengikutnya, kecuali berbisik-bisik secara rahasia dalam bersedekah, berbuat ma’ruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Allah SWT membiarkan manusia mengikuti kemauan kehendaknya sendiri setelah diberi akal, pikiran, perasaan dan petunjuk. Kemudian Allah SWT akan memberi penilaian terhadap perbuatan itu dan membalasnya dengan adil dan bijaksana.
Asbabun Nuzul Q. S. An-Nisa 4: 115
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa di antara keluarga serumah Bani Ubairiq, yaitu Bisyr dan Mubasyir terdapat seorang munafiq yang bernama Busyair yang hidupnya melarat sejak jahiliyyah. Ia pernah mengubah syiir untuk mencaci maki para shahabat Rasulullah Saw. Dan menuduh bahwa syiir itu ciptaan orang lain.
Pada suatu ketika Busyair Bin al-Harts membongkar gudang Rifa’ah bin Zaid (paman qatadah bin Nu’am) dan mencuri makanan dan seperangkat baju besi. Qatadah mengadu kepada Nabi Saw. Akan teapi ia mungkir, malah menuduh Labib Bin Sahl seoarang bansawan lagi hartawan. Maka turunlah Q.S. An-Nisa 4: 105 yang menerangkan bahwa Busyair pendusta sedangkan labib seorang yang bersih.
Setelah turun ayat tersebut (S. 4:105) yang menunjukkan kepalsuan Buyair, ia murtad dan lari ke mekah meggabungkan diri kepada kaum musyrikin serta menumpang dirumah Sulfah binti sa’ad. Ia mencaci maki Nabi dan kaum muslimin maka turunlah ayat selanjutnya (Q.S. An-Nisa 4: 115) berkenaan dengan peristiwa busyair ini. Kemudian Hasan bin Tsabit mengubah Sayi’ir menyindir Busyair sehingga ia kembali pada bulan Rabi’ tahun ke empat Hijrah.

KEPEMIMPINAN


KEPEMIMPINAN
Oleh Hanafi.
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu pimpin. (al-hadits)
Menjadi seorang pemimpin merupakan sifat manusia yang telah dikaruniai oleh Tuhan dan menjadi keinginannya dimana-pun kita berada dan bergaul. Namun apakah kita mampu menjalankan amanah yang begitu besar ketika kita menjadi pemimpin dalam tataran social atau sekelompok manusia. Sebab menjadi pemimpin tidaklah semudah apa yang kita pikirkan. Ada hal-hal yang perlu kita perhatikan dan penuhi ketika kita ingin menjadi seorang pemimpin.
Dalam karya ilmiah ini, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam dunia pendidikan Islam, seperti criteria seorang pemimpin, cirri dan sifat seorang pemimpin juga yang berkaitan dengan macam-macam kepemimpinan dalam tinjauan teori. Semoga karya ilmiah yang begitu singkat ini bermanfaat bagi pembaca dan menambah khazanah keilmuan menuju peningkatan daya nalar dan kritik kita.

BAB II
PEMBAHASAN
Pada hakikatnya kepemimpinan merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok. Terdapat 3 (tiga) implikasi penting dari batasan kepemimpinan ini, yaitu: Pertana, Kepemimpinan melibatkan orang lain bawahan atau pengikut. Karena kesediaan mereka menerima pengarahan dari pemimpin, anggota kelompok membantu menegaskan status pemimpin dan memungkinkan proses kepemimpinan. Kedua, Kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama diantara pemimpin dan anggota kelompok. Ketiga, Disamping secara sah mampu memberikan bawahan atau pengikutnya perintah atau pengarahan, pemimpin juga dapat mempengaruhi bawahan.
Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, kareana apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.


A. HAKIKAT KEPEMIMPINAN

Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemauan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harusnya dilaksanakannya. Menurut Stoner, (1988) semakin banyak jumlah sumber kekuasaan yang tersedia bagi pimpinan, akan makin besar potensi kepemimpinan yang efektif. Jenis kepemimpinan ini bermacam-macam, ada pemimpin formal, yaitu yang terjadi karena pemimpin bersandar pada wewenang formal. Ada pula pemimpin informal, yaitu terjadi karena pemimpin tampa wewenang formal berhasil mempengaruhi perilaku orang lain.
Berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah kepemimpinan telah dilakukan. Pendekatan pertama, yaitu mendekatan sifat yang memfokuskan pada karakteristik pribadi pemimpin. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan perilaku dalam hubungan dengan bawahanya, pendekatan ketiga, yaitu pendekatan situsional yang memfokuskan pada kesesuaian antara perilaku pemimpin dengan karakteristik situsional.

B. SYARAT-SYARAT KEPEMIPINAN
Menurut Soedarsono (1984) sifat kepemimpinan merupakan kualitas pribadi yang sangat berharga. Dalam menjalankan kepemimpinan, antara sifat dan syarat kepemimpinan tak dapat dipisahkan, keduanya saling mengisi.
Keith Davis (1971), memperincikan syarat-syarat utama dari kepemimpinannya yang efektif, yang terdiri dari empat bagian penting yang dianggap sangat berpengaruh terhadap kesuksesan suatu organisasi, yaitu (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keleluasaan hubungan social, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi.
Sedangkan Edwin Ghiseli, menyebutkan adanya beberapa syarat dari pada kepemimpinan yang efektif, yaitu:
a. Kemampuan pengawasan dalamkedudukan
b. Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan
c. Kecerdasan
d. Ketegasan (decisiviness)
e. Kepercayaan diri
f. Inisiatif

