Rabu, 18 November 2009


"/tmp/upload/97d643081a06ad51063227624c0e817f106e8f94568ef40b3d63abb266aeef631/Copy of IMG_0275.jpg"

Selasa, 17 November 2009

'Ulumul Qur'an

Makalah ini dipresentasikan sebagai tugas individu pada mata kiliah 'ulumul Qur'an Program Pasca Sarjana PTIQ-Jakarta Konst. Manajemen Pendidikan Islam.
by. Hanafi
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang diturunkan dari langit lewat Malaikat Jibril AS. Kepada Rasul Allah Muhammad saw., sebagai pedoman hidup yang menuntun manusia untuk keluar dan manjalani roda kehidupan, memberikan kemudahan, menjadi mukjizat bagi Rasul dan umatnya. Oleh karena itu, Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki Al-Qur’an. Padahal ia adalah umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (Rahmatan Lil ‘Alamin). Atau sulit dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’ Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir.
Fenomena Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw., ternyata bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya. Kendatipun Al-Qur’an sebagai mukjizat dari dzat penguasa alam yang selalu dan manjadi pedoman hidup seluruh alam tetap akan menjadi sebuah kitab yang suatu saat tidak relevan dengan keadaan dan masa jikalau diturunkan dengan satu bentuk atau satu huruf. Dengan demikian al-Qur’an diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’at ahruf), angka yang begitu sempurna yang bertujuan untuk megkafer semua bahasa, dialek, wajah, bentuk dan perbedaan dianatara manusia muslim. Namun ini pun menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian sab’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman.
Jauh sebelum ini, para ulama terdahulu telah memperdebatkan masalah yang terkandug dalam pembahasan “sab’atu ahruf” hingga melahirkan banyak pendapat seputar apa arti Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf, bagaimana maksudnya dan apakah tujuh huruf tersebut telah terkafer semuanya dalam mushaf Usmani juga apakah qira’ah sab’ah yang mashur sekarang adalah wujud dari tuuh huruf tersebut??? Serta bagaimana sikap kita sebagai seorang intelektual muslim menyikapi peredaan-perbedaan tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
SAB’ATU AHRUF
A. Hadis-Hadis Tentang Sab’atu Ahruf
Al-Qur’an diturnkan sebagai Mukjizat untuk semua atau seluruh alam semesta, yang diturunkan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh orang arab dengan maksud untuk mempermudah mereka memahaminya, sebagai ajakan tandingan kepada orang-orang yag pandai berbicara agar mendatang satu surat atau satu ayat. Disamping itu untuk mempermudah bacaan pemahaman dan hafalan Al-Qur’an bagi mereka, sebagaimana Allah SWT. berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya kami menurunkan Al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.”
Dengan segala kemudahannya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh Huruf sebagaimana yang diuraikan oleh Rasulullah dalam sabdanya sebagai berikut:
Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahihnya meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas r.a bahwa ia berkata, Rasulullah SAW. Bersabda:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

“Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahiku sampai dengan tuju huruf”.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِيَّ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ
سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَأُ عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَتَصَبَّرْتُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ كَذَبْتَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَقْرَأَنِيهَا عَلَى غَيْرِ مَا قَرَأْتَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ أَقُودُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ بِسُورَةِ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اقْرَأْ يَا هِشَامُ فَقَرَأَ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُ الْقِرَاءَةَ الَّتِي أَقْرَأَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Dari Umar Bin Khattab, ia berkata, “Aku mendengar Hisyam Bin Hakim membaca surah Al-Furqan di masa hidup Rasulullah, Aku perhatikan bacannya, tiba-tiba ia membacakannya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku balambaknya disaat ia sholat, tetapai aku urngkan, mak aku menunggu sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pekaiannya dan aku katakan kepadanya, “sipa yang mengajarkan bacan surah itu kepadamu?’ ia manjawab, ‘Rasulullah yang mambacakannya kepadaku , ‘kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah dtelah membacakan juga kepadaku surah yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kapadanya bahwa aku telah mendengar orang ini memabacakan surah al-Furqon dengan surah-surah yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engau sendiri telah membacakan surah al-furqon kepadaku. Maka Rasulullah berkata, “lepaskan dia: “bacalah wahai umar!” lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajakan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah, “bagitulah sutrat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, abu Daud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir).
Al-Hafiz Abu Ya’la dalam musnad kabirnya meriwayatkan bahwa pada suatu hari Usman r.a. berkata di atas mimbar, “aku sebut nama Allah ketika teringat eorang lelaki yang mendengar Rasulullah SAW. Berkata: Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuannya tegas lagi sempurna.”
Ketika umar berdiri, hadirinpun berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan pula bahwa rasulullah SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuannya tegas lagi sempurna (lengkap).” Kemudian Usman r.a. berkata, saya menyaksikannya bersama mereka.
Imam Ahmad mengeluarkan hadis dengan sanadnya dari Abi Qais maula Amar bin Ash dari Amr, bahwa ada seseorang yang membaca satu ayat Al-Qur’ankemudian Amr berkata kepadanya, “sebenarnya ayat itu begini dan begini. Setelah itu, ia mengatakan hal itu kepada Rasulullah SAW., beliau menjawab, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, mana saja yang kalian baca berarti benar dan jangan kalian saling meragukan.
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

“Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan di atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang dirasakan mudah dari padanya” (HR. Bukhari dan Muslim).

B. Definisi Sab’atu Ahruf
Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama, berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana dikutip Al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh lima pendapat. Sementara Al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam.
Pengertian atau yang dimaksud dengan tujuh huruf yaitu tujuh segi bacaan .
“Al-Ahruf” adalah bentuk jaama’ dari lafaz “harf”. Lafaz “harf” ini mempunyai makna yang banyak, salah seorang pengarang kamus mengaakan “harf”dari segala sesuatu berarti ujungnya atau tepinya. Sedangkan “harf” gunung berarti puncaknya. Pengertian hurf adalah salah satu bentuk huruf hijaiyah. Sebagian oarang ada yang mengabdi pada Allah secara “harf” dalam arti hanya dari satusegi saja, tidak dalam keadaan luka, ragu dan tidak tenang. Dengan kata lain, kita memasuki agama tidak secara mantab. Dengan demikian
أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Al-Qur’an diturunkan atas makananya. “dari tujuh bahasa orang-orang arab”, bukan pengertiannya bahwa setiap huruf mempunyai tujuh pengertian.
Arti Sab’atu Ahruf (Tujuh Huruf) dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dan pendapat dari kalangan ulama. Hal itu disebabkan karena kata Sab’ah itu sendiri dan kata Ahruf mempunyai banyak arti. Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti bilangan tujuh, dan bisa juga berarti bilangan tak terbatas. Sedang kata Ahruf adalah jama dari harf yang mempunyai macam-macam arti, antara lain, salah satu huruf hijaiyah, makna, saluran air, wajah, kata, bahasa, dan lain-lain. Para Ulama telah mencoba menfsirkan Sab’atu Ahruf, yang menurut Imam As-Suyuti, tidak kurang dari empat puluh penafsiran. Al-Harf menurut penulis al-Qamus : “Al-Harf” dari segala sesuatu berarti “tepinya”, pinggirnya dan batasnya. Al-Harf dari gunung adalah puncaknya. Ia juga merupakan satuan dari huruf-huruf hija’iyah. Berarti pula “onta yang kurus” atau “onta yag mengagumkan”, tempat mengalirnya air ataupun batas wilayah.

