Rabu, 18 November 2009


"/tmp/upload/97d643081a06ad51063227624c0e817f106e8f94568ef40b3d63abb266aeef631/Copy of IMG_0275.jpg"

Selasa, 17 November 2009

'Ulumul Qur'an

Makalah ini dipresentasikan sebagai tugas individu pada mata kiliah 'ulumul Qur'an Program Pasca Sarjana PTIQ-Jakarta Konst. Manajemen Pendidikan Islam.
by. Hanafi
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang diturunkan dari langit lewat Malaikat Jibril AS. Kepada Rasul Allah Muhammad saw., sebagai pedoman hidup yang menuntun manusia untuk keluar dan manjalani roda kehidupan, memberikan kemudahan, menjadi mukjizat bagi Rasul dan umatnya. Oleh karena itu, Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki Al-Qur’an. Padahal ia adalah umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (Rahmatan Lil ‘Alamin). Atau sulit dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’ Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir.
Fenomena Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw., ternyata bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya. Kendatipun Al-Qur’an sebagai mukjizat dari dzat penguasa alam yang selalu dan manjadi pedoman hidup seluruh alam tetap akan menjadi sebuah kitab yang suatu saat tidak relevan dengan keadaan dan masa jikalau diturunkan dengan satu bentuk atau satu huruf. Dengan demikian al-Qur’an diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’at ahruf), angka yang begitu sempurna yang bertujuan untuk megkafer semua bahasa, dialek, wajah, bentuk dan perbedaan dianatara manusia muslim. Namun ini pun menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian sab’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman.
Jauh sebelum ini, para ulama terdahulu telah memperdebatkan masalah yang terkandug dalam pembahasan “sab’atu ahruf” hingga melahirkan banyak pendapat seputar apa arti Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf, bagaimana maksudnya dan apakah tujuh huruf tersebut telah terkafer semuanya dalam mushaf Usmani juga apakah qira’ah sab’ah yang mashur sekarang adalah wujud dari tuuh huruf tersebut??? Serta bagaimana sikap kita sebagai seorang intelektual muslim menyikapi peredaan-perbedaan tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
SAB’ATU AHRUF
A. Hadis-Hadis Tentang Sab’atu Ahruf
Al-Qur’an diturnkan sebagai Mukjizat untuk semua atau seluruh alam semesta, yang diturunkan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh orang arab dengan maksud untuk mempermudah mereka memahaminya, sebagai ajakan tandingan kepada orang-orang yag pandai berbicara agar mendatang satu surat atau satu ayat. Disamping itu untuk mempermudah bacaan pemahaman dan hafalan Al-Qur’an bagi mereka, sebagaimana Allah SWT. berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya kami menurunkan Al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.”
Dengan segala kemudahannya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh Huruf sebagaimana yang diuraikan oleh Rasulullah dalam sabdanya sebagai berikut:
Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahihnya meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas r.a bahwa ia berkata, Rasulullah SAW. Bersabda:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا حَدَّثَهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ وَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

“Jibril membacakan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahiku sampai dengan tuju huruf”.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَبْدٍ الْقَارِيَّ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ
سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَمَعْتُ لِقِرَاءَتِهِ فَإِذَا هُوَ يَقْرَأُ عَلَى حُرُوفٍ كَثِيرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكِدْتُ أُسَاوِرُهُ فِي الصَّلَاةِ فَتَصَبَّرْتُ حَتَّى سَلَّمَ فَلَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَقُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ الَّتِي سَمِعْتُكَ تَقْرَأُ قَالَ أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ كَذَبْتَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَقْرَأَنِيهَا عَلَى غَيْرِ مَا قَرَأْتَ فَانْطَلَقْتُ بِهِ أَقُودُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ بِسُورَةِ الْفُرْقَانِ عَلَى حُرُوفٍ لَمْ تُقْرِئْنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اقْرَأْ يَا هِشَامُ فَقَرَأَ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُ الْقِرَاءَةَ الَّتِي أَقْرَأَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَلِكَ أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

Dari Umar Bin Khattab, ia berkata, “Aku mendengar Hisyam Bin Hakim membaca surah Al-Furqan di masa hidup Rasulullah, Aku perhatikan bacannya, tiba-tiba ia membacakannya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku balambaknya disaat ia sholat, tetapai aku urngkan, mak aku menunggu sampai salam. Begitu selesai, aku tarik pekaiannya dan aku katakan kepadanya, “sipa yang mengajarkan bacan surah itu kepadamu?’ ia manjawab, ‘Rasulullah yang mambacakannya kepadaku , ‘kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah dtelah membacakan juga kepadaku surah yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kapadanya bahwa aku telah mendengar orang ini memabacakan surah al-Furqon dengan surah-surah yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engau sendiri telah membacakan surah al-furqon kepadaku. Maka Rasulullah berkata, “lepaskan dia: “bacalah wahai umar!” lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajakan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah, “bagitulah sutrat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, abu Daud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir).
Al-Hafiz Abu Ya’la dalam musnad kabirnya meriwayatkan bahwa pada suatu hari Usman r.a. berkata di atas mimbar, “aku sebut nama Allah ketika teringat eorang lelaki yang mendengar Rasulullah SAW. Berkata: Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuannya tegas lagi sempurna.”
Ketika umar berdiri, hadirinpun berdiri sehingga tidak terhitung dan mereka menyaksikan pula bahwa rasulullah SAW bersabda, “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf yang kesemuannya tegas lagi sempurna (lengkap).” Kemudian Usman r.a. berkata, saya menyaksikannya bersama mereka.
Imam Ahmad mengeluarkan hadis dengan sanadnya dari Abi Qais maula Amar bin Ash dari Amr, bahwa ada seseorang yang membaca satu ayat Al-Qur’ankemudian Amr berkata kepadanya, “sebenarnya ayat itu begini dan begini. Setelah itu, ia mengatakan hal itu kepada Rasulullah SAW., beliau menjawab, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, mana saja yang kalian baca berarti benar dan jangan kalian saling meragukan.
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ

“Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan di atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang dirasakan mudah dari padanya” (HR. Bukhari dan Muslim).

B. Definisi Sab’atu Ahruf
Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama, berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana dikutip Al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh lima pendapat. Sementara Al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam.
Pengertian atau yang dimaksud dengan tujuh huruf yaitu tujuh segi bacaan .
“Al-Ahruf” adalah bentuk jaama’ dari lafaz “harf”. Lafaz “harf” ini mempunyai makna yang banyak, salah seorang pengarang kamus mengaakan “harf”dari segala sesuatu berarti ujungnya atau tepinya. Sedangkan “harf” gunung berarti puncaknya. Pengertian hurf adalah salah satu bentuk huruf hijaiyah. Sebagian oarang ada yang mengabdi pada Allah secara “harf” dalam arti hanya dari satusegi saja, tidak dalam keadaan luka, ragu dan tidak tenang. Dengan kata lain, kita memasuki agama tidak secara mantab. Dengan demikian
أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Al-Qur’an diturunkan atas makananya. “dari tujuh bahasa orang-orang arab”, bukan pengertiannya bahwa setiap huruf mempunyai tujuh pengertian.
Arti Sab’atu Ahruf (Tujuh Huruf) dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dan pendapat dari kalangan ulama. Hal itu disebabkan karena kata Sab’ah itu sendiri dan kata Ahruf mempunyai banyak arti. Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti bilangan tujuh, dan bisa juga berarti bilangan tak terbatas. Sedang kata Ahruf adalah jama dari harf yang mempunyai macam-macam arti, antara lain, salah satu huruf hijaiyah, makna, saluran air, wajah, kata, bahasa, dan lain-lain. Para Ulama telah mencoba menfsirkan Sab’atu Ahruf, yang menurut Imam As-Suyuti, tidak kurang dari empat puluh penafsiran. Al-Harf menurut penulis al-Qamus : “Al-Harf” dari segala sesuatu berarti “tepinya”, pinggirnya dan batasnya. Al-Harf dari gunung adalah puncaknya. Ia juga merupakan satuan dari huruf-huruf hija’iyah. Berarti pula “onta yang kurus” atau “onta yag mengagumkan”, tempat mengalirnya air ataupun batas wilayah.

C. Pendapat Para Ulama Tentang Sab’atu Ahruf
Dalam hal mentafsirkan al-Qur’an yang diturunkan atas tujuh huruf para ulama babeda pendapat atau banyak ditemukan perselisihan diantara mereka. Dibawah ini pemakalah akan menguaraikan beberapa pendapat tersebut diantaranya adalah:
1. Sebagaian orang arab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari kalangan orang arab dalam pengertian yang sama. Dengan pengertian dialek orang-orag arab dalam mengungkapkan sesuatu maksud itu berbeda-beda, sedangkan Al-Qur’an datang dengan menggunakan lafaz-lafaz menurut dialek tersebut.
2. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah tujuh bahasa orang-orang arab yang menjadi tempat-tempat Al-Qur’an diturunkan yaitu bahasa-bahasa yang paling baik dikalangan Arab.
3. Yang dimaksud “Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf” tujuh macam (bagian) di dalam Al-Qur’an. Namun meeka berbeda pendapat dalam menetukan macam (bagian) dan uslub pengungkapannya. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa dimaksud adalah: amar, nahi, halal, haram, muhkam, mutasyabbih, dan amsal.
4. Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah beberapa segi lafal yang berbeda, dalam satu kalimat dan satu arti seperti lafal: halumma, aqbil, ta’al, ajjil, isra’, qasdi, dan nahwi, yang etuuh lafal itu memiliki satu pengertian yaitu perintah untuk menghadap. Pendapat ini dikemukakan oleh kebanyakan ahli fikih dan hadis antara lain ibnu jarir, At-Tabari, dan At-Tahawi.
5. Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah mengenai tujuh perbedaan dalam tujuh hal:
a. Perbedaan nama-nama dalam bentuk mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya.
b. Perbedaan tasrif fi’il dari bentuk mudhari’, madi dan amar.
c. Perbedaan dalam ibdal (penggantian).
d. Perbedaan dalam takdim dan takhir yang adakalanya dalam bentuk huruf, dalam bentuk kalimat aktif diaca dalam bentuk fasif atau sebaliknya.
e. Perbedaan dalam segi i’rab (harakat akhir kata).
f. Perbedaan dari segi penambahan dan pengurangan.
g. Perbedaan lahjah tentang tafkhim dan tarqiq, imalah, izhar, dan idgham.
Pendapat yang terakhir ini dikemukakan oleh Imam Ar-Razi dan didukung oleh Ibnu Qutaibah, Ibnu Jazari, dan Ibnu Thayib yang dinukul oleh Az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan yag diperkuatnya dengan beberapa dalil.
Para ulama berselisih pendapat mengenai haikikat makna tujuh huruf. berikut beberapa pandangan ulama, tentang hakikat makna tujuh huruf.
1. Larangan, perintah, halal, haram, peringatan, perbandingan dan hujah
2. Balasan baik dan buruk, halal haram, peringatan, perbandingan dan hujah.
3. Tujuh Bahasa yaitu Quraisy, Yaman, Jarha, Hairizam, Qurdaah, Al-Tamim dan Ther.
4. Tujuh Qiraat sahabat yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas dan Ubay bin Ka’ab.
5. DZahir, batin, fardu, sunat, khusus, umum, dan perbandingan.
6. Depan, akhir, faraid, hudud, peringatan, mutasyabihah dan perbandingan.
7. Perintah, larangan, akad (jual beli), ilmu ghaib, zahir dan batin.
8. Hamzah, imalah, baris atas, baris bawah, tebal, panjang dan pendek.
9. Perintah, larangan, berita gembira, peringatan, khabar, perbandingan dan peringatan
Demikianlah pendpat ulama yang bermacam-macam mengenai maksud tujuh huruf dalam Al-Qur’an.
Sebahagian ulama mengatakan bahwa Al-Ahruf As-Sab’ah (huruf yang tujuh) yang diturunkan ke dalam al-Qur’an, tidak mungkin dimaksudkan Qira’ah Sab’ah (bacaan yang tujuh) yang mashur itu. Hal ini ditegaskan dikarenakan banyaknya ulama yang menyangka bahwa Qira’ah Sab’ah dimaksudkan dengan huruf yang tujuh.
Abu Syamah di dalam kitab Al-mursyid Al-Wajiz berkata: “segolongan orang menyangka bahwa Qiro’ah Sab’ah yang berkembang sekarang, itulah yang dikehendaki dalam hadis persangkaan yang demikian berlawanan dengan ijma’ semua ahli ilmu”
Jumhur ulama cenderung berpendapat bahwa, Mushaf reproduksi Usman mencakup gambaran tentang “tujuh huruf” Al-Qohdi Abubakar bin Thoyyib Al-Baqlani membenarkan pendapat tersebut dan mangatakan “yang banar adalah bahwa masalah “tujuh huruf itu muncul dan berasal dari Rasulullah saw. kemudian dicatat oleh para pemimpin umat, lalu dicantum oleh Usman dan para sahabat Nabi lainnya di dalam mushaf serta dinyatakan kebenarannya.
Dalam menyikapi semua hal di atas pemakalah berpendapat bahwa tidak ada satu alasanpun yang kuat yang menjadi dasar kita untuk mengatakan bahwa turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf atau tujuh wajah, itu tidak banar. Dikarenakan banyak sekali dalil naqli yang membenarkan hal tersebut berupa hadis-hadis shohih bahkan Mutawatir. Menjadi sebuah permasalahan ketika kita meragukan bahwa Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf karena dilihat dari segi manapun hal (sab’atu ahruf) itu pasti kuat dan benar. Contohnya dilihat dari segi sejarah dan keadaan ketika Al-Qur’an diturunkan bahwa pada saat itu bangsa Arab terbagi dalam suku-suku dan memiliki dialek (bahasa) yang berbeda-beda sehingga ada kemungkinan Allah swt. menurunkan Al-Qur’an dengan tujuh huruf / tujuh dialek atau tujuh wajah bermaksud untuk mengkafer kesemua golongan tersebut. Dari segi kemudahan bahwa Al-Qur’an dirunkan dengan bahasa Arab bertujuan memberikan kemudahan kepada umat / bangsa Arab dalam membaca, memahami dan menghafal setiap ayat yang diturunkan, sehingga dengan demikian diturukannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf dimaksudkan untuk tidak adanya diskriminasi dalam tubuh bangsa Arab itu sendiri, dan pemakalah keyakinan bahwa bagaimanapun Al-Qur’an itu ditunkan, itu semua dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pada semua bangsa dan manyatukan umat Islam di bumi.