C. SIFAT-SIFAT KEPEMIMPINAN
Sifat kepemimpinan adalah sikap dan tingkahlaku yang harus diketahui, disadari, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sifat-sifat seorang pemimpin yang baik, yang perlu dimiliki dan dikembangkan adalah:
a. Jujur
b. Berpengetahuan
c. Berani (fisik dan moral)
d. Mampu mengambil keputusan
e. Dapat dipercaya
f. Berinisiatif
g. Bijaksana
h. Tegas
i. Adil
j. Menjadi tauladan
k. Tahan uji (ulet)
l. Loyalitas
m. Tidak mementingkan diri sendiri
n. Antusias
o. Simpatik
p. Relah hati

H. Fayol mengemukakan beberapa karakteristik pemimpin, yaitu : sehat, cerdas, setia, jujur, berpendidikan dan berpengalaman.
GR. Terry menggemukakan karakteristik pemimpin, yaitu: Kekuatan, kesetabilan emosi, kemampuan hubungan manusiawi, dorongan pribadi, keterampilan berkomunikasi, kecakapan mengajar, kecakapan bergaul, dan kemampuan teknis.

D. TIPE-TIPE KEPEMIMPINAN
Sondang P. Siagian mengemukakan bahwa ada lima tipe kepemimpinan dalam suatu organisasi, yaitu:
1. Kepemimpinan yang otokratis
2. Kepemimpinan yang militeristis
3. Kepemimpinan partenalistis
4. Kepemimpinan yang kharismatis, dan
5. Kepemimpinan yang demokratis
Dari lima tipe kepemimpinan tersebut dapat dijelaskan masing-masing sebagai berikut:
a. Tipe kepemimpinan Otokratis
Menurut George R. Terry (1984), kepemimpinan ini dasar keyakinan adalah bahwa kepemimpinan dimiliki oleh pemimpin karena ia memiliki wewenang tersebut. Ia memiliki wewenangan karena menjadi pemimpin. Ia mengetahui dan akan memutuskan hal-hal yang perlu dilaksanakan. Cirri-ciri pemimpin yang otokritas adalah:
1) Seolah-olah suatu organisasi yang dipimpinya adalah miliknya sendiri.
2) Tujuan organisasi diidentifikasikan dngan tujaun pribadi.
3) Para anggota atau karyawannya dianggap sebagai alat semata untuk mencapai tujuan.
4) Biasanya sulit untuk menerima kritik, saran, atau pendapat dari bawahannya.
5) Dalam proses penggerakan terhadap para bawahannya sering melakukan pemaksaan.
6) Setiap aktivitas hamper seluruhnya tergantung pada kekuasaan formalnya.

b. Tipe Kepemimpinan Militeristis
Kepemimpinan dapat disebut bertipe militeristis, jika kepemimpinan itu mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1) Para bawahan wajib melaksaakan perintah dari atasannya yang pangkat dan jabatannya lebih tinggi.
2) Setiap aktivitas ditekankan pada dasarnya formalitas.
3) Kritik, saran, dan pendapat ari bawahan sulit untuk diterima.

c. Tipe Kepemimpinan Paternalistik
Menurut Terry, kepemimpinan perternalistis ini terdapat suatu pengaruh kebapakan antara pimpinan dan kelompok. Tujuannya ialah untuk melindungi dan memperhatikan kesejahteraan pengikut-pengikutnya. Pemimpin yang bertipe paternalistis mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1) Menganggap para bawahanya tidak dewasa.
2) Sikap melindungi para bawahanya berlebihan.
3) Setiap pengambilan keputusan selalu ditentukan sendiri dan jarang sekali memberika kesempatan pada bawahannya untuk mengambil suatu keputusa.
4) Menganggap dirinya paling tahu tentang segalanya.

d. Tipe Kepemimpinan Kharismatis
Tipe kepemimpinan ini mempunyai daya tarik tersendiri yang amat berpengaruh terhadap para bawahan oleh karena itu biasanya pemimpin yag bertipe demikian, relative banyak pengikutnya. Mengenai mengapa seorang pemimpin yang bertipe demikian sangat disegani dan dipatuhi, disebabkan oleh beberapa criteria, yaitu:
1) Seorang pemimpin dianggap mempunyai kekuatan goib.
2) Pemimpin yang dipatuhi itu seorang keturunan bangsawan atau keturunan raja.
3) Objektif dalanm setiap hubungannya dengan bawaha.
4) Berwibawa yang dapat menimbulkan rasa hormat bagi para bawahan.
5) Berkemampuan untuk memberikan contoh atau teladan bagi para bawahan.

e. Tipe Kepemimpinan Demokratis
Dinyatakan oleh Sri Sujati Kadarusman (1981), bahwa kepemimpinan yang demokratis ditunjukkan dengan adanya partisipasi atau ikut sertanya kelompok dalam penentuan tujuan. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa setiap pemikiran para anggota dihargai dalam setiap pemecahan persoalan-persoalan. Oleh karenanya tipe kepemimpinan yang demokrasi mendorong lahirnya inisiatif atau prakarsa
Tipe kepemimpinan yang demokratis ini dapat diperinci atas dasar beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
1. Ikut sertanya yang dipimpin dalam kepangurusan (social participation)
2. Adanya pertanggngjawaban dari pada pemimpin terhadap yang dipimpin (social responsibility)
3. Adanya dukungan dari pada yang dipimpin terhadap pemimpin (social support)
4. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh yang dipimpin terhadap pemimpin (social control)
Mengutip pendapat dari Suwarno Handayaningrat dan pemakalah setuju dengan pendapat tesebut bahwa tipe kepemimpinan yang demokratislah yang paling tepat untuk era demokrasi modern seperti sekarang.
Menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :
1. Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
2. Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
3. Tipe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi- instruksinya harus ditaati.
4. Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
5. Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
6. Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung.