C. Pendapat Para Ulama Tentang Sab’atu Ahruf
Dalam hal mentafsirkan al-Qur’an yang diturunkan atas tujuh huruf para ulama babeda pendapat atau banyak ditemukan perselisihan diantara mereka. Dibawah ini pemakalah akan menguaraikan beberapa pendapat tersebut diantaranya adalah:
1. Sebagaian orang arab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari kalangan orang arab dalam pengertian yang sama. Dengan pengertian dialek orang-orag arab dalam mengungkapkan sesuatu maksud itu berbeda-beda, sedangkan Al-Qur’an datang dengan menggunakan lafaz-lafaz menurut dialek tersebut.
2. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah tujuh bahasa orang-orang arab yang menjadi tempat-tempat Al-Qur’an diturunkan yaitu bahasa-bahasa yang paling baik dikalangan Arab.
3. Yang dimaksud “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf” tujuh macam (bagian) di dalam Al-Qur’an. Namun meeka berbeda pendapat dalam menetukan macam (bagian) dan uslub pengungkapannya. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa dimaksud adalah: amar, nahi, halal, haram, muhkam, mutasyabbih, dan amsal.
4. Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah beberapa segi lafal yang berbeda, dalam satu kalimat dan satu arti seperti lafal: halumma, aqbil, ta’al, ajjil, isra’, qasdi, dan nahwi, yang etuuh lafal itu memiliki satu pengertian yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ahli fikih dan hadis antara lain ibnu jarir, At-Tabari, dan At-Tahawi.
5. Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah mengenai tujuh perbedaan dalam tujuh hal:
a. Perbedaan nama-nama dalam bentuk mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya.
b. Perbedaan tasrif fi’il dari bentuk mudhari’, madi dan amar.
c. Perbedaan dalam ibdal (penggantian).
d. Perbedaan dalam takdim dan takhir yang adakalanya dalam bentuk huruf, dalam bentuk kalimat aktif diaca dalam bentuk fasif atau sebaliknya.
e. Perbedaan dalam segi i’rab (harakat akhir kata).
f. Perbedaan dari segi penambahan dan pengurangan.
g. Perbedaan lahjah tentang tafkhim dan tarqiq, imalah, izhar, dan idgham.
Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Imam Ar-Razi dan didukung oleh Ibnu Qutaibah, Ibnu Jazari, dan Ibnu Thayib yang dinukul oleh Az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan yag diperkuatnya dengan beberapa dalil.
Para ulama berselisih pendapat mengenai haikikat makna tujuh huruf. berikut beberapa pandangan ulama, tentang hakikat makna tujuh huruf.
1. Larangan, perintah, halal, haram, peringatan, perbandingan dan hujah
2. Balasan baik dan buruk, halal haram, peringatan, perbandingan dan hujah.
3. Tujuh Bahasa yaitu Quraisy, Yaman, Jarha, Hairizam, Qurdaah, Al-Tamim dan Ther.
4. Tujuh Qiraat sahabat yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas dan Ubay bin Ka’ab.
5. DZahir, batin, fardu, sunat, khusus, umum, dan perbandingan.
6. Depan, akhir, faraid, hudud, peringatan, mutasyabihah dan perbandingan.
7. Perintah, larangan, akad (jual beli), ilmu ghaib, zahir dan batin.
8. Hamzah, imalah, baris atas, baris bawah, tebal, panjang dan pendek.
9. Perintah, larangan, berita gembira, peringatan, khabar, perbandingan dan peringatan
Demikianlah pendpat ulama yang bermacam-macam mengenai maksud tujuh huruf dalam Al-Qur’an.
Sebahagian ulama mengatakan bahwa Al-Ahruf As-Sab’ah (huruf yang tujuh) yang diturunkan ke dalam al-Qur’an, tidak mungkin dimaksudkan Qira’ah Sab’ah (bacaan yang tujuh) yang mashur itu. Hal ini ditegaskan dikarenakan banyaknya ulama yang menyangka bahwa Qira’ah Sab’ah dimaksudkan dengan huruf yang tujuh.
Abu Syamah di dalam kitab Al-mursyid Al-Wajiz berkata: “segolongan orang menyangka bahwa Qiro’ah Sab’ah yang berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki dalam hadis persangkaan yang demikian berlawanan dengan ijma’ semua ahli ilmu”
Jumhur ulama cenderung berpendapat bahwa, Mushaf reproduksi Usman mencakup gambaran tentang “tujuh huruf” Al-Qohdi Abubakar bin Thoyyib Al-Baqlani membenarkan pendapat tersebut dan mangatakan “yang banar adalah bahwa masalah “tujuh huruf itu muncul dan berasal dari Rasulullah saw. kemudian dicatat oleh para pemimpin umat, lalu dicantum oleh Usman dan para sahabat Nabi lainnya di dalam mushaf serta dinyatakan kebenarannya.
Dalam menyikapi semua hal di atas pemakalah berpendapat bahwa tidak ada satu alasanpun yang kuat yang menjadi dasar kita untuk mengatakan bahwa turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf atau tujuh wajah, itu tidak banar. Dikarenakan banyak sekali dalil naqli yang membenarkan hal tersebut berupa hadis-hadis shohih bahkan Mutawatir. Menjadi sebuah permasalahan ketika kita meragukan bahwa Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf karena dilihat dari segi manapun hal (sab’atu ahruf) itu pasti kuat dan benar. Contohnya dilihat dari segi sejarah dan keadaan ketika Al-Qur’an diturunkan bahwa pada saat itu bangsa Arab terbagi dalam suku-suku dan memiliki dialek (bahasa) yang berbeda-beda sehingga ada kemungkinan Allah swt. menurunkan Al-Qur’an dengan tujuh huruf / tujuh dialek atau tujuh wajah bermaksud untuk mengkafer kesemua golongan tersebut. Dari segi kemudahan bahwa Al-Qur’an dirunkan dengan bahasa Arab bertujuan memberikan kemudahan kepada umat / bangsa Arab dalam membaca, memahami dan menghafal setiap ayat yang diturunkan, sehingga dengan demikian diturukannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf dimaksudkan untuk tidak adanya diskriminasi dalam tubuh bangsa Arab itu sendiri, dan pemakalah keyakinan bahwa bagaimanapun Al-Qur’an itu ditunkan, itu semua dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pada semua bangsa dan manyatukan umat Islam di bumi.