TARJIH (penganalisisan)
Menurut pemakalah salah satu pendekatan yang dapat kita pakai dalam memahami Sab’atu Ahruf, yaitu dengan memahami latar belakang kondisi masyarakat Arab yang terbagi dalam kabilah-kabilah. Masyarakat Arab adalah masyarakat yang dulunya nomaden. Mereka berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari sumber-sumber kehidupan.
Nah, kabilah-kabilah Arab tersebut menyebar ke berbagai tempat dan mempunyai cara bertutur kata atau dialek masing-masing. Dalam sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan beberapa ahli, termasuk Abdul Shabur Shahin, intelektual Mesir, dialek orang Arab terbagi menjadi dua, yaitu dialek suku-suku yang mendiami perkotaan (hadlari) dan suku-suku di pedesaan (badawi).
Suku-suku badawi menempati Jazirah Arab sebelah timur, seperti Ubail, Thaif, sampai ke Najed, sekarang Riyadh. Dialek mereka cenderung kuat, menggunakan penekanan atau syiddah dalam berkata-kata. Dalam pengucapan hamzah, misalnya, harus jelas. Huruf hamzah pada pengucapan kata a-andzartahum atau al ardlu benar-benar terucapkan. Di sisi lain, mereka suka mempersingkat kata-kata. Misalnya, ya’lamuma, mereka singkat menjadi ya’lamma. Kata fihi hudan menjadi fiihudan.
Pedapat yang hampir mendekati kebenaran adalah pendapat yang terakhir yang pilih oleh Imam Al-Razi dan dipegang oleh Imam Al-Zarqoni dalam kitabnya Manahilul Irfan “Sab’atu Ahruf” yaitu dengan Sab’atu Aujuh (tujuh wajah) yang dari awal sampa akhir wajah al-Qur’an tidak keluar tujuh wajah perbedaan, yaitu:
1. Perbedaaan dalam bentuk isim
2. Perbedaan dalam bentuk fi’il
3. Perbedaan dalam bentuk i’rab
4. Perbedaan dalam bentuk tabdil
5. Perbedaan dalam bentuk naqish dan ziadah
6. Perbedaan dalam bentuk taqdim dan ta’akhir
7. Perbedaan dalam bentuk wajhah.
Dan pendapat ini diperkuat dengan alasan sebagai berikut:
1. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis sebagaiman tersebut di atas.
2. Pendapat ini berpegang pada teori penyelidikan yang mendetail terhadap qira’at dan sumbernya yaitu tentang huruf yang tujuh.
3. Tidak ada bantahan terhadap pendapat ini.

D. Manfaat Mengetahui Sab’atu Ahruf
Ada beberapa manfaat yang menurut hemat pemakalah yang langsung maupun tidak dari kita mengetahui sab'atu Ahruf atau turunya Al-Quran dengan tujuh huruf yaitu sebagai berikut:
a. Dapat menambah khazanah keilmuan kita tentang ke-Al-Qur'an-an atau Islam pada umumnya sehingga menjadi lebih bangga danpercaya diri sebagai seorang Muslim dan menambah keyakinan akan kemukjizatan Al-Qur'an.
b. Menghimpun umat Islam yang baru ke dalam satu dialek, yaitu dialek Quraisy yang Al-Qur'an turun dengannya dan banyak sekali dialek-dialek pilihan dari suku-suku Arab yang sering datang ke Mekkah pada musim-musim haji dan pasar-pasar Arab yang terkenal.
c. Tidak saling menyalahi anhtara satu dengan lainnya seperti yang telah terjadi di masa umar dan sahabat-sahabat yang lain dan terhindar dari kesalah pahaman.
d. Yang terutama sekali adalah mempermudah umat Islam, khususnya bangsa Arab yang menjadi tempat diturunkannya Al-Qur'an, sedangkan mereka memiliki beberapa dialek (lahjah), meskipun mereka bias disatukan oleh sifat kearabannya. Manfaat ini sesuaidengan sabda Rasulullah saw., "agar mempermudah ummatku". Dan sesungguhnya umatku tidak mampu melaksanakannya."dan lain-lain.
e. Memberikan pengetahuan lebih rinci tentang latar belakang bangsa Arab pra-Islam dari segi bahasa yang digunakan oleh suku-suku waktu itu.



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Al-Qur’an menjadi Mu’jizat yang sangat mulia dengan segala keilmuan yag terkandung di dalamnya, diantaranya adalah Sab’atu Ahruf yang begitu komplek maknanya sehingga melahirkan perbedaan pendapat diantara ulama-ulama dan umat Islam. Namun begitupun berbedanya pendapat paa ulama akan tetapi Sab’atu Ahruf, merupakan masalah yag dilandasi dengan dalil-dalil nash yang begitu kuat dan shohih sehingga tidak boleh kita ragugan lagi bahwa Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh wajah yang bertuuan untuk mempermudah manusia muslim dalam membacanya, mempelajari dan manghafal ayat-ayatnya. Menjadi lebih kaya dan berkualitas keilmuan kita ketika mempelajari dan memahami hal tersebut.

B. SARAN
Semoga apa yang disajikan dalam makalah ini, menjadi bahan rujukan kita dalam menulis karya ilmiah dan bermanfaat bagi saiapapun yang membacanya. Bagitupun maksimalya usaha kami memberikan yang terbaik dalam makalah ini, namun tetap terdapat kekurangan dan kekeliruan di dalamnya. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik dari sahabat-sahabat yang bersifat membangun sehingga terciptanya kearifan dalam diri juga karya kita dikemudian hari.
REFERENSI

Senin, 03 Agustus 2009

renungan 23


Hanafielsilaputerabimasejati
"Sebuah Renungan"
Bismillahirrahmanirrahim..
Hari ini adalah hari senin 8 juni 2009, hari yang sangat mulia dan misterius dalam dunia ini, hari yang menyimpan rahasia kehidupan yang tidak terjangkau oleh alam pikiran manusia dan menjadi hari yang sangat bersejarah, berarti bagi pimpinan umat Rasul SAW. Mungkin dalam benak kita, sedikit terbayang dan secara tidak sadar kita berucap.. “OOh Iya Ya..perasaan sering saya dengar bahwa hari senin merupakan hari yang bermanfaat.. dan secara spontan-pun kita akan bertanya pada diri kita… ada rahasia apa dibalik hari senin, kenapa dulu waktu SD, guru agama selalu menganjurkan kepada kami untuk membiasakan diri puasa sunnah pada hari senin…??? Ini semua merupakan pertanyaan yang sepele dan sering dilupakan oleh kita sebagai insan muslim yang katanya beriman dan beramal sholeh..!!!
Kawan… dalam hidup dan kehidupan itu tidak ada satu hal-pun yang boleh kita anggap sepele apalagi kita sengaja atau so’ menganggapnya tidak penting..sebab semua hal tercipta dengan sempurna dan lahir dari sebuah konsep keadilan Tuhan.. ketika kita menganggap suatu hal itu tidak penting, pada saat yang sama mungkin hal itu yang sangat bermanfaat bagi kita juga mungkin pada waktu yang sama jua kita telah dzolim terhadap ciptaan Tuhan dan kita-pun berdosa atas hal yang kita anggap sepele.. Na’udzubillah.. sedikit kutipan dan wahyu samawi.. “Jangan engkau menganggap suatu hal itu buruk karena suatu hal yang buruk dimata kamu itu, belum tentu di mata Allah buruk”.
Kawan.. semua kejadian, waktu juga makhluk di bumi ini yang begitu ragam macamnya, jenis dan bentuknya, ada yang jelek, bagus, indah, serem, hina, dll., semua itu tercipta dengan adil dan sempurna adanya dan paing utama adalah memiliki nilai lebih masing-masing.. di bawah ini, kita akan sdikit merenung tentang bagaimana dan apa rahasia hari senin dalam sejarah Rasul juga kenapa saya sampai merenung pada hari yang begitu cerah ini…
Pada hari senin, semua peristiwa penting dalam sejarah Rasul Muhammad saw. terjadi, paling tidak ada lima peristiwa yang sangat berarti dalam kehidupan beliau yang terjadi pada hari tersebut, yaitu lahirnya baginda Rasul Muhammad, diangkatnya menjadi Rasul, hijrahnya dari Mekkah ke Madinah, dan wafatnya beliau juga pada hari senin, selain itu, satu hal lagi peristiwa yang begitu mulia, bersejarah dan misterius bagi Rasul dan manusia, juga terjadi pada hari yang sama yaitu peristiwa dijalankannya oleh Allah swt. Rasul Muhammad saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha hingga diangkatnya beliau ke hadapan Allah Tuhan semesta alam (Sidratulmuntaha) yang kita kenal dengan peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad saw. Itulah kemuliaan hari senin yang terjadi dalam kehidupan Rasulullah, hal ini sama dengan kemulian Nabi Adam AS., yang diciptakan pada hari Jum'at, diturunkannya ke bumi, diterima tobatnya, dan dikebalikannya kehadapan Allah juga pada hari jum'at.
Pada hari ini jua (senin), merupakan hari yang bersejarah dalam kehidupan seorang hanafi el-Sila yang merupakan hari lahir dan awal menghirup udara dunia. Dan hari ini tanggal 8 Juni 2009, juga merupakan awal bagi saya menghirup udara dunia baru dalam usia yang ke 23 tahun, begitu semua terjadi tanpa terasa.
Puji syukur kupanjatkan kepada Allah swt yang hingga saat ini selalu memberikan berbagai macam nikmat dan umur panjang N mudah-mudahan umur baru menjadi sebuah langka awal untuk lebih memperbaiki semua amal sehingga aq lebih bisa mengenal diri-q sendiri dan bermanfaat bagi orang lain amin...!!!
Hari ini adalah hari ulang tahun-q yang ke-23, merupakan hari begitu ceria dan bahagia bagi-q sekaligus menjadi hari yang sedih bagi diri-q.
Senang dan bahagianya diri-q pada hari ini dikarenakan merupakan hari ulang tahun yang pertama dirayakan dengan penuh keceriaan dan special perayaannya oleh orang" dekat-Ku. Juga diwaktu yang sama aq-pun merasa sedih kerena tanpa disadari pintu kematian telah dekat dengan jiwa-q.
Banyak hal yang membuat diri-q bahagia dan lebih bangga menjadi seorang hanafi di tahun 2009 ini, di akhir april lalu tepatnya rabu 29 april, menjadi hari yang bersejarah dalam hidup-q, dimana pada hari itu, aq telah berhasil menyelesaikan jenjang pendidikanq pada bangku kuliah yang berkat perjuangan dan pertolongan Allah dapat terselesaikan dalam waktu yang relatif singkat dan banyak hal lain yang sadar atau tidak menjadikan-q sangat ceria dan menikmati hidup. Semoga hari ini dan semua hal-hal di atas menjadi acuan untuk mendapatkan hal yang lebih pada hari esok.. Amin...!!!
Wasalam "el-Sila"