BAB III
KESIMPULAN

Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Sifat utama ketika kita menjadi pemimpin adalah adil, amanah, tanggungjawab, dll.

puisi


"/tmp/upload/97d643081a06ad51063227624c0e817f106e8f94568ef40b3d63abb266aeef631/Copy of IMG_0275.jpg"


AKU HADIR DALAM KETIADAANMU
“el-Sila”

Dikala aku hadir dalam bayanganmu…
Dikala aku rindu kenanganmu, bersama tu engkau melupakanku
Dalam setiap nafasku, bermuara aura senyummu..
Bersemi dalam ketiadaan…

Kasih…. !!!
aku hadir menjadi rambulan hayatmu
Jadikan aku kekasih jiwa
Walau hanya dalam bayangmu
q-ingin memelukmu… hingga akhir nafasku.

Kasih…!!!
Tiadakah ruang cintamu
Tuk berlabuhnya perasaan ni…
Tidakkah kau rasakan denyutan rindu
Yang slalu mengukir indahnya perasaan cinta

Kasih…!!!
Sungguh tiada berarti
Kasih sayang ni, tanpa dibalut dengan senyum nenawanmu..

Kasih…!!!
Kenapa hati ni hadir dalam ketiadaan…
Sungguh…Kau tiada pernah kan terganti
Dalam tahta cinta ni
Hingga tetesan terakhir air kehidupan


Permata Bintaro; 23 Maret 2011.

Minggu, 10 April 2011

SOSIOLOGI PENDIDIKAN


SIKLUS BELAJAR INDIVIDU, FUNGSI-FUNGSI SEKOLAH DAN PERUBAHAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN
Oleh; Hanafi elSila


BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan adalah satu tuntutan zaman, dan menjadi daya kehidupan yang dapat membangu maupun merubah sumber daya manusia maupun alam. Pengetahuan akan selalu bertautan dengan kekuasaan, atau pun sebaliknya. Maka kebijakan yang dihasilkan oleh pembuat kebijakan harus memberikan satu perspektik bagi kebebasan dan pembangunan kualitas pendidikan yang menghasilkan siklus belajar individu-individu yang mampu mengarahkan sejarah dan peradaban Negara di masa yang akan datang.
Bagi masyarakat hakikat pendidikan adalah satu kemanfaatan bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidup. Dengan pendidikan, masyarakat diharapkan mampu melanjutkan eksistensinya sebagai makhluk yang selalu mencipta. Maka dengan demikian, pendidikan harus menjadi jembatan sebagai jalan untuk diteruskannya nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan, etika, moral, dan bentuk tata perilaku lainnya. Dari hal tersebutlah, masyarakat akan berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi untuk kesesuaian corak masing-masing peradaban. Dengan demikian, pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi.
Sebagai media perubahan, maka pendidikan adalah sebuah keniscayaan, tiada hal yang tidak berubah di dalam kehidupan, “tempus muntantur et nos mutamur” waktu berubah dan kita ikut pula berubah di dalamnya. Namun persoalannya adalah apakah perubahan itu mengarah kepada perbaikan atau malah menjadikan objeknya mengalir ke arah yang tidak menguntungkan. Untuk mengetahui berbagai hal tentang pendidikan dan perubahan tersebut, maka pembahasan lebih lanjut akan dibahas dalam makalah ini secara lebih spesifik dengan point-poitn tertentu.
Dengan demikian, penulis mengharapkan ada perpaduan pemikiran yang dapat melahirkan saran-kritik untuk lebih meningkatkan berbagai cara pandang untuk menyikapi kemajuan pendidikan dan perubahan yang dihasilkan oleh pendidikan tersebut. Dan semoga Allah memberikan pencerahan bagi akal dan hati yang terdapat di dalam fakultas dada kita masing-masing.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Siklus Belajar Individu di Masyarakat
Secara singkat pendidikan merupakan produk dari masyarakat, karena apabila kita sadari arti pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda maka seluruh upaya tersebut sudah dilakukan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Hampir segala sesuatu yang kita pelajari merupakan hasil hubungan kita dengan orang lain baik di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan dan sebagainya. Wajar pula apabila segala sesuatu yang kita ketahui adalah hasil hubungan timbal balik yang ternyata sudah sedemikian rupa dibentuk oleh masyarakat kita.
Bagi masyarakat sendiri hakikat pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepada anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata perilaku lainnya yang diharapkan akan dimiliki oleh setiap anggota. Setiap masyarakat berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing periode jaman kepada generasi muda melalui pendidikan, secara khusus melalui interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi.
Dalam pengertian tersebut, pendidikan sudah dimulai semenjak seorang individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan eksternal di luar dirinya, yakni keluarga. Seorang bayi yang baru lahir tentunya hidup dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Menyadari hal demikian sang ibu berupaya memberikan segala bentuk curahan kasih sayang dan buaian cinta kasih melalui air susunya, perawatan yang lembut serta gendongan yang begitu mesra kepada si bayi. Begitulah proses tersebut berlangsung selama si bayi masih tetap memerlukan pertolongan intensif dari manusia lain. Sampai pada umur lima tahun bayi itu tumbuh dan berkembang dengan sehat di dalam mahligai cinta kasih perpaduan sepasang manusia yang menjadi orang tuanya.
Berbicara tentang siklus belajar individu dalam masyarakat, banyak sekali teori yang membahasnya, dari teori sosial Barat hingga Islam begitu antusias menggambarkan motivasinya. Rasulullah menggambarkannya lewat teori hadisnya yang artinya; Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga ke liang lahad. Dalam hadisnya yang lain dijelaskan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashara ataupun Majusi. Terlihat bahwa peran individu dan lingkungan keluarga sangat mempengaruhi proses belajar seseorang dalam mengaruhi kehidupannya.
Dari sini bisa kita sadari selain anggota keluarga baru itu belajar mengetahui, mempelajari serta melakukan berbagai reaksi terhadap stimulus dari dunia barunya maka bisa kita cermati pula bahwa sang bayi juga memahami esensi nilai-nilai kemanusiaan dari keluarganya dalam bentuk gerak tubuh, belajar berbicara, tertawa serta semua tindak tanduk yang menggambarkan bahwa jiwa raganya telah terpaut erat oleh belaian kasih sayang manusia dewasa. Ilustrasi di atas hanyalah sekelumit kecil dari siklus belajar individu di dalam masyarakat. Proses tersebut berlangsung pula ketika kita menjadi manusia dewasa. Apabila kita memenuhi kewajiban sebagai saudara laki-laki, suami atau warga negara serta menjalankan hal-hal lain yang tertanam kuat dalam benak kesadaran kita, itu berarti kita melakukan tugas yang sudah ditentukan secara eksternal oleh hukum-hukum kodrat sosial (droit) dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang begitu alamiah dari lingkungan sosial.
Kewajiban itu muncul bukan hasil dari proses pemaksaan eksternal yang mekanistis melainkan selalu diikuti oleh gejala resiprositas individu dengan lingkungan luarnya sehingga pada tahap akhirnya masyarakat telah menghasilkan ribuan atau bahkan jutaan manusia yang tunduk lahir batin dengan ketentuan-ketentuan kolektif (Abdullah dan Van der Leeden, 1986). Selain itu, dimensi sejarah juga berbicara serupa. Ratusan tahun silam pendidikan berjalan beriringan dengan struktur dan kebutuhan sosial masyarakat setempat. Bagi masyarakat sederhana yang belum mengenal tulisan maka para pemuda memperoleh tranformasi pengetahuan lewat media komunikasi lisan yang berbentuk dongeng, cerita-cerita dari orang tua mereka. Selain itu, pada siang hari pemuda-pemuda ini harus selalu sigap dan tanggap mempelajari, mencermati dan belajar mengaplikasikan teknik-teknik mencari nafkah yang dikembangkan oleh para orang tua baik itu menangkap ikan, memanah, beternak, berburu dan sebagainya (Purbakawatja dkk., 1955).
Dalam cerita-cerita lisan itu tersirat pula adat dan agama, cara bekerja dan cara bersosialisasi yang berkembang di masyarakatnya. Tidak mengherankan apabila cerita yang sudah turun temurun diwariskan itu dianggap sebagai sesuatu yang bernilai suci. Sejarah, adat istiadat, norma-norma bahkan cara menangkap ikan atau berburu tidak hanya dipandang sebagai hasil pekerjaan manusia semata, tetapi memiliki makna sakral yang patut disyukuri dengan beberapa persembahan serta upacara-upacara ritual. Begitulah perjalanan pendidikan anak manusia telah berlangsung organis sesuai dengan iklim sosialnya. Sedangkan keperluan khusus untuk mendirikan sebuah lingkungan perguruan yang mapan dimulai ketika bangsawan-bangsawan feodal membutuhkan prajurit-prajurit serta punggawa kerajaan yang tangguh demi mempertahankan harta kekayaan milik sang raja. Mereka secara khusus dididik dalam lingkungan tersendiri agar memiliki kecakapan dan keahlian tertentu sesuai dengan kebutuhan sistem sosial masyarakat aristokrasi-feodal. Mereka-mereka ini menjadi ujung tombak pelaksana kekuasaan kerajaan di hadapan ribuan rakyat jelata yang memang dibikin bodoh. Melihat situasi demikian, wajar apabila jaman ini predikat golongan terdidik hanya bisa dimiliki oleh sanak saudara sang raja serta kaum-kaum agamawan yang telah memperkuat hegemoni kekuasaannya. Namun seiring dengan bertambahnya umur bumi ini maka kisah pergulatan karakter masyarakat tersebut mulai bergeser selaras dengan kecenderungan spirit jaman yang sudah berubah.
Itulah cuplikan kecil argumentasi sederhana tentang renik-renik karakter fungsi pendidikan di masyarakat. Melihat alur perkembangannya maka berbagai jenis konfigurasi pendidikan di atas sesuai dengan konsep yang diutarakan oleh Randall Collins, 1979 (dalam Sanderson, 1993 : 489) tentang tiga tipe dasar pendidikan yang hadir di seluruh dunia, yakni;
1. Pertama jenis pendidikan keterampilan dan praktis, yakni pendidikan yang dilaksanakan untuk memberikan bekal keterampilan maupun kemampuan teknis tertentu agar dapat diaplikasikan kepada bentuk mata pencaharian masyarakat. Jenis pendidikan ini dominan di dalam masyarakat yang masih sederhana baik itu berburu dan meramu, nelayan atau juga masyarakat agraris awal
2. Pendidikan kelompok status, yaitu pengajaran yang diupayakan untuk mempertahankan prestise, simbol serta hak-hak istimewa (privilige) kelompok elit dalam masyarakat yang memiliki pelapisan sosial. Pada umumnya pendidikan ini dirancang bukan untuk digunakan dalam pengertian teknis dan sering diserahkan kepada pengetahuan dan diskusi badan-badan pengetahuan esoterik. Pendidikan ini secara luas telah dijumpai dalam masyarakat-masyarakat agraris dan industri.
3. Tipe pendidikan birokratis yang diciptakan oleh pemerintahan untuk melayani kepentingan kualifikasi pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintahan serta berguna pula sebagai sarana sosiolisasi politik dari model pemerintahan kepada masyarakat awam. Tipe pendidikan ini pada umumnya memberi penekanan pada ujian, syarat kehadiran, peringkat dan derajat.