TARJIH (penganalisisan)
Menurut pemakalah salah satu pendekatan yang dapat kita pakai dalam memahami Sab’atu Ahruf, yaitu dengan memahami latar belakang kondisi masyarakat Arab yang terbagi dalam kabilah-kabilah. Masyarakat Arab adalah masyarakat yang dulunya nomaden. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari sumber-sumber kehidupan.
Nah, kabilah-kabilah Arab tersebut menyebar ke berbagai tempat dan mempunyai cara bertutur kata atau dialek masing-masing. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan beberapa ahli, termasuk Abdul Shabur Shahin, intelektual Mesir, dialek orang Arab terbagi menjadi dua, yaitu dialek suku-suku yang mendiami perkotaan (hadlari) dan suku-suku di pedesaan (badawi).
Suku-suku badawi menempati Jazirah Arab sebelah timur, seperti Ubail, Thaif, sampai ke Najed, sekarang Riyadh. Dialek mereka cenderung kuat, menggunakan penekanan atau syiddah dalam berkata-kata. Dalam pengucapan hamzah, misalnya, harus jelas. Huruf hamzah pada pengucapan kata a-andzartahum atau al ardlu benar-benar terucapkan. Di sisi lain, mereka suka mempersingkat kata-kata. Misalnya, ya’lamuma, mereka singkat menjadi ya’lamma. Kata fihi hudan menjadi fiihudan.
Pedapat yang hampir mendekati kebenaran adalah pendapat yang terakhir yang pilih oleh Imam Al-Razi dan dipegang oleh Imam Al-Zarqoni dalam kitabnya Manahilul Irfan “Sab’atu Ahruf” yaitu dengan Sab’atu Aujuh (tujuh wajah) yang dari awal sampa akhir wajah al-Qur’an tidak keluar tujuh wajah perbedaan, yaitu:
1. Perbedaaan dalam bentuk isim
2. Perbedaan dalam bentuk fi’il
3. Perbedaan dalam bentuk i’rab
4. Perbedaan dalam bentuk tabdil
5. Perbedaan dalam bentuk naqish dan ziadah
6. Perbedaan dalam bentuk taqdim dan ta’akhir
7. Perbedaan dalam bentuk wajhah.
Dan pendapat ini diperkuat dengan alasan sebagai berikut:
1. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis sebagaiman tersebut di atas.
2. Pendapat ini berpegang pada teori penyelidikan yang mendetail terhadap qira’at dan sumbernya yaitu tentang huruf yang tujuh.
3. Tidak ada bantahan terhadap pendapat ini.