Tilawah

Novel

SANGSAKA MERAH PUTIH.
Bismillahirrahmanairrahim..
Tulisan ini kupersembahkan untuk pejuang sejati dan sang rovolusioner dalam hidupku.. Yaitu Rasul saw. dan kedua orang tuaku.
Cerita ini menyoroti pendidikan orang miskin yang sangat tekun demi meraih cita-cita bangsa dan kehidupan sosial masyarakat desa yang penuh penderitaan dan gaya modernisasi orang kota.
Dari sebuah desa yang terpencil hidup dua orang anak yatim piatu dengan seorang kakek tua yang adalah dia merupakan mantan pejuang kemerdekaan yang terlupakan oleh bangsa. Hanya satu pesan yang selalu bersenandung dalam gemetar lidahnya ''wahai cucuku, kakek ga bisa berikan apa-apa kepada kalian kecuali sederetan kata nasehat; ''jadikanlah waktumu sebagai senjatamu untuk merubah nasibmu dan bangsamu, bangsa ini telah lama merdeka tetapi selalu terjajah, cucuku belajarlah...!!! Jangan pernah engkau gantungkan nasibmu kepada orang lain selain tuhanmu''. Nasehat itu selalu menjadi lantunan indah menemani tidur mereka.
Dalam era kehidupan, dunia telah terhegemoni dan terhipnotis oleh gaya kehidupan yang modernis hingga disudut desa-pun mengikuti gaya hidup dan budaya global tersebut. Namun berbeda dengan gaya hidup seorang kakek dan dua cucunya, mereka menjadi orang termiskin dengan sebuah gubug reoknya.
Dari latarbelakang kehidupan yang serba kurang, terdapat kebahagiaan dan cita-cita yang tinggi dari lubuk hati dua anak yatim piatu tersebut. Yang tertua merupakan kakak memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi dan bercita-cita menjadi seorang guru dan mencerdaskan bangsa, seorang adik laki-laki yang juga merasa sebagai seorang pemimpin dari kakak perempuannya memiliki rasa tanggungjawab yang kuat dan pribadi yang taat dan tangguh.
Satu tanggungjawab dan merupakan tujuan kakek dalam mengahiri perjalanan hidupnya adalah ingin melihat cucunya tersenyum dalam seragam sekolah. Dengan profesi jual kayu bakar, seorang kakek tua ini harus berjuang dan banting tulang melawan terik matahari yang sangat panas dan dinginnya hujan yang selalu menyelimuti perjalanan hidupnya demi mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup dan perjuangan untuk dapat membeli seragam sekolah untuk dua orang cucunya.
Kehidupan memang tidak adil ketika kita melihatnya dalam kaca mata manusia, namun itulah bagian dari keadilan langit, hal yang menurut kasat mata sangat diskriminasi menjadi sebuah konsep keadilan bagi raja langit.
Waktu berlalu bagai pedang yang tak kenal musuh, ketika kita lalai dengannya maka leher kita-pun ketebas. Sembari berjuang dengan waktu yang selalu mengejarnya, kakek tua selalu memberikan contoh perjuangan kepada kedua cucunya. Maka tibalah saat-saat dimana tujuan dan cita-cita kakek tua ini harus tercapai karena masa liburan sekolah telah tiba dan itu berarti dua pasang seragam sekolah harus ada. Hari-hari selalu dilewati oleh keluarga malang ini dengan penuh perjuangan, seoarang kakek harus mencari dan mengumpulkan kayu bakar di hutan, cucunya yang bontot bernama putra harus berjuang dalam menjual kayu bakar keringat kakeknya dan kakaknya tiara harus manjaga, manabung, dan menyiapkan segala keperluan di rumah.
Berbondong-bondong orang tua dan para tetangga bergegas ke sekolah untuk mendaftarkan anak-anak mereka dan ketika melihat hal tersebut sesekali tiara merasa sedih dan tidak tahan mengeluarkan air mata, begitupun kakeknya tidak bisa tidur karena memikirkan masa depan dua cucu penerusnya.
Pengumuman; hari ini adalah hari terakhir sekolah di desa kita menerima murid baru, maka diharapkan kepada bapak-bapak dan ibu sekalian yang belum mendaftarkan anak-anak dan cucunya untuk segera mendaftarkannya ke panitia sekolah. Itulah suara yang pertama kali mereka dengar ketika mentari pagi menyinari gelapnya malam. Hal itu membuat seorang kakek yang lagi sakit terbangun dan kaget dan menjadikan dua orang anak itu tersedih. Dari tempat tidurnya sambil batuk kakek bangun dan mengambil tabungannya dan ternyata duit hasil jerih payah selama ini belum cukup untuk membeli seragam kedua cucunya, hal itu membuat mantan pejuang ini merasakan hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya, kesedihan yang mendalam dirasakan oleh seoarang kakek tua tersebut, namun Sembari mengusap dua kelopak matanya tiara berkata ''kakek jangan sedih seperti itu lagi, walaupun duit yang kakek tabung selama ini belum cukup buat beli saragam dan saya juga putra tidak bisa ikut sekolah, kami tidak akan memaksakan itu terwujud karena kami yakin itu tidak akan menghambat kami untuk meraih cita-cita kami karena pendidikan bukan hanya didapat di bangku sekolah akan tetapi pendidikan dapat kami peroleh dimanapun kami berteduh, ia kek sambung putra menghibur kakeknya, kakek sekarang telah berhasil karena sudah menjadikan putra dan kak tiara sebagai cucu yang tangguh, sabar dan bisa menerima keadaan dunia''. Mendengar kebijaksanaan cucunya, kakek merasa terharu dan merasa sedih melihat potensi yang sangat besar dalam pribadi dan jiwa cucunya. Dalam hati kecilnya kakek bergumam sembari berharap kepada Tuhan: ''ya Allah.. Jikalau engkau menghendaki, berikan kesanggupan kepada-ku untuk menjadikan dua cucuku menjadi orang yang berguna, namun jikalau engkau berkehendak lain, berikanlah yang terbaik untuk dua cucuku''.
Tidak lama kemudian kakek menghilang dari tempat tidurnya dan membuat kedua cucunya merasa takut dan panik.
Tek..tek..tek..Assalamu'alaikum... Suara lemah seorang kakek terdengar dari depan pintu kantor sekolah.. Wa'alaikumussalam.. Masuk.. Jawab orang dalam ruangan.. Maka masuklah kakek dengan pakaiannya yang acak adut, di tangannya terlihat celengan dan selembar bendera ''Sangsaka Merah Putih'' yang telah kusut dan pudar warnanya oleh umur. Melihat kakek tua tersebut semua termenung, entah apa yang terpikir dalam benak mereka, seorang dari mereka dengan suara ragu, berkata, kakek ada yang bisa kami bantu...??? Iya nak.. Jawab kakek.. Kakek mau daftar cucu' kakek sekolah di sini, namun kakek tidak cukup uang untuk beli seragam mereka, mereka anak yang pintar, tekun dan ingin sekali untuk sekolah..tutur kakek menjelaskan maksud kedatangannya.. Ini kakek punya celengan dan bendera bekas kakek perang dulu, mungkin ini cukup buat daftar dan beli seragam buat cucu saya.. Tambah kakek untuk lebih meyakinkan panitia sekolah.. Melihat hal itu panitia menjadi bingung, di satu sisi mereka merasa kasihan dan ingin sekali membantu mengabulkan permintaan kakek tua tersebut namun di sisi lain mereka harus merujuk pada aturan berlaku di sekolah yang mengharuskan syarat-syarat tertentu yang antara lain adalah calon siswa harus memiliki sertifikat dari TK. Hal inilah yang menjadikan kakek ini tidak terkabulkan permintaannya, di samping syarat-syarat yang lain juga belum terpenuhi. dengan sulit panitia menyampaikan ''maaf kakek, cucu' kakek tidak memenuhi syarat untuk daftar di sini..!!!''. Pernyataan itu membuat kakek merasa sangat terpukul dan berusaha memohon kepada panitia untuk mau membantu dia dan cucunya.. Dengan penuh harapan kakek bertutur ''pak mohon bantu saya, cucu saya ingin menjadi bagian dari sekolah ini, ini adalah pertama dan mungkin yang terakhir saya memohon kepada bapak untuk membantu cucu saya, saya akan melakukan apa saja, yang penting cucu saya dapat sakolah, sebab itu menjadi cita-cita saya diwaktu tua ini''. Saya ingin melihat cucu saya tersenyum untuk bangsanya dalam bangku sekolah. Tambah kakek mengharap permohonannya dikabulkan.. Namun apa daya menjalankan tugas yang hanya menjalankan tugas dengan sebuah aturan, dengan penuh sopan petugas itu menjelaskan kembali ''maaf kek, kami tidak bisa melanggar aturan kami sendiri'', sembari memberikan masukan panitia yang lain mengatakan: kek coba di sekolah yang lain mungkin cucu kakek bisa diterima. Dengan penuh penyesalan dan rasa sedih yang mendalam kakek keluar dari kantor.
SAMBUNG LAGI YE.. YAKIN HANAFI BISA..

Jumat, 31 Juli 2009

KAJIAN


PENTINGNYA ILMU DAN AMAL
Oleh:Hanafi el-Sila

“Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat”, itulah hadist Nabi SAW yang mewajibkan kepada ummat manusia untuk selalu menuntut ilmu. Allah Ta’ala berfirman “Niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al Mujadilah : Ayat 11).
Rasulullah SAW bersabda, “Manusia yang paling utama adalah orang mukmin yang alim dan bermanfaat jika dibutuhkan, jika ia tidak dibutuhkan maka iapun mencukupi dirinya”.
Al Qur’an dan Al Hadist banyak sekali memerintahkan pada kita semua untuk menuntut ilmu juga menerangkan keutamaan-keutamaan orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mu’adz Bin Jabal berkata, “Belajarlah ilmu, karena mempelajari ilmu karena Allah adalah kebaikan dan menuntut ilmu adalah ibadah pengkajiannya adalah seperti tasbih, penyelidikannya seperti jihad, pengajarannya adalah sedekah, dan pemberiannya kepada ahliyah adalah pendekatan diri kepada Allah. Ilmu adalah penghibur dikala kesepian, teman diwaktu menyendiri, dan petunjuk dikala waktu senang dan susah, ia adalah pembantu dan teman yang baik dan penerang jalan ke surga”.
Lebih daripada itu islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari dengan jalan menyampaikan dan mengajarkannya kepada orang lain serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari karena pada hakikatnya amalan itulah yang akan mengangkat derajat kita dihadapan ALLAH dan makhluq-Nya.
Nabi SAW selalu mendorong umatnya agar selalu menyebarkan kebaikan dan ilmu kepada orang sesudahnya supaya kebodohan tidak terjangkit pada diri manusia, Beliau bersabda,” sampaikanlah dariku walau satu ayat”
(H.R. Bukhari)

KEWAJIBAN MENGAMALKAN ILMU

Dari penjabaran di atas jelas bahwa Islam sangat mennuntut umatnya untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya demi kemaslahatan ummat. Akn tetapi sangat buruk akibatnya bila mana ilmu itu tidak diamalkan atau penyalahgunaan ilmu tersebut atau pengamalannya bertentangan dengan anjuran syariat, kalau hal ini terjadi maka ilmu teoritis seperti ini termasukm ilmunm yang tidak di ridhoi oleh Allah.
Sesungguhnya ilmu yang haq adalah ilmu yang dapat menerangi jiwa pemiliknya, bersenyawa dengannya. Sehingga yang jauh menjadi dekat, yang gelap menjadi dekat, yang gelap menjadi terang, menjadi pengobat bagi jiwa-jiwa yang sakit.
Dari Jabir Rasulullah SAW bersabda “ilmu itu ada dua : Ilmu yang meresap dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu yang hanya dilisan, itulah murka Allah atas manusia”.
Pertanyaannya adalah mana kategori ilmu yang diridhoi Allah dan mana kategori ilmu yang dimurkai Allah ? di atas telah dijelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa yang menjadikan pemiliknya bermanfaat bagi orang lain ketika ia dibutuhkan dan ketika ia tidak dibutuhkan maka ilmu itu mencukupi dirinya, akan tetapi ilmu yang akan dimurkai Allah adalah bukan hanya ilmu yang bisa mencelakakan manusia lain seperti ilmu sihir, santet, dan lain-lain. Akan tetapi, juga ilmu yang pada dasarnya baik hanya saja ia tidak bermanfaat bagi orang lain dengan kata lain ia adalah ilmu yang hanya dibawa-bawa, tak ubahnya seperti orang-orang yahudi yang “membawa-bawa” Taurat untuk bicara tanpa membawanya dalam berbuat dan bertindak. Mereka itu adalah golongan orang-orang yang diancam oleh Allah SWT dalam Al Qur’an, “Perumpamaan orang-orang yang membawa-membawa Taurat, kemudian tidak mengamalkannya Tak ubahnya dengan HIMAR yang membawa sekumpulan kitab di punggungnya” (QS. AL Jumuah : ayat 5).
Begitulah perumpamaan Allah atas orang-orang yang tidak merealisasikan pengetahuannya yaitu bagaikan HIMAR yang membawa-bawa sekumpulan kitab di punggungnya yang tidak sedikitpun dia mengetahui apa isi kitab yang dibawanya. Lebih lanjut lagi Allah SWT melaknat orang-orang yang berilmu, tapi ia tidak mengamalkan ilmunya dalam Qs. Ashaff ayat 2-3. Allah SWT berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak kerjakan?. Itu sangat lah dibenci di sisi Allah, jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
Nabi SAW mengingatkan pada kita semua yang memiliki ilmu agar kita bangun dan sadar untuk mengamalkan ilmu mkita dijalan Allah karena sesungguhnya ilmu yang tidak diamalkan itu hanya akan memperberat siksa yang akan ditimpakan kepadanya. “seberat-berat siksa pada hari kiamat nanti, “kata Nabi SAW, “adalah ilmuwan dan cerdik pandai yang tidak menabur nilai manfaat dengan ilmunya”.
Ilmu disini adalah bukan sebatas hanya latihan berargumen dan olah otak semata, lebih dari itu ilmu yang dimaksud adalah pengetahuan dan pengamalan ilmu tersebut dalam setiap gerak hidup di setiap tempat dan waktu. Disitulah ilmu akan menuai makna dan itulah hakekat ilmu yang dikehendaki Allah ta’ala.
Sesungguhnya eksistensi kedirian kita itu ditentukan oleh amal perbuatan kita. Sejarah membuktikan orang yang namanya harum di dunia ini adalah orang yang membangun eksistensi kediriannya di atas amal baiknya, sebagai contoh terbesar adalah Rasulullah SAW tauladan kita, beliau penyebar kedamaian dan kearifan di muka bumi ini, beliau dikenal sebagai orang nomor satu di dunia ini karena akhlak dan keteladanan beliau, subhannallah… semoga salam dan shalawat selalu tercurahkan atas beliau, keluarga dan sahabatnya, juga semoga kita termasuk ummat beliau yang selalu istiqomah dalam melaksanakan sunnah-sunnahnya dan mendapatkan syafaat dari belaiu kelak di hari kiamat AMIN…
Bila DESCARTES mengatakan ”Aku berpikir, maka aku ada”, maka kita harus membuat semboyan baru “Aku beramal, maka aku ada”, sebab keberadaan kita tidak hanya ditentukan oleh pikiran kita tapi lebih dari itu keberadaan kita ditentukan oleh amal berbuatan kita. Siapa yang menabur dosa, akan menuai siksa, dan siapa yang menabur maksiat akan menuai laknat, tapi siapa yang menabur kebaikan akan menuai kebahagiaan, wallahu a’lam bi shawaf.
Dalam surat as-shaff di atas tadi dapat dilihat dengan jeli bahwasannya Al Qur’an sangat menuntut kita agar apapun yang kita ketahui mari kita sampaikan kepada saudara-saudara kita dan merealisasikannya dalam kehiduoan sehari-hari sebab Allah sangat membenci terhadap orang-orang yang menyampaikan suatu ilmu namun ia tidak melaksanakannya sendiri, dalam hadist Nabi, “Usamah Bin Zaid pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda “seseorang pada hari kiamat nanti ditemukan dan dicampakkan kedalam neraka, orang-orang itu berputar di neraka bagaikan seekor HIMAR yang berputar-putar pada tali pengikatnya. Disitu para penghuni neraka dikumpulkan, mereka berkata : wahai fulan, bagaimana keadaan kamu ? bukankah dahulu kamu menyuruh berbaut kebaikan dan melarang kemungkaran ? ia menjawab : dahulu aku menyuruh kalian berbuat kebaikan sementara aku tidak melaksanakannya”.
Dapat disimpulkan bahwa seorang yang dianugerahi ilmu kepadanya maka hendaklah ia mengamalkan ilmunya tersebut namun bila mana ia menyampaikan ilmu tersebut dan dia sendiri tidak mengamalkannya maka amatlah besar kebencian Allah atasnya, diakhirat dia akan dicampakan kedalam neraka sementara ilmunya di kategorikan sebagai ilmu yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Nauzubillahi min zalik.
Sebagai penutup uraian singkat ini semoga kita termasuk orang-orang yang dapat mengamalkan ilmu yang kita miliki dan berlindung kepada Allah dari sekelompok orang-orang yang mempunyai ilmu, ia menyampaikannya pada orang lain namun ia sendiri tidak mengamalkannya.
Wallahu A’lam Bi Shawaf.