Demikianlah tipe-tipe pendidikan tersebut telah mewarnai corak kehidupan masyarakat. Pada dasarnya ketiga jenis pendidikan di atas selalu hadir dalam setiap masyarakat hanya saja prosentasi penerapan salah satu karakter pendidikan berbanding searah dengan model masyarakat yang terbentuk. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula ternyata gelombang sejarah dunia juga menentukan model konfigurasi masyarakat dunia secara global dan hal ini juga memiliki pengaruh bagi iklim pendidikan. Pengaruh modernisasi di berbagai sektor kehidupan telah melahirkan karakter pendidikan yang hampir sama meskipun memiliki ciri khas tertentu di tiap-tiap negara pada akhir abad ke 20 an. Sebagaimana penuturan Tilaar (2003: 62) bahwa dalam masyarakat yang sudah maju, proses pendidikan sebagian dilaksanakan dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah dan pendidikan dalam lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu kegiatan yang lebih teratur dan terdeferensiasi. Inilah pendidikan formal yang biasa dikenal oleh masyarakat sebagai “schooling”.
Untuk melihat latar belakang dari menyeruaknya situasi sosial dunia pendidikan demikian, pada kesempatan lain Randall Collins dalam karya Sanderson (1993: 429) juga mengungkapkan analisis fungsional untuk menjelaskan ekspansi pendidikan modern sebagai akibat dari lahirnya kebutuhan-kebutuhan kualifikasi mahir bagi corak masyarakat modern. Pendidikan dilihat memiliki kontribusi positif demi menjalankan roda perekonomian serta putaran gerigi-gerigi mesin industri masyarakat pendukungnya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain yaitu;
1. Persyaratan pendidikan dari pekerjaan-pekerjaan dalam masyarakat industri yang terus meningkat sebagai akibat dari adanya perubahan teknologi yang memiliki dua aspek, yaitu; a) Proporsi pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang rendah berkurang sementara proporsi yang memerlukan keterampilan tinggi bertambah; b) Pekerjaan-pekerjaan yang sama terus meningkatkan persyaratan keterampilannya.
2. Pendidikan formal memberi latihan yang diperlukan kepada orang-orang untuk mendapat pekerjaan yang berketerampilan lebih tinggi.
3. Sebagai akibat dari yang disebut di atas, persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat dan semakin banyak orang yang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah.

Dari analisis tersebut kiranya cukup jelas pemahaman kita apabila masyarakat Indonesia semenjak kemerdekaannya tidak pernah lepas dari kehidupan pendidikannya. Dengan upaya penerapan sekolah secara merata bagi rakyat di seluruh penjuru tanah air dapat kita rasakan manfaat besarnya dalam membantu menopang ekskalasi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Baik itu wajah materiil hasil pembangunan fisik wilayah negara kita maupun peningkatan pola pikir manusia Indonesia yang semakin cerdas menjadi bukti kuat prestasi pendidikan kita. Bisa disimpulkan pula bahwa alam reformasi yang kita rasakan saat ini merupakan salah satu aspek jerih payah kerja sekolah-sekolah di Indonesia (termasuk perguruan tinggi) demi mencapai cita-cita rakyat Indonesia.
Dalam konteks sosial, pendidikan juga memiliki fungsi, peran dan kiprah lain yang berkorelasi dengan kekuatan-kekuatan kolektif yang sudah mapan. Tidak hanya puas dalam kondisi demikian pendidikan juga memberikan andil menterjemahkan nilai-nilai baru yang tumbuh akibat proses pergulatan sejarah dalam wujud emansipasi integrasi dengan sistem dan struktur sosialnya. Sehingga dengan begitu masyarakat tidak pernah kering dari dinamika perubahan dan evolusi sosialnya.

B. Fungsi-fungsi Sekolah
Secara mendasar sekolah bertugas untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang diperlukan seseorang agar ia dapat menapaki perjalanan kedewasaannya secara utuh dan tersalurkannya bakat-bakat potensial yang ia miliki. Namun dalam konteks sosial pada kenyataannya sekolah mempunyai beberapa fungsi yakni:

1. Sekolah mempersiapkan seseorang untuk mendapat suatu pekerjaan
Apabila kita meninjau secara menyeluruh proses perjalanan pendidikan sepanjang masa, maka kita segera melihat kenyataan bahwa kemajuan dalam pendidikan beriringan dengan kemajuan ekonomi yang secara bersamaan melaju pesat dengan proses evolusi teknik berproduksi masyarakat. Dalam masyarakat bercorak agraris yang stabil pendidikan menyangkut penyampaian keterampilan-keterampilan, keahlian, adat istiadat serta nilai-nilai. Sementara itu pada sistem ekonomi masyarakat maju, sistem pendidikan tentunya mempunyai kecenderungan untuk memberikan pengetahuan dalam jumlah yang terus bertambah kepada kelompok-kelompok manusia dalam jumlah besar, karena proses-proses produksi yang lebih seksama menghendaki pekerja memiliki kualifikasi keahlian yang tinggi (Faure dkk., 1981).
Oleh sebab itu penerapan sistem sekolah bermaksud untuk memberikan kompetensi-kompetensi jenis keahlian dalam lahan pekerjaan yang terbentang luas kompleksitasnya. Anak yang menamatkan sekolah diharapkan sanggupmelakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dunia pekerjaan atau setidaknya mempunyai dasar untuk mencari nafkah. Makin tinggi pendidikan makin besar harapannya memperoleh pekerjaan yang layak dan memiliki prestise tinggi. Dengan ijasah yang tinggi seseorang dapat memahami dan menguasai pekerjaan kepemimpinan atau tugas lain yang dipercayakan kepadanya.