D. Manfaat Mengetahui Sab’atu Ahruf
Ada beberapa manfaat yang menurut hemat pemakalah yang langsung maupun tidak dari kita mengetahui sab'atu Ahruf atau turunya Al-Quran dengan tujuh huruf yaitu sebagai berikut:
a. Dapat menambah khazanah keilmuan kita tentang ke-Al-Qur'an-an atau Islam pada umumnya sehingga menjadi lebih bangga danpercaya diri sebagai seorang Muslim dan menambah keyakinan akan kemukjizatan Al-Qur'an.
b. Menghimpun umat Islam yang baru ke dalam satu dialek, yaitu dialek Quraisy yang Al-Qur'an turun dengannya dan banyak sekali dialek-dialek pilihan dari suku-suku Arab yang sering datang ke Mekkah pada musim-musim haji dan pasar-pasar Arab yang terkenal.
c. Tidak saling menyalahi anhtara satu dengan lainnya seperti yang telah terjadi di masa umar dan sahabat-sahabat yang lain dan terhindar dari kesalah pahaman.
d. Yang terutama sekali adalah mempermudah umat Islam, khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Qur'an, sedangkan mereka memiliki beberapa dialek (lahjah), meskipun mereka bias disatukan oleh sifat kearabannya. Manfaat ini sesuaidengan sabda Rasulullah saw., "agar mempermudah ummatku". Dan sesungguhnya umatku tidak mampu melaksanakannya."dan lain-lain.
e. Memberikan pengetahuan lebih rinci tentang latar belakang bangsa Arab pra-Islam dari segi bahasa yang digunakan oleh suku-suku waktu itu.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Al-Qur’an menjadi Mu’jizat yang sangat mulia dengan segala keilmuan yag terkandung di dalamnya, diantaranya adalah Sab’atu Ahruf yang begitu komplek maknanya sehingga melahirkan perbedaan pendapat diantara ulama-ulama dan umat Islam. Namun begitupun berbedanya pendapat paa ulama akan tetapi Sab’atu Ahruf, merupakan masalah yag dilandasi dengan dalil-dalil nash yang begitu kuat dan shohih sehingga tidak boleh kita ragugan lagi bahwa Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh wajah yang bertuuan untuk mempermudah manusia muslim dalam membacanya, mempelajari dan manghafal ayat-ayatnya. Menjadi lebih kaya dan berkualitas keilmuan kita ketika mempelajari dan memahami hal tersebut.

B. SARAN
Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini, menjadi bahan rujukan kita dalam menulis karya ilmiah dan bermanfaat bagi saiapapun yang membacanya. Bagitupun maksimalya usaha kami memberikan yang terbaik dalam makalah ini, namun tetap terdapat kekurangan dan kekeliruan di dalamnya. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari sahabat-sahabat yang bersifat membangun sehingga terciptanya kearifan dalam diri juga karya kita dikemudian hari.
REFERENSI