ISLAM-NYA DANA MBOJO

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI DANA MBOJO
Oleh Hanafi El-Sila

Berbicara sejarah masuknya Islam di Dana Mbojo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bima ini banyaklah masalah yang akan timbul disebabkan kurangnya informasi-informasi atau referensi-referensi dari catatan-catatan lokal Mbojo tentang bagaimana sejarah dan proses masuknya Islam di Dana Mbojo.
Untuk membantu menjelaskan sejarah masuknya Islam di Bima terdapat dua sumber catatan lokal Mbojo yang dapat kita pedomani yaitu catatan BO Istana dan BO Melayu.
Dari sumber yang pertama (BO Istana) hanya mencantumkan keterangan bahwa masuknya Islam di Dana Mbojo, itu ditandai dengan kehadiran para Muballig dari Tallo, Luwu dan Bone di Sape (nama daerah di ujung timur Bima) pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H. (26 April 1618 M.), para Muballigh itu adalah Daeng Mangali dari Bugis bersama tiga orang masing-masing berasal dari Tallo, Luwu dan Bone. Dimana kehadiran mereka atas perintah Sultan Gowa untuk manyampaikan berita bahwa Raja Gowa, Tallo, Luwu dan Bone sudah memeluk agama Islam. Kemudian diberitakan pula bahwa pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H. (7 Februari 1621), Putra Jena Teke La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat Syahadat dihadapan para Muballigh itu.

Dari peristiwa itu, keempat orang petinggi kerajaan tersebut mengganti nama sesuai nama Islam:
- La Ka’i (Ruma Ma Bata Wadu) menjadi Abdul Kahir
- La Mbila menjadi Jalaluddin
- Bumi Jara Mbojo Sape menjadi Awaluddin
- Manuru Bata menjadi Sirajuddin, yang kemudian menjadi Sultan Dompu. Menurut silsilah ia adalah putera Ma Wa’a Tonggo (Raja Dompu) dengan Isterinya, Puteri Raja Bima Ma Wa’a Ndapa.
Dari sumber BO Melayu juga tidak memberikan informasi yang memadai, hanya menjelaskan tentang peranan Datuk Ri Bandang dan Datuk Di Tiro dalam penyiaran Islam di Dana Mbojo pada masa Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I). kemudian keterangan tentang peranan Ulama Melayu anak cucu Datuk Ri Bandang dan Datuk Di Tiro dalam meneruskan perjuangan Datuk Ri Bandang dan Datuk Di Tiro yang sudah kembali ke Makassar.
Untuk mengatasi kebuntuan yang ada, maka perlu penulis jelaskan catatan-cacatan lokal dari daerah yang pernah menjadi pusat penyiaran Islam pada abad 16 M, yaitu cacatan dari Demak dan Ternate.
Berdasarkan keterangan dari cacatan lokal yang dimiliki, ternyata pada tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para Muballigh dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti datang menyiarkan Islam di Dana Mbojo juga para pedagang Bima pun memliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis penulis akan memaparkan proses kedatangan Islam di Dana Mbojo, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap pertama dari Demak
Sejak jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, Demak mengambil alih peranan Malaka sebagai pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara, dan sejak itu pula Demak berhasil mengislamkan daerah-daerah di Jawa Barat dan di daerah-daerah Nusantara bagian timur seperti Ternate dan Tidore. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M. pada masa itu pelabuhan Bima telah ramai dikunjungi oleh para pedagang Nusantara, begitupun para pedagang Bima menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah disetiap pelabuhan di wilayah Nusantara. Kemungkinan para pedagang Demak datang ke Dana Mbojo selain berdagang juga untuk menyiarkan Islam.
b. Tahap kedua dari Ternate
Ternate merupakan satu-satunya Negara Islam di Nusantara bagian timur, yang pada abad 16 M. muncul sebagai pusat penyiaran Islam. Menurut catatan Raja-Raja Ternate, pada masa pemerintahan Sultan Kahirun, Sultan Ternate ketiga (1536-1570) telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate, dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokalul Molukiyah yang diperluas istilahnya khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerjasama antara tiga Negara Islam itu dalam menyebarluaskan Islam di Nusantara, selain untuk kepentingan perniagaan.
Pada Masa Sultan Babullah (1570-1583), Sultan Ternate keempat, usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa beliaulah, para muballigh dan pedagang Ternate meningkatkan dakwah di Dana Mbojo. Pada masa pemerintahan Sultan Babullah ini, Ternate meraih kejayaan dengan memperluas wilayah kekuasaan, sehingga kira-kira pada tahun 1850 M. menguasai kepulauan yang tidak kurang dari 72 banyaknya. Diantara 72 pulau (negeri) yang dikuasai Babullah disebutkan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dan Sangaji Mena Di Bali. Kemungkinan yang dimaksud dengan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dalam kutipan ini adalah nama lain dari Sanggar dan kalau kemungkinan itu benar, maka pada masa itu Kore (Sanggar) dan Dana Mbojo sudah didatangi oleh para muballigh Ternate untuk menyiarkan Agama Islam.
Dari dua referensi dan catatan Raja-raja dan informasi BO di atas, penulis memberikan sebuah kesimpulan bahwa Islam masuk dan menyebarkan sayap ke tanah Bima sekitar abad XVI lewat para muballigh dari Demak dan Ternate, namun permasalahannya adalah Islam yang datang dari dua daerah ini tidak menyentuh keluarga kerajaan akan tetapi sebatas dakwah kepada rakyat. Sehingga sampai masuknya abad XVII Islam tidak begitu berpangaruh di tanah Bima dan resminya Islam masuk di tanah Bima sekitar tahun1621 yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H. (7 Februari 1621), yang ditandai dengan syahadatnya Putra Jena Teke La Ka’I bersama pengikutnya dihadapan para Muballigh itu yang di utus oleh Sultan Alauddin Gowa, namun pada saat itu Bima dalam keadaan goncang (politiknya) karena La Ka’I sedang dikejar oleh pamannya sendiri yaitu Salisi yang berambisi untuk menjadi Raja, dia (La Ka’i) hendak dibunuh karena dianggap penghalang baginya untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa, hal itu terjadi setelah dia (Salisi) berhasil membunuh kakaknya La Ka’I yang merupakan Putera Mahkota juga dari Raja Samara.
Demi membantu penyiaran Islam di Bima, maka Jena Teke Abdul kahir meminta bantuan kepada Sultan Alauddin untuk membantu melawan Salisi dan tidak lama kemudian Sultan Alauddin mengirim ekspedisi untuk menyerang Salisi dan pengikutnya setelah misi perdamaian yang dikirim oleh Sultan Alauddin (Sultan I) di bawah pimpinan Lo’mo Mandalle tidak berhasil, ekspedisi bersenjata dikirim dari Makassar sebanyak tiga kali. Dua ekspedisi tersebut gagal dan karena merasa keamanan Abdul Kahir terancam, maka Sultan Abdul Kahir beserta pengikutnya hijrah ke Makassar. Di Makassar beliau mendalami Islam dari tiga orang ulama Minangkabau yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Di Tiro dan Datuk Ri Patimang. Kemudian tokoh muda Islam ini dinikahkan dengan puteri bangsawan Makassar, adik dari permaisuri Sultan Gowa yang bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kussuarang. Dari pernikahan itu lahir seorang putera yang diberi nama oleh orang Makassar “I Ambella” dengan nama Islam Abil Khair Sirajuddin. Dialah yang kelak akan melanjutkan perjuangan ayahnya Abdul Kahir. Setelah lama meninggalkan tanah Bima dan pada akhirnya tokoh-tokoh masyarakat Bima datang untuk kembali meminta bantuan kepada sultan Makssar, maka sekitar tahun 1640 (Muharram 1050 H) dikirimlah ekpedisi yang ketiga di bawah pimpinan Arrasulli (Karisulli) dan Jalaluddin (La Mbila). Ekspedisi ini berhasil mengalahkan kejahatan Salisi, Salisi bersama pengikutnya berhasil melarikan diri sampai ke Dompu. Ia terus dikejar oleh pengikut Abdul Kahir hingga Salisi terpaksa melarikan diri ke Desa Mata (wilayah Sumbawa) dan tinggal di Mata sampai dia meninggal.
Setelah berita kemanangan Jamaluddin (La Mbila) terdengar di Makassar, maka Sultan Makassar II Muhammad Said (anak Sultan Alauddin pengganti ayahnya yang telah meninggal) mengirimkan Abdul Kahir dan Bumi Jara (Awaluddin) kembali ke tanah tumpah darah (Bima) tercinta dan setelah tiga bulan kemenangan ekspedisi ketiga, yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1050 (5 Juli 1640 M) Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I oleh Majelis Hadat Dana Mbojo dan mulai saat itu berdirilah Negara Islam yang bernama Kesultanan berdasarkan ajaran Islam dan adat (sistim budaya) yang Islami. Jadi walaupun Islam di tanah Bima telah tersiar sejak abad XVI, namun baru diproklamirkan secara resmi pada abad XVII yaitu 5 Juli 1640 M. yang sampai sekarang dijadikan sebagai hari jadi Bima.

FALSAFAH HIDUP

MAJA LABO DAHU SEBAGAI GURU MASYARAKAT MBOJO
(oleh Sayhruddin)

A. Pengertian Falsafah Maja Labo Dahu
Ungkapan “Maja Labo Dahu” terdiri dari tiga suku kata yang masing-masing memiliki makna tersendiri yaitu, kata Maja, kata Labo, dan kata Dahu. Arti harfiah dari “Maja” ialah “Malu”, “Labo” berarti “dengan/dan” sedangkan “Dahu” berarti “takut” dengan demikian makna harfiah dari ungkapan “Maja Labo Dahu” ialah “malu dan takut”. Dalam pandangan dan pemahamaan masyarakat Mbojo / Bima, Falsafah Maja Labo Dahu memiliki makna filosofi yang begitu dalam dan luas. Dari oral histori para ahli sejarah, budayawan hingga tokoh agama masyarakat Bima yang berhasil penulis wawancarai, mereka mangatakan bahwa kata Maja memiliki makna "Malu" kepada Allah SWT. sebagai Tuhan dan masyarakat sebagai makhluk sosial dalam berbuat yang tidak sesuai dengan anjuran agama Islam dan adat masyarakat yang berlaku, sedang Dahu memiliki makna "Takut" kapada Allah SWT. dalam melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan jalan dan ajaran Islam dalam segala bentuk dan perilaku hidup. Mungkin dari makna harfiah (Denotative) inilah timbulnya kecenderungan sekelompok orang menolak “Maja Labo Dahu” untuk dijadikan motto Daerah Bima. Dengan alasan bahwa “Maja Labo Dahu” mengandung makna negative bagi perkembangan jiwa dan kepribadian masyarakat. Masyarakat akan dihinggapi oleh penyakit “rendah diri, malas, pasrah dan pengecut”.
Maja (Malu)
Malu, ialah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau kurang sopan.
Malu merupkan ciri khas perangai manusia yang menyingkap nilai iman seseorang dan berpengaruh bagi tinggi rendahnya akhlak seseorang.
Orang yang memiliki rasa malu, apabila melakukan sesuatu yang tidak patut baginya, maka di wajahnya nampak berubah menjadi pucat pasi sebagai perwujudan penyesalannya terlanjur berbuat yang tidak wajar. Itu menunjukkan hati kecilnya hidup, batinnya suci dan bersih.
Tetapi sebaliknya bagi seseorang yang sudah tidak memiliki rasa malunya, dia enak saja apabila melakukan perbuatan yang tidak patut, sekalipun banyak orang yang mengetahuinya. Orang yang demikian menunjukkan kasar perasaannya, selalu bersikap acuh tak acuh, tidak perduli dengan apa saja yang dia lakukan. Jelas orang yang semacam ini tidak baik, tidak mempunyai rasa malu untuk menjaga kehormatan dirinya dari perbuatan dosa, dan menurunkan derajatnya.
Islam telah mengingatkan kepada umatnya, agar memperhatikan rasa malu, karena rasa malu ini, dapat meningkatkan akhlaknya menjadi tinggi. Dan keistimewaan islam, ialah menjadikan rasa malu merupakan bagian dari pada iman, serta menjadikan akhlak mulia sebagai keistimewaan yang menonjol dalam islam. Rasulullah bersabda:
ان لكل دين خلق وخلق الاسلام الحياء (رواه مالك)
Artinya: “Sesungguhnya semua agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islam itu perangai malu”. (HR. Imam Malik)