2. Sebagai alat transmisi kebudayaan
Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat kepada anak menurut Vembriarto (1990) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) transmisi pengetahuan & keterampilan, dan (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Transmisi pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial serta penemuan-penemuan teknologi.

3. Sekolah mengajarkan peranan sosial
Pendidikan diharapkan membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan sesama manusia sekalipun berbeda agama, suku bangsa, pendirian dan sebagainya. Ia juga harus dapat menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang berbeda-beda. Kalau diselidiki, tentu akan ditemukan bermacam-macam alasan lain mengapa orang tua menyekolahkan anaknya. Misalkan menyekolahkan anak gadis sampai ada yang meminangnya, atau menyerahkan anaknya ke dalam pengawasan guru karena lebih sulit mengurusinya sendiri di rumah dan sebagainya.

4. Sekolah menyediakan tenaga pembangunan
Bagi negara-negara berkembang, pendidikan dipandang menjadi alat yang paling ampuh untuk menyiapkan tenaga produktif guna menopang proses pembangunan. Kekayaan alam hanya mengandung arti bila didukung oleh keahlian. Maka karena itu manusia merupakan sumber utama bagi negara. Menurut analisis Faisal dan Yasik (1985) sepanjang dasawarsa 60-an, dunia pendidikan memiliki andil besar dalam membantu proyek negara untuk bangkit melakukan pembangunan di segala bidang. Persekolahan di kala itu, menjadi pusat perhatian dan dambaan para perencana yang mengupayakan perubahan-perubahan besar, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial, menjadi pusat perhatian para politisi yang berusaha membangun semangat kebangsaan, serta menjadi kepentingan warga masyarakat yang berharap menemui peningkatan kesejahteraan hidupnya. Di awal-awal dasawarsa 60-an ada suatu keyakinan kuat dari seluruh komponen masyarakat tentang urgensi lembaga pendidikan bagi proses modernisasi dan industrialisasi. Sistem pendidikan dipandang sebagai penghasil tenaga-tenaga terampil dan juga pengetahuan baru yang dibutuhkan bagi perkembangan teknologi dan ekonomi. Sistem pendidikan, juga dianggap berandil besar dalam menanamkan disiplin, sikap dan motivasi sumber daya manusia guna menopang perkembangan industrialisasi.
Dalam hubungan ini, modal manusiawi dianggap jauh melebihi pentingnya modal-modal fisik apapun juga; bahkan bagi para ahli ekonomi yang agresif sampai menunjukkan perbedaan signifikansi modal dalam wujud angka-angka presentase. Mereka-mereka ini memiliki keyakinan kuat bahwa orang-orang terdidik begitu produktif dalam melaksanakan tugas pekerjaan, tanggap terhadap tuntutan keterampilan baru, serta mampu menunjukkan loyalitas yang lebih tinggi terhadap dunia pekerjaannya. Inilah salah satu bukti dari kiprah pendidikan di Indonesia pada waktu segenap rakyat dan lapisan masyarakat memiliki hajat besar untuk membangun negaranya.

5. Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib
Sekolah sering dipandang sebagai jalan bagi mobilitas sosial. Semenjak diterapkannya sistem persekolahan yang bisa dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh penjuru tanah air maka secara otomatis telah mendobrak tembok ketimpangan sosial masyarakat feodal dan menggantinya dengan bentuk mobilitas terbuka. Sekolah menjadi media untuk meningkatkan mutu dan kualitas nasib seseorang sebab dengan sekolah atau melalui pendidikan, seseorang dari golongan rendah dapat meningkat ke golongan yang lebih tinggi.
Dalam kenyataan perkembangan jaman modern sekarang gelar akademis sangat membantu dalam mencari pekerjaan, mempertahankan posisi jabatan hingga berpengaruh pada kenaikan pangkat atau kedudukan dalam dunia pekerjaan. Banyak pemuda-pemuda yang berhasil menapaki jenjang karir hidupnya melalui sekolah meskipun memiliki latar belakang status yang tergolong rendah. Oleh karena itu orang tua berusaha menyekolahkan anaknya dengan harapan akan dapat memperoleh hasil yang memuaskan bagi peningkatan derajat dan status keluarga di kemudian hari.

6. Sekolah memberikan keterampilan dasar.
Seorang yang telah bersekolah setidak-tidaknya pandai membaca, menulis dan berhitung yang diperlukan dalam tiap masyarakat modern, Juga akan memperoleh pengetahuan umum lainnya yang dapat menjadi landasan dasar bagi kehidupannya hingga menjadi life skill bagi yang bersangkutan.