Orang yang mempunyai rasa malu, senantiasa dapat menahan diri dari perbuatan yang mengganggu manusia dan tidak mau menuturkan kata-kata yang keji dan buruk terkutuk.
Malu itu termasuk ke dalam golongan kesempurnaan akhlak dan kegemaran kepada sebutan baik. Orang yang tidak mempunyai sifat malu, rendah akhlaknya dan tak sanggup memegang nafsu.
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa seseorang yang telah lengkap padanya seluruh arti malu, sempurnalah padanya segala sebab kebajikan. Dan hilanglah dari padanya segala sebab kejahatan dan terkenallah di antara masyarakat dengan keutamaan dan disebut-sebut orang dengan keindahan dan keelokan.
Nabi Muhammad Saw adalah seorang yang tinggi perangainya, paling mulia akhlaknya, paling tinggi ketaatannya kepada segala perintah Allah dan segala tugas kewajiban kemasyarakatannya, dan selalu menahan diri dari segala laranganNya.
Dari abi Sa’id al-Khudzri berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اشد حياءمن العذراءفى خذرهافاذاراىشيئايكرهه عرفناه فى وجهه. (متفق عليه)
Artinya: “Adalah Rasulullah saw lebih pemalu dari gadis dalam pingitan. Dan bila terjadi sesuatu yang tidak disukainya, kami dapat mengenal dari wajhnya.” (Bukhari dan Muslim)


Termasuk rasa malu, apabila seorang muslim merasa malu untuk mendekati kejahatan, demi memelihara nama baik, bersih dari noda-noda dan isu-isu yang buruk.
Yang paling baik bagi seorang muslim, ialah apabila melakukan keburukan dan kehinaan merasa malu bila dilihat oleh orang lain, maka hendaknya demikian pula merasa malu dilihat diri sendiri.
Sifat rasa malu pada seseorang, bukan berarti pengecut. Memang adakalanya di dalam rasa malu terkandung rasa takut dalam arti memelihara kehormatan dan kemuliaan pribadi dan akhlak yang terpuji. Malu dan takut nama baiknya terhanyut oleh arus kehinaan. Perasaan malu dan takut dalam bentuk ini sejalan dengan keberanian yang terpuji.
Al-Quran menerangkan situasi ketika orang-orang Yahudi mundur memerangi musuh yang datang ke tanah suci:
                      

“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (S. Al-Maidah: 23)

Demikianlah orang-orang yang bertakwa kepada Allah, takut tercela di sisi Allah, malu mundur dari medan perjuangan dan itulah yang boleh disebut pemimpin.
Rasa malu yang sempurna didahului oleh siap mental, karena dalam diri manusia ada watak-watak yang hampir selamanya bersih, yang nampak pada saat-saat yang kritis. Di saat orang tengah melakukan kejahatan, hilanglah rasa malu untuk sementara, tetapi di dalam keadaan situasi yang menjepit, maka waktu kemanusiaannya itu kelihatan, karena memang pada manusia ada watak-watak yang hampir selamanya bersih.
Dahu (Takut)
Takut, ialah apa yang dimaksud cemeti, yaitu mendorong untuk berbuat. Kalau tidak tercipta adanya dorongan seperti itu, maka takut itu sendiri tidak sempurna. Karena takut pada hakekatnya ialah kekurangan yang bersumber dari kebodohan dan kelemahan.
Adapun kebodohan yang berarti adalah tidak tahu akibat pekerjaannya. Kalau tidak tahu, tentu ada rasa takut, karena yang menakutkannya ialah yang terjadi keragu-raguan. Adapun kelemahan ialah mendatangkan kepada yang ditakuti, yang tidak sanggup ia menolaknya. Jadi takut itu terpuji kalau dikaitkan dengan kekurangan manusia. Dan yang terpuji pada dirinya dan sosoknya ialah: ilmu, kemampuan dan setiap apa yang memperbolehkan Allah Ta’ala disifatkan dengannya. Sedangkan yang tidak boleh disifatkan Allah Ta’ala dengannya, maka sosoknya itu tidaklah sempurna.
Takut kalau tidak membekas pada amal perbuatan, maka adanya seperti tidak adanya. Seperti cemeti yang tidak menambah geraknya binatang kendaraan. Kalau dapat membekas, maka baginya memperoleh berbagai derajat.
Takut itu adalah api yang membakar keinginan-keinginan syahwat, sedang keutamaannya ialah menurut kadar yang membakar keinginan syahwat itu dan menurut kadar mengekang perbuatan-perbuatan maksiat dan yang dapat menggerakkan kepada perbauatan-perbuatan ta’at kepada Allah.
           

Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Pada ayat lain surat Al-Bayyinah ayat 8, Allah menggambarkan mereka oran-orang yang memiliki sifat takut:

          

“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah: 8)


Kata “Maja” dan “Dahu” memiliki arti lebih dari satu (homonim), selain makna negatif juga berkonotasi positif bagi jiwa, kepribadian serta sikap masyarakat. Kita harus sadar bahwa “Maja Labo Dahu” sebagai “Fu’u Mori Ro Woko” (tiang atau pedoman hidup) masyarakat Mbojo/Bima merupakan ‘ungkapan” yang memiliki makna yang luas dan mulia bagi manusia dari segi “sare’at, hakekat dan ma’rifat” (Syari’at, Hakekat dan Ma’rifat).
Guna memahami kata “Maja” dan “Dahu” secara jelas mari kita simak arti dua kata tersebut, dalam kalimat dan ungkapan di bawah ini:
a. Arti Negatif
1. “Ma Maja Ro Dahu Si Sodi Guru, Wati Di Ma Loa Sa Ntoi Mori”. Kalau malu dan takut bertanya pada guru, tidak akan bisa pandai sepanjang hayat.
2. “Maja Ro Dahu Si Rewo Labo Dou Ma Mboto, Wati Ntaumu Iwa”. Kalau malu dan takut bergaul dengan orang banyak (masyarakat), tidak akan mempunyai teman (sahabat).
Kata “Maja” dan “Dahu” pada dua kalimat di atas mengandung pengertian yang negatif. Kata “maja” bermakna segan, rendah diri serta tidak memiliki harga diri, sehingga menimbulkan sikap “Dahu” dalam arti bimbang, ragu, tidak berani bertindak. Dua sikap tersebut akan melahirkan sosok pribadi yang lemah.
b. Arti Positif
1. “Maja Kai Pu Ma Taho, Dahu Kai Pu Ma Iha”. Terjemahannya: malulah pada yang baik dan takutlah pada yang jelek (buruk). Ungkapan ini mengandung makna manusia memiliki rasa “Maja” (malu) apabila menjauhi kebaikan atau kebenaran. Mereka harus berjuang untuk mewujudkan kebaikan dan kebenaran. Selain itu manusia diharuskan untuk “Dahu” (takut) pada kejahatan, dengan kata lain manusia berkewajiban untuk menjauhi semua kejahatan.
2. Indokapo Di Fu’u Ro Tandi’i Na Ba Mori Ro Woko De Anae, Ede Ru “Maja Labo Dahu”. Arti harfiah dari ungkapan ini ialah “adapun yang menjadi tiang utama (soko guru) dari hidup dan kehidupan itu anakku ialah “malu dan takut”. Ungkapan ini memiliki makna yang luas dan mulia. Para orang tua menasehati anaknya agar memegang teguh sifat “maja labo dahu” dalam mengemban tugas sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah.
Maja Labo Dahu dalam arti di atas (negatif), adalah merupaka anggapan sebagian masyarakat awam Mbojo/Bima yang menurut penulis adalah anggapan yang salah kaprah dan hanya melihat arti kata belaka. Dan ini merupakan sebuah pemahaman yang perlu dipahami lebih jauh dan dalam terhadap makna falsafah tersebut, karena tanpa kita menafikan bahwa falsafah tersebut lahir dan berkembang di masyarakt bima yang merupakan bentuk kongkrit dari adapt dan budaya bima yang mengimplementasikan nilai-nilai al-Quran dan Hadis.
Kalau kita kembali pada arti yang sebenarnya, maka Falsafah Maja Labo Dahu yang merupakan landasan hidup bagi masyarakat Bima, memiliki arti serta makna yang positi bagi masyarakat.

B. Konsep pendidikan yang terkandung dalam Falsafah Maja Labo Dahu
Berbicara mengenai konsep pendidikan yang terkandung dalam falsafah Maja Labo Dahu, maka terlebih dahulu kita harus memahami pengertian dan konsep pendidikan secara umum yang ditawarkan oleh para ahli dan tokoh pendidikan. Secara terperinci di bawah ini penulis akan menjelaskan pengertian dan konsep pendidikan menurut para ahli:
a. Arti pendidikan secara etimologi
Paedagogie berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata “PAIS”, artinya anak, dan “AGAIN” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak.
b. Secara definitif pendidikan (paedagogie) diartikan oleh para tokoh pendidkan, sebagai berikut:
John Dewey menjelaskan Pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intlektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
SA. Bratanata dkk. Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.
Pendidikan menurut Al-Ghazali ialah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan yang baik. Jadi pendidikan itu suatu proses kegiatan yang sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progresif pada tingkah laku manusia, misalnya sejauh mana perubahan yang mungkin dapat dicapai pada diri manusia dengan usaha-usaha itu. Mungkinkah akhlak yang buruk itu dapat dilenyapkan dan akhlak yang baik ditanamkan sepenuhnya?


Menurut Crow dan Crow pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang sesuai dengan kegiatan seseorang untuk kehidupan sosialnya dan membantunya meneruskan kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan, serta kelembagaan sosial dari generasi ke genarasi.
Driyarkara menjelaskan pendidikan sebagai memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani itulah yang menjelma dalam perbuatan mendidik.
Pengertian pendidikan menurut GBHN, yaitu pendidikan nasional yang berakal pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bab I (Ketentuan Umum) Pasal I, menjelaskan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Dictionary of Education pendidikan berarti kumpulan dari semua proses yang memungkinkan seseorang mengembangkan kemampuan-kemampuan, sikap-sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif di dalam masyarakat tempat dia hidup.
Dari berbagai definisi tersebut, penulis menarik satu kesimpulan tentang pendidikan yaitu sebuah proses secara sadar atau sengaja yang berkaitan dengan hal apa saja yang dapat menjadikan seseorang menjadi lebih maju, lebih matang, mandiri sehingga mencapai tujuan sebagai insan yang sempurna dan bertanggung jawab dalam segala hal.
Konsep pendidikan yang ditwarkan oleh para ahli di atas, sangat berkaitan sekali denagan falsafah Maja Labo Dahu yang memiliki makna yang begitu dalam terhadap pendidikan agama (akhlak) pada masyarakat bima secara umum. Khusunya pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua yakni pendidikan sejak dini.
Dalam perkembangan sejarah masyarakat Bima, falsafah Maja Labo Dahu sangat memberikan pengaruh yang begitu besar dalam tatanan kehidupan bermasyarakt dan beragama. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa hal:
1. Pendidikan formal
Sebelum lebih detail membahas konsep pendidikan formal yang terkandung dalam falsafah Maja Labo Dahu, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Dikatakan formal karena diadakan di sekolah/tempat tertentu, teratur sistematis, mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari TK (Taman Kanak-kanak) sampai PT (perguruan tinggi), berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.
Jadi, dapat dimengerti bahwa sekolah adalah lembaga dengan organisasi yang tersusun rapih dan segala aktifitasnya direncanakan dengan sengaja yang disebut kurikulum.
Pendidikan formal sangat dibutuhkan di dalam masyarakat demi membangun sumber daya manusia yang berilmu dan bermoral.
Beberapa manfaat dari pendidikan formal adalah:
a. Membantu lingkungan keluarga untuk mendidik dan mengajar, memperbaiki dan memperdalam/memperluas, tingkah laku anak/peserta didik yang dibawa dari keluarga serta membantu pengembangan bakat.
b. Mengembangkan kepribadian peserta didik lewat kurikulum agar:
1) Peserta didik dapat bergaul dengan guru, dengan teman-temannya dan masyarakat.
2) Peserta didik belajar taat kepada peraturan/tahu disiplin
3) Mempersiapkan peserta didik terjun di masyarakat berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dari penjelasan di atas maka dapat dijelaskan bahwa konsep pendidikan yang terkandung dalam falsafah Maja Labo Dahu (pendidikan formal), terlihat pada proses belajar mengajar dan kurikulum sekolah.
Dalam pendidikan formal, konsep pendidikan yang terkandung dalam Falsafah maja labo dahu tercermin pada sikap seorang pendidik sebagai panutan (tauladan), juga menjadi garis-garis haluan baik dalam penyusunan kurikulum maupun dalam proses menjalankan pendidikan itu sendiri. Artinya maja labo dahu merupakan cermin ataupun haluan dalam menjalankan pendidikan di sekolah.
2. Pendidikan non Formal
Falsafah Maja Labo Dahu sangat berpengaruh sekali pada pendidikan non formal pada masyarakat Bima, karena antara falsafah hidup dengan masyarakatvmerupakan dua hal yang tidak bias dipisahkan. Dan sebagaiman kita ketahui bersama, falsafah merupakan tolak ukur atau pegangan hidup pada suatu masyarakat atau komunitas. Masyarakat Bima merupakan komunitas yang nota bene masyarakat islami. Adalah sebuah kaharusan bagi masyarakata Bima dalam menjalankan roda kehidupan, berpegang teguh pada falsafah hidup yaitu Maja Labo Dahu yang merupakan cerminan atau inplementasi dari nilai-nilai al-Quran dan hadis. Falsafah Maja Labo Dahu menjadi dasar pendidikan bagi masyarakat Bima sekaligus menjadi tujuan dari pendidikan itu sendiri, sehingga dalam pendidikan non-formal ini falsafah maja labo dahu menjadi suatu yang sangat berpengaruh dan berperan aktif. Hal ini secara eksplisit dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
a. Keluarga
Sesui dengan ajaran Islam, kita meyakini bahwa keluarga merupakan unit dalam struktur masyarakat, sekaligus menjadi unsure penting dalam pembangunan masyarakat. Tidak tergambar adanya masyarakat muslim yang terdiri atas orang-orang yang terlantar tanpa berafiliasi pada sebuah keluarga tertentu. Dalam pandangan islam, peran pendidikan dan pengasuhan anak-anak oleh ayah dan ibu mereka dalam keluarga tidak bias digantikan dengan sebuah kondisi yang ditelantarkan di luar rumah. Pada masa adolesens, anak-anak membutuhkan suasana hangat, kasih saying, dan pengasuhannfitrahnya sehingga dapat terhindar dari perilaku menyimpang dan kenakalan remaja serta tindak kejahatan dan prilaku keji.
Pengasuhan anak-anak dalam lingkungan keluarga secara islami dapat mengantarkan pertumbuhan generasi muda dalam lingkungan kehidupan keluarga yang baik, yaitu berdasarkan kecintaan dan mengutamakan kebaikan. Di tambah lagi dengan rasa saling mencintai antaranggota keluarga, berbakti kepada orang tua, dan menyayangi anak-anak.
Bagi Al-Gazali, anak kecil itu dilahirkan dalam keadaan berjiwa lurus dan bersifat sehat, dan bahwa dua orang tuanyalah yang menentukan agama untuknya dan dua orang tuanya pula yang membuatnya tabi'at jelek. Dan bahwa hal-hal yang tidak baik itu, dipelajari anak dari lingkungan hidupnya, dari cara ia diperlakukan serta adapt istiadat yang berlaku di sekitarnya. Sifat dasar anak kecil yang asli dan baik berasal dari penciptanya. Ia berawal dari tidak sempurna tetapi masih mungkin disempurnakan, diperindah dengan pendidikan walaupun merupakan salah satu pekerjaan berat.
Dalam kaitannya dengan falsafah maja labo dahu pada masyarakat bima, maka kita akan mengetahui pendidikan yang sesungguhnya adalah dimulai dari lingkungan keluarga dan terimplementasi dalam sikap sosial kemasyarakatannya.
Sejak lama masyarakat Mbojo/Bima telah menyadari pentingnya pendidikan sumber daya manusia sebagai kelangsungan hidup masyarakat. Salah satu peningkatan sumber daya manusia yang paling kongkrit adalah dengan melalui ilmu pengetahuan.
Sejak dini orang tua memberikan pendidikan agama dan umum kepada anak mereka. Karena orang yang berilmu akan Maja untuk berbuat yang tidak benar dan takut untuk berbuat yang salah.
Usaha awal yang mereka lakukan ialah meningkatkan keimanan dan ketakwaan anak-anak dalam usia dini, melalui pelajaran agama. Mulai umur empat tahun anak disuruhbbelajar ngaji, sehingga pada usia tujuh tahun sudah mampu membaca al-Quran. Kemampuan dalam membaca al-Quran akan diuji dalam upacara "tama" atau "khata qaro'a". dalam waktu yang bersamaan si anak harus disuruh melakukan shalat dan puasa.
b. Masyartakat
Sebelum penulis menjelaskan pendidikan masyarakat yang terkandung dalam falsafah Maja labo Dahu ada baiknya kita memahami mengenai apa itu masyarakat? Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu --kecil atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama.
Manusia adalah "makhluk sosial". Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut. Khalaqal insan min 'alaq bukan saja diartikan sebagai "menciptakan manusia dari segumpal darah" atau "sesuatu yang berdempet di dinding rahim", tetapi juga dapat dipahami sebagai "diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri." Ayat lain dalam konteks ini adalah surat Al-Hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah makhluk social dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan bagi mereka.
Jadi, pada dasarnya masyarakat tidak ada yang berdisi sendiri tanpa memerlukan bantuan ataupun pertolongan orang lain, dan merupakan sifat dasar manusia yaitu kecil, lemah, dan penuh keluh kesah tanpa daya upaya melainkan memerlukan pertolongan Tuhan dan bantuan sesama manusia.
Tingkat kecerdasan, kemampuan, dan status sosial manusia menurut Al-Quran berbeda-beda:
        •                    

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Al-Zukhruf: 32)


Dari penjelasan ayat di atas, perbedaan-perbedaan tersebut bertujuan agar mereka saling memanfaatkan (sebagian mereka dapat memperoleh manfaat dari sebagian yang lain) sehingga dengan demikian semua saling membutuhkan dan cenderung berhubungan dengan yang lain. Ayat ini, di samping menekankan kehidupan bersama, juga sekali lagi menekankan bahwa bermasyarakat adalah sesuatu yang lahir dari naluri alamiah masing-masing manusia.
Seperti halnya dalam dunia pendidikan pada umumnya, bahwa komponen pendidikan pada dasarnya tidak terlepas dari tiga pusat pendidikan/tri mitra pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat.
Masyarakat sebagai lembaga pendidikan ketiga sesudah keluarga dan sekolah, mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda dengan ruang lingkup dengan batasan yang tidak jelas dan keanekaragaman bentuk kehidupan sosial serta berjenis-jenis budayanya.
Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan aturan-aturan yang ditularkan oleh generasi tua kepada generasi mudanya. Penularan-penularan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan ini sudah merupakan proses pendidikan masyarakt.
Menurut masyarakat Bima, pendidikan akhlak merupakan factor penentu bagi perkembangan semua unsure kebudayaan kongkrit yang berwujud kelakuan (tingkah laku). Sebab itu pembinaan akhlak melalui pendidikan agama harus dilakukan sedini mungkin oleh orang tua sebagai pendidik utama dan pertama, dibantu oleh anggota keluarga yang lain terutama kakek dan nenek.
Hal ini dapat terlihat dengan masih besar pengaruh para ulama dan masyarakat umum mengontrol secara langsung tentang pengamalan nilai-nilai maja labo dahu sebagai Fu’u Mori ro Woko masyarakat Mbojo/bima sehingga menjadikan masyarakat bima menjadi masyarakat yang berkahlak mulia (beriman dan bertakwa).
Masyarakat muslim menurut Ending Saifuddin Anshari, adalah masyarakat yang teosentris dan etika-religius. Artinya, masyarakat yang serba Tuhan yang segala aktivitas hidupnya diwarnai moral dan etika islam. Sebagai masyarakat teosentris, mereka senantiasa menempatkan Tuhan sebagai arah dan tujuan akhir hidup yang ingin diraih.
Setiap masyarakat di manapun berada, tentu mempunyai karakteristik tersendiri sebagai norma khas di bidang sosial budaya yang berbeda dengan karakteristik masyarakat lain, namun juga mempunyai norma-norma yang universal dengan masyarakat pada umumnya.

C. Pengaruh Falsafah Maja Labo Dahu Terhadap Kehidupan Masyarakat Bima
Maja labo dahu sebuah gagasan yang islami. Pada tanggal 5 Juli 1640, telah terjadi peristiwa penting yang merupakan momentum bagi perkembangan politik, agama dan social budaya di kalangan masyarakat Mbojo (bima) pada masa selanjutnya. Mulai saat itu sistim pemerintahan kerajaan berakhir, diganti dengan sistim pemerintahan yang berdasarka islam dan sistim budaya (adat) yang berpedoman pada norma agama islam (‘urf shahih). Mulai saat itu islam (agama samawi) resmi menjadi agama Negara, menggantikan posisi agama budaya (makamba makimbi) yang sudah membaur dengan agama hindu dan budha. Seiring dengan perubahan agama masyarakat, maka berubah pula sistim budayanya (adatnya). Sistim budaya lama yang tidak islami (‘urf fasid) diganti dengan adat yang islami (‘urf shahih). Perubahan adat sebagai wujud kebudayaan yang abstrak, akan sangat mempengaruhi wujud kebudayaan kongkrit, yaitu sistim sosial dan kebudayaan fisik (material). Mulai saat itu perkembangan sistim sosial dan kebudayaan fisik harus berpedoman pada norma agama islam, dengan perkataan lain kebudayaan Mbojo adalah kebudayaan islam, terutama dari segi substansinya.
Agar adat Mbojo benar-benar menjadi “adat yang baik” (‘urf shahih) maka penguasa dalam hal ini ulama, terutama ulama yang menjadi anggota lembaga pemerintah bernama “sara hukum”/lembaga hokum yang merumuskan sebuah gagasan baru yang islami yang diambil dari intisari iman dan takwa, guna memperkaya gagasan yang terkandung dalam adat Mbojo. Gagasan baru ini diberi nama “Maja Labo Dahu” (malu dan takut). Maja Labo Dahu berisi perintah kepada seluruh lapisan masyarakat yang telah mengikrarkan kalimat tauhid, untuk mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan Ubudiayah maupun Muamalah. Sebagai seorang yang beriman dan bertakwa, mereka harus merasa malu dan takut kepada Allah, pada manusia (masyarakat) dan pada dirinya.

D. Nilai-nilai yang terkandung dalam Falsafah Maja Labo Dahu
Falsafah Maja Labo Dahu memiliki makna yang sangat baik untuk diterapkan kedalam kehidupan masyarakat Mbojo, diantara nilai-nilai tersebut adalah nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Secara terperinci akan dijelaskan di bawah ini.
1. Nilai Keimanan dan Ketakwaan
•      

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Dari kacamata agama, Maja Labo Dahu merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beriman dan bertakwa. Sebab orang yang beriman harus memiliki sifat Maja dan orang yang bertakwa harus memiliki sifat Dahu kepada Allah dan Rasulnya. Ukuran “Taho” (kebaikan) dan “Iha” (kejahatan) pada ungkapan tersebut di atas adalah berpedoman pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam iman daerah takwa. Orang yang benar-benar beriman atau percaya pada “Ruku Ba Imbi Ini Ori” (rukun iman/percaya pada enam perkara) dalam pengertian orang yang beriman kepada Allah, malaikat, kitabullah, Rasulullah, hari pembalasan, dan qadha dan qadar (takdir), harus memegang teguh sifat “Maja” (malu).
Manusia yang beriman harus memiliki takwa yang berkualitas. Mereka harus memegang teguh sifat “Dahu” (takut) terhadap kejahatan, karena takut kepada Allah. Sebagai orang yang beriman dan bertakwa, mereka selalu melaksanakan “Ruku Isla Lima Ori” (rukun islam lima perkara), secara utuh dan kontinyu, sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti yang tertera dalam kitab suci al-Quran dan Sunnah Rasul.
Orang-orang yang beriman selalu merasa dirinya diawasi dan dekat dengan Rabnya sehingga tidak ada celah dan kesempatan baginya untuk berbuat kerusakan dan kejahatan baik kepada manusia maupun kepada makhluk Allah lainnya.
Akidah merupakan asas pertama dan utama. Dari akidah ini akhlak mulia akan terpancar dan berdasarkan akidah ini pula syari’at ditegakkan. Ia merupakan penjaga (pemelihara) sanubari untuk senantiasa taat dan konsisten (istiqamah) serta penanggung jawab yang kuat terhadap masyarakat untuk menjauhkannya dari kerusakan dan penyaimpangan.
Pada dasarnya fungsi dan peranan Maja Labo Dahu, pada masyarakat Bima adalah untuk menumbuhkan serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat, agar dapat melakukan tugasnya sebagai Khalifah Allah di muka bumi, selalu mendekatkan diri kepada kepada-Nya melalui kegiatan Ubudiah serta Muamalah. Dengan perkataan lain manusia harus mengadakan hubungan Vertikal dan Horizontal, sehingga cita-cita menuju kebahagiaan dunia dan akhirat dapat dicapai.
Apabila fungsi dan peranan Maja Labo Dahu sudah terlaksana, maka cita, rasa, karsa dan karya manusia akan bermanfaat bagi “Dou Labo Dana” (rakyat dan Negara). Seseorang baru dapat berbuat demikian, apabila dalam pribadinya terdapat:
a. Takwallah (takut kepada Allah)
b. Siddiq atau jujur
c. Amanah
d. Tabligh
e. Cerdik, dan
f. Adil.
Jika seseorang sudah memiliki serta mengamalkan enam nilai tersebut di atas, ia akan mampu mengemban tugas dengan bik dan benar. Akan berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” (pengayom dan pelindung) rakyat dan negeri. Dalam melakukan tugasnya, selalu memegang teguh nilai-nilai luhur Maja Labo Dahu.
Jadi, seseorang yang beriman harus mengarahkan segala sesuatu di dalam kehidupannya kepada Rabb-nya dan merasa sepenuhnya bahwa Allah senantiasa bersamanya, mendengar, dan melihat dirinya. Hal ini merupakan perasaan yang kontinyu dan jaminan untuk meluruskan jiwa, mendidik sanubari, mensucikan dan membersihkan tingkah laku.
2. Nilai Akhlak
Akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu kata jama’ dari Khuluqun yang berarti perangai atau prilaku.
Menurut Barmawie Umary, akhlak adalah mufrod dari Khilqun atau Khuluqun yang mengandung segi-segi persesuaian dengan Khalqun serta erat hubungannya dengan Khaliq dan Makhluq. Dari sinilah asal perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi yang memungkinlakn timmbulnya hubungan yang baik atara makhluk dengan Khaliq dan antara makhluk dengan makhluk.
Kata Khulqun ini juga dapat dijumpai dalam al-Quran surat Al-Qalam ayat 4:
    

Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

Dengan perkataan lain, ilmu akhlak adalah, menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan, menunjukkan jalan untuk melakukan perbuatan, menyatakan tujuan di dalam perbuatan. Jadi, ilmu akhlak adalah ilmu yang mempersoalkan baik buruknya amal yang terdiri dari perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya dari segi lahir dan batin.
Muhammad Saw, sebagai Nabi sekaligus menjadi Rasul Allah telah menjadikan al-Quran sebagai pegangan hidup dan dari al-Quran-lah prilaku atau akhlak yang ditampilkannya.
Untuk menggali ketinggian dan kemuliaan akhlak Rasulullah Saw maka kita harus memahami al-Quran. Pemahaman mengenai al-Quran harus dimulai sejak dini sehingga proses membaca, mengkaji dan menelaahnya dan pada akhirnya dapat termanifestasikan kedalam kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai al-Quran (Maka tentu saja yang diharapkan adalah terbentuknya akhlak islami).
Akhlak Islami yang dimaksud, menyangkut bagaimana hubungan Vertikal antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Khalik (pencipta) dan hubungan Horizontal antara sesama manusia serta hubungan antara manusia denagn alam lingkungannya.
sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 112:
            •• ...