7. Menciptakan integrasi sosial
Dalam masyarakat yang bersifat heterogen dan pluralistik, terjaminnya integrasi sosial merupakan fungsi pendidikan sekolah yang cukup penting. Masyarakat Indonesia mengenal bermacammacam suku bangsa masing-masing dengan adat istiadatnya sendiri, bermacam-macam bahasa daerah, agama, pandangan politik dan lain sebagainya. Dalam keadaan demikian bahaya disintegrasi sosial sangat besar. Sebab itu tugas pendidikan sekolah yang terpenting adalah menjamin integrasi sosial. Untuk menjamin integrasi sosial itu, caranya ialah sebagai berikut.
a. Sekolah mengajarkan bahasa nasional. Bahasa nasional ini memungkinkan komunikasi antara sukusuku dan golongan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Pengajaran bahasa nasional ini merupakan cara yang paling efektif untuk menjamin integrasi sosial.
b. Sekolah mengajarkan pengalaman-pengalaman yang sama kepada anak melalui keseragaman kurikulum dan buku-buku pelajaran dan buku bacaan di sekolah. Dengan pengalaman yang sama itu akan berkembang sikap dan nilai-nilai yang sama dalam diri anak.
c. Sekolah mengajarkan kepada anak corak kepribadian nasional (national identity) melalui pelajaran sejarah dan geografi nasional, upacara-upacara bendera, peringatan hari besar nasional, lagu-lagu nasional dan sebagainya. Pengenalan kepribadian nasional itu akan menimbulkan perasaan nasionalisme dan perasaan nasionalisme itu akan membangkitkan patriotisme.

8. Kontrol Sosial Pendidikan
Di dalam percakapan sehari-hari, sistem pengendalian sosial atau social control seringkali diartikan sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan khususnya pemerintah beserta aparaturnya. Asumsi tersebut memang ada benarnya namun dalam pengertian yang mendasar pengendalian sosial tidak hanya berhenti pada pengertian itu saja. Arti sesungguhnya pengendalian sosial jauh lebih luas, karena pada pengertian tersebut tercakup segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Jadi pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya seorang ibu mendidik anak-anaknya agar menyesuaikan diri pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku) atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial (umpamanya, seorang dosen di Perguruan Tinggi memimpin beberapa orang mahasiswa dalam kegiatan kuliah kerja lapangan). Seterusnya pengendalian sosial dapat dilakukan oleh kelompok terhadap kelompok lainnya, atau oleh suatu kelompok terhadap individu. Itu semua merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, meskipun seringkali manusia tidak menyadari.
Dengan demikian secara mendasar pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahanperubahan dalam masyarakat atau suatu sistem pengendalian bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan. Menurut Soekanto (1990) sifat pengendalian sosial bisa bersifat preventif atau represif. Preventif merupakan suatu usaha pencegahan terhadap munculnya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Usaha-usaha preventif dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal. Dari penegasan tersebut bisa dikatakan bahwa aktivitas pendidikan baik itu di sekolah maupun di luar sekolah merupakan salah satu alat pengendalian sosial yang telah melembaga baik itu pada masyarakat tradisional maupun yang sudah modern. Sehingga dalam hal ini pengertian pendidikan merupakan proses pengendalian secara sadar di mana perubahanperubahan tingkah laku dihasilkan dari di dalam diri orang itu melalui pergulatan sosialnya.
Dari pandangan ini pendidikan adalah suatu proses yang dimulai pada waktu lahir dan berlangsung sepanjang hidup. Pengertian pengendalian secara sadar ini berarti adanya tingkat-tingkat kesadaran dari tujuan yang hendak di dapat. Sementara itu, sebagaimana uraian penjelasan pada halamanhalaman terdahulu bahwa di era modern ini lembaga pendidikan juga mengalami proses transformasi baik itu pola kegiatan, tata nilai, bentuk dan organisasi perannya di masyarakat. Secara spesifik telah memunculkan lembaga sekolah sebagai manifestasi wujud orientasinya. Sehingga pada segi sosialnya sekolah memegang peranan penting dalam sosialisasi anak-anak. Sebagai salah satu upaya pengendalian sosial ada empat cara yang dapat digunakan sekolah yakni :
a. Transmisi kebudayaan, termasuk norma-norma, nilai-nilai dan informasi melalui pengajaran secara langsung, misalnya tentang falsafah negara, sifat-sifat warga negara yang baik, struktur pemerintahan, sejarah bangsa dan sebagainya.
b. Mengadakan kumpulan-kumpulan sosial seperti perkumpulan sekolah, Pramuka, kelompok olah raga, dan sebagainya yang dapat memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mempelajari dan mempraktikkan berbagai keterampilan sosial.
c. Memperkenalkan anak dengan tokoh-tokoh yang dapat dijadikan anak sebagai figur tauladannya. Dalam hal ini guru-guru dan pemimpin sekolah memegang peranan yang penting.
d. Menggunakan tindakan positif dan negatif untuk mengharuskan murid mengikuti tata perilaku yang layak dalam bimbingan sosial. Yang termasuk dalam tindakan positif ialah pujian, hadiah dan sebagainya sedangkan cara yang negatif berupa hukuman, celaan dan sebagainya.