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…” (QS. Ali Imran: 112)

Dari penjelasan ayat ini dapat dipahami bahwa akhlak islami itu menyangkut segala aspek kehdupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah, sesame manusia maupun dengan alam sekitarnya.
Akhlak Islami itu tidak lain dari pelaksanaan ajaran al-Quran, maka pembentukan akhlak islami itu sendiri adalah proses pengajaran al-Quran atau sosialisasi ajaran al-Quran.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin-poin terdahulu, kehidupan masyarakat Bima yang penuh dengan sopan santun, lemah lembut dan ramah, atau berakhlak mulia, itu semua merupakan pengamalan daripada intisari dari al-Quran sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

MBOJO LINTAS SEJARAH

Sejarah singkat
Kabupaten Bima diproklamirkan pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara 5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur. Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : 1. Darmawangsa 2. Sang Bima 3. Sang Arjuna 4. Sang Kula 5. Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.
Bima dalam lintas sejarah
Mbojo yang lebih dikenal dengan Bima sekarang, memiliki sejarah yang sangat panjang dan penuh dengan misteri. Secara urutan Bima dapat terbagi dalam beberapa zaman atau masa.
1. Zaman Naka
Diantara beberapa ilmuan juga sejarawan lokal Mbojo tidak mengetahui secara detail kapan zaman naka ini berlangsung, hal ini masuk akal karena zaman naka sendiri merupakan zaman dimana masyarakat masih hidup berpindah-pindah, belum bercocok tanam, belum mengenal tulisan dan belum ada peradaban. Zaman ini lebih kita kenal dengan zaman Prasejarah.
2. Zaman Ncuhi
Zaman Ncuhi merupakan kelanjutan dari zaman naka dengan benyak perkembangan yaitu telah mengenal peradaban, bercocok tanam, tidak berpindah-pindah juga telah terbentuknya pemerintahan, akan tetapi pemerintahn pada zaman zcuhi tidaklah seperti pemerintahn sekarang..
Zaman Ncuhi merupakan awal masyarakat Mbojo meniti sejarah yang indah, hal ini terbukti dalam kebijaksanaan para pemimpin kelompok masyarakat yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan dan mendahulukan permusyawaratan. Tinta emas yang digoreskan oleh para ncuhi ini, menjadikan Suku Mbojo sebagai manusia yang dihargai oleh dunia karena kabaikan dan ketaatannya kepada agama ketika zaman keislaman/kesultanan.
Pada zaman ncuhi juga pemerintahan pertama Bima terbentuk yaitu ketika Sang Bima (salah satu putra dari Raja Jawa Timur) mengembara ke Dana Mbojo dan memprolamirkan Mbojo sebagai Bima (dari nama baliaulah Bima itu diambil). Pada zaman ncuhi, masyarakat suku mbojo terbangun atas kepercayaan budaya (Agama budaya) yaitu Makamba dan Makimbi/animise dan dinamisme. Keparcayaan ini terbangun secara alami dalam kehidupan masyarakatyang belum mengenal agama samawi. Begitu juga pemerintahan dibangun atas kepercayaan budaya atau adat masyarakat.
3. Zaman Kerajaan
Zaman kerajaan ini merupakan kelanjutan dari zaman Ncuhi yang sedikit lebih maju dari pemerintahan ncuhi itu sendiri yang bernaung dibawah kepemimpinan seorang Raja. Raja pertama Mbojo itu sendiri adalah seorang keluarga Raja Jawa Timur yaitu Sang Bima yang konon telah ada hubungan sebelumnya antara Raja Jawa dengan pemimpin-pemimpin masyarakat Mbojo sebelumnya.
Pada zaman Sang Bima ini, sedikit tidaknya pengaruh Hindu menyentuh masyarakat Mbojo, hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan Hindu kuno seperti Wadu Pa’a dll.. namun kepercayaan hindu tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan agama atau kepercayaan masyarakat mbojo. Hal ini dikarenakan tidak klopnya antara kepercayaan yang dibawa oleh Sang Bima dengan Hindunya dengan masyarakat Mbojo dengan kepercayaan Makamba dan Makimbi-nya..

4. Zaman Kesultanan
Zaman kesultanan merupakan era baru dalam pemerintahan masyarakat Bima. Zaman kesultanan merupakan revolusi masyarakat Bima dalam segala segi kehidupannya. Revolusi yang dimaksud adalah perubahan pola kehidupan masyarakat Bima itu sendiri baik dari segi pemerintahan (dari pemerintahan Hindu ke Islam), budaya, hukum yang dipakai dalam masyarakat dan pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat. Sebab disebut zaman kesultanan karena Islam telah masuk dan menjadi agama Negara bagi masyarakat Mbojo/Bima.
Islam itu sendiri masuk ke Dana Mbojo dengan beberapa jalur, diantaranya jalur perdagangan, politik dan lewat beberapa daerah diantaranya lewat Demak, Ternate, dan Makassar. (lebih lengkapnya baca di sejarah masuknya Islam di Dana Mbojo oleh Hanafi).
Zaman kesultanan diproklamirkan pada tanggal 5 Juli 1640 M. oleh Sultan Bima I yaitu Sultan Abdul Kahir (La Ka’I) yang kemudian menjadi hari jadinya Bima yang dirayakan setiap tahunnya.

Kamis, 30 Juli 2009

IPAH BIMA

ANGGARAN DASAR
IKATAN PERSAUDARAAN ALUMNI AL-HUSAINY (IPAH)
   


MUQADDIMAH


Puja dan puji syukur hanyalah milik Allah SWT tuhan semesta alam yang "melengkapi" manusia dengan akal, sehingga dengannya kita mampu merasakan dan mengagung-agungkan kebasaran Allah SWT. Shalawat dan Salam tak akan pernah kering kita ucapakan kepada junjungan alam, khatamul anbiyaa' Nabi Muhammad SAW yang memberi tauladan dan pedoman hidup kepada kita semua.
Rasulullah mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang kuat. Kuat dalam arti mampu mengembangkan potensi-potensi yang telah Allah swt. berikan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi diri maupun masyarakat pada umumnya.
Kehadiran IPAH merupakan salah satu implementasi dari anjuran Rasulullah saw. di atas, yang diharapkan dapat mewujudkan pribadi-pribadi muslim yang intlektual dan menjadi organisasi yang dapat memberikan manfaat dan pencerahan bagi masyarakat secara umum. Begitu besarnya peranan sebuah organisasi, hingga Sayyidina ‘Ali RA. pernah mengatakan dalam sebuah syairnya “kejahatan yang terorganisir akan dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Hal ini menjadi cerminan bagi umat untuk dapat mewujudkan intlektual muslim yang kuat.





BAB I
NAMA TEMPAT DAN KEDUDUKAN

Pasal 1

Perkumpulan/organisasi ini bernama Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy disingkat IPAH, didirikan di Bumi Serpong Damai (BSD), bertepatan dengan tanggal 15 Maret 2009 M.

Pasal 2

Ikatan Persaudaraan Alumni Al Husainy berkedudukan di Ibukota Negara RI.


BAB II
ASAS (AQIDAH)

Pasal 3

Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy sebagai organisasi yang berasaskan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.


BAB III
LAMBANG

Pasal 4

Lambang Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy berupa:
1. Al-Qur’an.
2. Masjid.
3. Pulau Nusantara.
4. Matahari




BAB IV
VISI DAN MISI

Pasal 5

Visi Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy adalah membangun masyarakat intelektual yang Qur’ani (Qur’ani yang intlektual).



Pasal 6

Misi Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy adalah untuk mewujudkan tujuan atau visi sebagaimana terdapat pada pasal 5 di atas, maka IPAH melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
a. Mempererat tali Ukhuwah Islamiyah dalam rangka mengembangkan sumber daya manusia yang tangguh menghadapi arus globalisasi.
b. Membangun kesadaran dan tanggung jawab sosial alumni Pondok Pesanttren Al-Husainy Bima sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk.
c. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat guna terbentuknya khairu ummah.
d. Menuntaskan buta al-Qur’an dalam masyarakat.


BAB V
KEANGGOTAAN

Pasal 7

Jenis keanggotaan terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1. Anggota Biasa.
2. Anggota Istimewa.
3. Anggota Kehormatan.

Pasal 8

Ketentuan mengenai kewajiban dan hak anggota serta lainya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB VI
STRUKTUR DAN PERANGKAT ORGANISASI

Pasal 9

Struktur Organisasi Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy bersifat independen.

BAB VII
KEPEGURUSAN

Pasal 10

1. Kepengurusa Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy Bima terdiri dari Dewan Penasehat, Dewan Pembina dan Pengurus Harian.
2. Dewan Penasehat adalah dewan yang mengawasi segala aktifitas organisasi.
3. Dewan Pembina adalah dewan yang bertugas memberikan arahan serta saran kepada Pengurus Harian baik langsung maupun tidak langsung.
4. Pengurus Harian adalah pelaksana program organisasi.
5. Tugas, wewenang, kewajiban dan hak dewan penasehat, dewan pembina dan pengurus harian, diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 11

1. Masa jabatan pengurus sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 adalah 2 (dua) tahun di semua tingkatan.
2. Masa jabatan Pengurus lembaga dan departemen disesuaikan dengan jabatan Pengurus IPAH di tingkat masing-masing.

Pasal 12

Ketentuan mengenai susunan dan komposisi Pengurus diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 13

1. Pengurus IPAH dipilih dan ditetapkan dalam permusyawaratan.
2. Ketentuan pemilihan dan penetapan Pengerusan IPAH diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 14
Apabila terjadi kekosongan jabatan antar waktu (kepegurusan Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy), maka ketentuan pengisiannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB VIII
PERMUSYAWARATAN

Pasal 15

1. Permusyawaratan di lingkungan IPAH meliputi:
a. Muktamar.
b. Muktamar Luar Biasa.

2. Ketentuan permusyawaratan sebagaiman tersebut tersebut dalam ayat 1 pasal 16 diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.



BAB IX
KEUANGAN DAN KEKAYAAN

Pasal 16

1. Keuangan Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy diperoleh dari sumber-sumber dan lingkungan Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy, ummat Islam, maupun sumber-sumber lain yang halal dan tidak mengikat.
2. Sumber dana di lingkungan IPAH diperoleh dari:
a. Iuran Wajib.
b. Sumbangan dari warga dan simpatisan IPAH.
c. Usaha-usaha lain.
3. Pemanfaatan Iuran Wajib, Sumbangan dari warga dan simpatisan IPAH, usaha-usaha lain yang halal sesuai dengan Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 17

1. Kekayaan Ikatan Persaudaran Alumni Al-Husainy dan perangkatnya berupa dana, harta benda bergerak dan atau harta benda tidak bergerak harus dicatatkan sebagai kekayaan Ikatan Parsaudaraan Alumni Al-Husainy.
2. Segala aset Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy hanya dapat digunakan untuk kepentingan organisasi Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy.


BAB X
PERUBAHAN

Pasal 18

1. Anggaran Dasar ini hanya dapat diubah oleh keputusan Muktamar yang sah yang dihadiri sedikitnya satu per dua dari jumlah anggota IPAH.
2. Dalam hal Musyawarah Tahunan yang dimaksud ayat (1) pasal ini tidak dapat diadakan karena tidak mencapai korum, maka ditunda selambat-lambatnya 1 (satu) kali 15 menit dan selanjutnya dengan mematuhi syarat dan ketentuan yang sama Musyawarah Tahunan dapat dimulai dan dapat mengambil keputusan yang sah.
BAB XI
PEMBUBARAN ORGANISASI

Pasal 19

1. Pembubaran Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy sebagai salah satu organisasi hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari seluruh anggota dan Pengurus di semua tingkatan.
2. Apabila Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy dibubarkan, maka segala kekayaan diserahkan kepada organisasi atau badan amal yang sefaham.


BAB XII
PENUTUP

Pasal 20

Segala sesuatu yang belum diatur dalam Anggaran Dasar Ini belum lengkap dan akan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.



Pasal 21

Anggaran Dasar ini mulai berlaku sejak saat disahkan.

Ditetapkan di :
Pada tanggal : …………….H/ ……………M



MUKTAMAR
IKATAN PERSAUDARAAN ALUMNI AL HUSAINY
PIMPINAN SIDANG PLENO





______________________ _________________________
Ketua Sekretaris














ANGGARAN RUMAH TANGGA
IKATAN PERSAUDARAAN ALUMNI AL-HUSAINY (IPAH)

BAB I
KEANGGOTAAN

Pasal 1

Keanggotaan ikatan persaudaraan alumni al-husainy (IPAH) terdiri dari :
1. Anggota Biasa, selanjutnya disebut anggota, ialah setiap alumni yang telah menyelesaikan pendidikan formal baik Madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah di Pondok Pesantren al-Husainy Bima.
2. Anggota Istimewa, ialah setiap orang yang pernah mengikuti pendidikan al-Qur’an langsung pada Ruma Guru Drs. H. Ramli H. Ahmad sebelum terbentuknya lembaga pendidikan formal.
3. Anggota Kehormatan, ialah setiap orang yang memiliki kepedulian terhadap visi dan misi didirikannya pondok-pesantren Al-Husainy Bima atau alumni dari selain pondok pesantren Al-Husainy Bima namun memiliki program, visi dan orientasi yang sama dengan pondok pesantren Al-Husainy Bima.


BAB II
TATA CARA PENERIMAAN DAN
PEMBERHENTIAN KEANGGOTAAN

Pasal 2

Anggota biasa dan istimewa diterima secara langsung menjadi anggota ikatan alumni Pondok-Pesantren Al-Husainy Bima.

Pasal 3

Anggota kehormatan adalah sesuai dengan ketentuan pasal 1 poin 3 (tiga).

Pasal 4

1. Seorang dikatan berhenti dari keanggotaan ikatan persaudaraan Alumni AL-Husainy (IPAH) karena permintaan sendiri, diberhentikan, atau tidak lagi memenuhi syarat keanggotaan Ikatan persaudaraan Alumni Al-Husainy.
2. Seorang berhenti dari keanggotaan Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy karena permintaan sendiri yang diajukan kepada badan pengurus harian secara tertulis, atau jika dinyatakan secara lisan perlu sedikitnya 2 (dua) orang sebagai saksi.
3. Seorang diberhentikan dari keanggotaan Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy karena dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota atau melakukan perbuatan yang mencemarkan nama baik dan menodai nama Ikatan Persaudaraan Alumni AL-Husainy baik ditinjau dari segi syar’i, kemaslahatan umum maupun organisasi dengan prosedur sebagai berikut.
a. Pemecatan anggota biasa dan istimewa dilakukan berdasarkan Rapat Pleno pengurus harian IPAH setelah mendapatkan usulan dari anggota.
b. Sebelum diberhentikan anggota yang bersangkutan diberi surat peringatan oleh Badan Pengurus Harian, Pembina atau Penasehat IPAH.
c. Jika dalam 15 (lima belas) hari peringatan itu tidak diindahkan, maka pengurus harian bisa memberhentikan yang bersangkutan sementara selama 3 (tiga) bulan.
d. Anggota biasa dan istimewa yang diberhentikan sementara atau diberhentikan dapat membela diri dalam suatu Musyawarah.
e. Pertimbangan dan tata cara tersebut pada ayat 3 (tiga) juga berlaku terhadap pencabutan anggota kehormatan.


BAB III
KEWAJIBAN DAN HAK ANGGOTA

Pasal 5

Anggota ikatan persaudaraan alumni Al-Husainy berkewajiban :
1. Bertaqwa kepada Allah Swt., serta menjalankan syari’at Agama Islam.
2. Menjaga nama baik Pondok Pesantren Al-Husainy Bima.
3. Setia, tunduk dan taat kepada IPAH.
4. Bersungguh-sugguh mendukung dan membantu segala langkah IPAH, serta bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya.
5. Membayar iuran yang telah ditetapkan oleh IPAH, sebesar Rp 15.000,-
6. Memelihara Ukhuwah Islamiyah antar sesama alumni pondok pesantren Al-Husainy.

Pasal 6

1. Anggota biasa dan istimewa berhak :
a. Menghadiri Muktamar, mengemukakan pendapat dan memberikan suara.
b. Memilih dan dipilih sebagai pengurus IPAH atau menduduki jabatan lain yang ditetapkan baginya.
c. Mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh IPAH .
d. Memberikan masukan serta koreksi kepada pengurus dengan cara dan tujuan yang baik.
e. Mendapatkan pembelaan, perlindungan dan pelayanan.
f. Melakukan pembelaan atas keputusan IPAH terhadap dirinya.
2. Anggota kehormatan berhak menghadiri kegiatan-kegiatan IPAH dan dapat memberikan saran atau pendapat, namun tidak memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih.
3. Anggota biasa dan Istimewa IPAH tidak diperkenankan merangkap menjadi anggota anggota organisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki asas dan tujuan yang bertentangan dengan Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy.


BAB IV
PERANGKAT ORGANISASI

Pasal 7

Perangkat organisasi Ikatan Persaudaraan Alumni AL-Husainy :
a. Lembaga
b. Departemen

Pasal 8

1. Lembaga adalah perangkat departemensi organisasi Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy yang berfungsi sebagai pelaksanan kebijakan IPAH berkaitan dengan suatu bidang tertentu.
2. Ketua lembaga ditunjuk langsung dan bertanggung jawab kepada pengurus IPAH sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 9

1. Departemen adalah perangkat organisasi IPAH untuk melaksanakan program IPAH yang memerlukan penanganan khusus.
2. Pembentukan dan penghapusan departemen ditentukan permusyawaratan pada Raker.

Pasal 10

1. Pengurus IPAH berkewajiban membina dan mengayomi seluruh lembaga dan departemen.


BAB V
SYARAT MENJADI PENGURUS

Pasal 11

1. Untuk menjadi pengurus, seorang calon harus sudah aktif menjadi anggota Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy atau lembaga atau departemen sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun.


BAB VI
PEMILIHAN DAN PENETAPAN PENGURUS

Pasal 12

1. Ketua dipilih secara langsung oleh Muktamar.
2. Sekretaris ditunjuk oleh di tim formatur.
3. Pengurus harian dan dewan penasehat dapat membentuk tim tertentu untuk menyusun kelengkapan pengurus lembaga dan departemen.


BAB VII
PENGISIAN JABATAN ANTAR WAKTU

Pasal 13

1. Apabila terjadi kekosongan jabatan ketua, maka wakil ketua menjadi penjabat ketua.
2. Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil ketua, maka ketua menunjuk salah seorang untuk menjadi wakil ketua.
3. Apabila wakil ketua menjadi penjabat ketua, maka pengisian penjabat wakil ketua ditetapkan melalui Rapat Badan Pengurus Harian.
4. Apabila ketua dan wakil ketua berhalangan tetap dalam waktu yang bersamaan, maka:
a. Rapat pengurus lengkap menetapkan pejabat ketua dan Wakil Ketua.
b. Pejabat ketua yang telah ditentukan menunjuk Pejabat Wakil Ketua.


Pasal 14

1. Apabila ketua berhalangan sementara, maka Ketua menunjuk salah seorang wakil Ketua harian sebagian Pelaksana Tugas Harian.
2. Apabila ketua berhalangan tetap, maka rapat Pengurus Pusat Harian dan menetapkan Pejabat Ketua.
3. Apabila terjadi kekosongan jabatan Ketua, Sekretariat, Wakil Sekretarian, Bendahara, Wakil Bendahara, dan Ketua Lembaga, serta Ketua Departeman maka pengisian jabatan tersebut ditetapkan melalui rapat Pengurus Pusat Harian.


BAB VIII
MASA JABATAN

Pasal 15

1. Masa jabatan dalam kepengurusan Ikatan Persaudaraan Alumni Al-Husainy mengikuti ketentuan pada Anggaran Dasar IPAH.
2. Ketua dapat dipilih kembali selama dua periode.
3. Pengurus lembaga dan departemen yang masa jabatannya sudah berakhir, tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya kepengurusan yang baru, dengan tidak mengambil kebijakan yang mendasar.




BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PENGURUS

Pasal 16

1. Penasehat adalah sesepuh pondok-pesantren Al-Husainy.
2. Orang-orang yang tidak memiliki keterikatan dengan IPAH namun telah diangkat sebagai penasehat berjasa memeberikan dedikasi, pengabdian dan loyalitas kepada IPAH.
3. Penasehat bertugas memberikan nasehat kepada pengurus IPAH menurut tingkatannya baik diminta atau tidak.

Pasal 17

1. Pengurus harian selaku pimpinan tertinggi sebagai pembina, pengendali, pengawas dan penentu kebijakan IPAH mempunyai tugas dan wewenang :
a. menentukan arah kebijakan IPAH dalam melakukan usaha dan tindakan untuk mencapai tujuan IPAH.
b. Memberi petunjuk, bimbingan dan pembinaan pemahaman, pengamalan dan pengembangan ajaran Islam berdasarkan fahan Ahlussunnah Waljama’ah, baik di bidang Aqidah, Syari’ah maupun Akhlak.
c. Membatalkan keputusan perangkat organisasi IPAH sebagaiman yang dimaksud pada Anggaran Dasar.
2. Pembagian tugas diantara anggota pengurus harian diatur dalam peraturan tata kerja organisasi.

Pasal 18

1. ketua sebagai pelaksana mempunyai kewajiban memimpin jalannya organisasi
2. ketua sebagai pelaksana mempunyai tugas :
a. Memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijakan yang ditentukan.
b. Melaksanakan program IPAH.
c. Membina dan mengawasi kegiatan sebuah perangkat yang berada dibawahnya.
d. Menyampaikan laporan secara periodik kepada IPAH tentang pelaksanaan tugasnya.
3. dalam menggerakkan dan mengelola program, pengurus harian berwenang membentuk tim kerja (team work) tetap atau sementara sesuai kebutuhan.
4. pembagian tugas diantara anggota pengurus harian diatur dalam peraturan tata kerja organisasi.





BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN PENGURUS

Pasal 19

1. pengurus berkewajiban :
a. menjaga dan menjalankan amanat organisasi.
b. Menjaga keutuhan organisasi ke dalam maupun ke luar.
c. Mematuhi ketentuan-ketentuan organisasi.
2. pengurus berhak:
a. membuat kebijakan, keputusan dan peraturan organisasi sepanjang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/AR) atau keputusan pengurus IPAH yang lebih tinggi.
b. Memberikan saran atau koreksi kepada pengurus setingkat lebih tinggi dengan tujuan dan cara yang baik.
c. Memberikan motifasi dan dorongan kepada lembaga, departemen untuk meningkatkan kinerjanya.


BAB XI
MUKTAMAR

Pasal 20

1. MUKTAMAR adalah Instansi permusyawaratan tertinggi di dalam organisasi IPAH, diselenggarakan oleh pengurus IPAH sekali dalam 2 (dua) tahun.
2. MUKTAMAR dipimpin oleh Ketua IPAH.
3. MUKTAMAR dihadiri oleh Pengurus dan anggota IPAH.
4. Untuk penyelenggaraan MUKTAMAR, pengurus IPAH membentuk panitia yang akan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyelenggaraan MUKTAMAR.
5. Pengurus IPAH berkewajiban menyampaikan laporan pertanggung jawaban organisasi dalam MUKTAMAR.
6. Pengurus IPAH membuat susunan acara MUKTAMAR dan rancangan peraturan tata tertib MUKTAMAR yang mencakup susunan dan tata cara pemilihan pengurus.

Pasal 21

Musyawarah Luar Biasa sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat 1 butir b Anggaran Dasar, dapat diselenggarakan atas permintaan pengurus dengan ketentuan :
a. Diselenggarakan untuk menyelesaikan masalah-masalah mengenai keberadaan organisasi IPAH
b. Penyelesaian masalah-masalah dimaksud pada butir (a) tidak dapat diselesaikan pada permusyawaratan lain.



BAB XII
KEUANGAN DAN KEKAYAAN

Pasal 22

Pendapatan yang diterima oleh IPAH digunakan untuk membiayai kegiatan organisasi dan dimanfaatkan dengan perimbangan sebagai berikut :
a. 80 % untuk membiayai kegiatan IPAH di Jakarta
b. 20 % untuk membiayai kegiatan organisasi alumni di Bima

Pasal 23

Dalam laporan pertanggung jawaban pengurus kepada MUKTAMAR dimuat pula pertanggung jawaban keuangan dan inventaris pengurus, lembaga dan departemen.

Pasal 24

Kekayaan IPAH yang berupa harta benda yang tidak bergerak tidak dapat dialihkan hak kepemilikannya kepada pihak lain kecuali atas persetujuan Pengurus Harian dan diketahui oleh Dewan Pembina dan Dewan Penasehat.


BAB XIII
PENUTUP

Pasal 25

Segala sesuatu yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga Ini belum lengkap dan akan diatur kemudian.

Pasal 26

Anggaran Rumah tangga ini mulai berlaku sejak saat disahkan.

Ditetapkan di :
Pada tanggal : …………….H/ ……………M



MUKTAMAR
IKATAN PERSAUDARAAN ALUMNI AL HUSAINY
PIMPINAN SIDANG PLENO


_______________________ _________________________
Ketua Sekretaris