C. Perubahan Sosial dan Pendidikan
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, tiada hal yang tidak berubah, “tempus muntantur et nos mutamur” waktu berubah dan kita ikut pula berubah di dalamnya. Namun persoalannya adalah apakah perubahan itu mengarah kepada perbaikan atau malah menjadikan objeknya mengalir ke arah yang tidak menguntungkan. Dalam sistem masyarakat sosial yang ditunjang oleh alat komukasi yang begitu canggih dan teknologi modern, perubahan sangat cepat hingga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tidak ada hal yang stagnan di dalam kehidupan, baik itu dalam hal tatanan social masyarakat, budaya atau adat istiadat, bahkan dalam skala religiulitas. Sebagai contoh penulis melihat perubahan dalam skala religiulitas pada diri anak bangsa, perubahan terjadi dari tradisi local ke tradisi Islam lokal.
Telah banyak dibicarakan oleh publik bahwa masyarakat kita saat ini tidak pernah lepas dari gejala perubahan. Namun karena gejala tersebut memiliki intensitas yang begitu kuat maka banyak pihak yang mengkhawatirkan ketangguhan “daya tangkal” nilai-nilai masyarakat yang telah mapan menjadi goyah lalu perlahan-lahan akan mengalami pemudaran. Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak jaman dulu. Namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat. Telah menjadi hukum alam bahwa masyarakat memiliki perbedaan dalam adopsi setiap perubahan ataupun inovasi baru. Ada masyarakat yang sangat cepat mengadopsi suatu perubahan, ada yang lambat bahkan ada yang sangat skeptik, di samping yang terjadi pada kebanyakan anggota masyarakat umumnya.
Hal ini terjadi, karena anggota masyarakat memiliki perbedaan kesiapan untuk menerima perubahan itu, sebagai akibat dari adanya variasi pengetahuan, cara berpikir, sikap, variasi personalitas, pengalaman, selain kesesuaiannya antara nilai yang ia miliki dengan nilai baru yang ditawarkan. Selain karakteristik yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat, faktor referensi atau panutan juga berperan penting dalam adopsi perubahan itu. Dalam hal ini, penulis teringat pada daerah kalahiran penulis “Bima-NTB” yang saat ini terlihat sangat jauh antara masyarakat pesisir dengan masyarakat di pegunungan dalam hal perubahan dan perkembangannya. Dimana masyarakat pesisir jauh lebih maju (dalam segala hal) dibanding masyarakat yang memilih mengasingkan diri di pegunungan hanya karena tidak terbuka dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Unsur-unsur ketertutupan tersebut diakibatkan oleh proyeksi masyarakat tentang perubahan masa depan yang cenderung statis. Dan tidak adanya kecenderungan untuk bergerak maju kea rah yang lebih baik. Dalam hal kemajuan dan perubahan, biasanya yang dapat dijadikan referensi oleh seseorang atau masyarakat terhadap proses adopsi perubahan itu di antaranya adalah, (1) orangtua (2) pemuka masyarakat baik formal mupun non-formal, (3) teman dekat, (4) figur idola, dan (5) orang yang paling berpengaruh terhadap diri seseorang. Perbedaan ini yang dapat menghasilkan kesenjangan tata nilai di dalam masyarakat, lebih-lebih lagi dalam situasi dimana kompleksitas perubahan itu semakin meluas dan perubahan itu terjadi sangat cepat. Sementara kalau kita sadari perubahan budaya manusia melekat dengan perubahan alam dan jaman. Pada era teknologi suatu masyarakat akan ketinggalan apabila masyarakat itu tidak menerapkan teknologi dalam tatanan hidup mereka. Bahkan teknologi telah terbukti membawa tingkat efisiensi dan kemakmuran masyarakat, karena sifat dari teknologi itu yang pada dasarnya memburu perolehan nilai tambah perubahan budaya itu pada dasarnya adalah untuk adaptasi terhadap perubahan alam dan jaman agar manusia tetap mampu mempertahankan eksistensi hidup mereka.
Meskipun kekayaan sumber daya alam bukan faktor penentu terhadap kemajuan suatu masyarakat dibandingkandengan kekayaan sumber daya manusia tetapi semakin berkurangnya daya dukung potensi sumber daya alam dibanding dengan tuntutan kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar tetap akan berdampak terhadap terjadinya perubahan pola hidup manusia. Apabila produk dan jasa yang menjadi ukuran kekuatan suatu masyarakat potensial bagi masyarakat tertentu, maka mereka itu yang akan mampu menguasai pasar, yang akhirnya merekalah yang akan mampu mempertahankan eksistensi hidup mereka. Akhirnya penguasaan teknologi yang akan menghasilkan unggulan suatu bangsa. Berdasarkan tinjauan di atas, bahwa untuk mempertahankan eksistensi hidup masyarakat tidak dapat terhindar dari penguasaan teknologi, maka unsur kreativitas, unsur kemandirian dalam kebersamaan, unsur produktivitas, menjadi faktor yang sangat penting untuk menaggapi budaya hidup teknologis itu.
Berarti pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia kreatif menjadi tuntutan dalam pola pendidikan umum saat ini banyaknya media yang dapat berperan sebagai sumber informasi pendidikan bagi generasi bangsa saat ini, maka konsep pendidikan perlu mengalami pergeseran, pendidikan bukan lagi sebagai usaha yang di sengaja lagi akan tetapi menjadi kondisi apapun yang dampaknya dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai-nilai manusia. Kondisi dalam kehidupan keluarga, kondisi yang terjadi dalam masyarakat luas sebagai panggung pentas budaya bangsa kondisi yang ditampilkan oleh berbagai media baik cetak maupun elektronika, kondisi yang terjadi di sekolah kesemuanya secara bersamasama mewujudkan terjadinya proses pendidikan bagi generasi bangsa kita.
Dengan demikian, perubahan ataupun kemajuan pendidikan yang dapat mengubah masa depan sosial masyarakat jika dipandang dari dimensi tuntutan kualitas manusia masa kini dan masa datang maupun dari kondisi pendidikan yang semakin kompleks dan multidimensional itu, maka pendidikan kita telah saatnya lebih banyak memberi kesempatan anak-anak kita mengaktualisasikan diri dalam kondisi yang terkontrol baik dirumah maupun di sekolah untuk mengimbangi kondisi yang tidak terkontrol dalam kehidupan di masyarakat luas yang justru tarik menarik pengaruhnya terhadap proses pendidikan formal semakin besar. Peran pendidikan orang tua dan pendidikan sekolah dituntut semakin besar, apabila kita ingin generasi bangsa kita tidak mengalami pemudaran nilai-nilai budaya bangsa kita yang akan menjalar kepada pemudaran rasa kebangsaan kita, dengan lebih besar memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengaktualisasikan diri mereka masing-masing.