Sabtu, 12 Oktober 2013

SIKLUS BELAJAR INDIVIDU, FUNGSI-FUNGSI SEKOLAH DAN PERUBAHAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN Pendidikan adalah suatu kewajiban bagi setiap individu, selalu memperbaiki diri dan mengembangkan skill merupakan satu tuntutan zaman yang harus dipenuhi bila igin terus berada dalam skema kehidupan yang ideal, sehingga dapat terus memiliki daya kehidupan yang dapat membangun dan merubah sumber daya manusia maupun alam. Pengetahuan akan selalu bertautan dengan kekuasaan, atau pun sebaliknya. Maka kebijakan yang dihasilkan oleh pembuat kebijakan harus memberikan satu perspektif bagi kebebasan dan pembangunan kualitas pendidikan yang menghasilkan siklus belajar individu-individu yang mampu mengarahkan sejarah dan peradaban negara di masa yang akan datang. Bagi masyarakat hakikat pendidikan adalah satu kemanfaatan bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidup. Dengan pendidikan, masyarakat diharapkan mampu melanjutkan eksistensinya sebagai makhluk yang selalu mencipta. Maka dengan demikian, pendidikan harus menjadi jembatan sebagai jalan untuk diteruskannya nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan, etika, moral, dan bentuk tata perilaku lainnya. Dari hal tersebutlah, masyarakat akan berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi untuk kesesuaian corak masing-masing peradaban. Dengan demikian, pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi. Sebagai media perubahan, maka pendidikan adalah sebuah keniscayaan, tiada hal yang tidak berubah di dalam kehidupan, “Tempus Muntantur Et Nos Mutamur” waktu berubah dan kita ikut pula berubah di dalamnya. Namun persoalannya adalah apakah perubahan itu mengarah kepada perbaikan atau malah menjadikan objeknya mengalir ke arah yang tidak menguntungkan. Untuk mengetahui berbagai hal tentang pendidikan dan perubahan tersebut, maka pembahasan lebih lanjut akan dibahas dalam makalah ini secara lebih spesifik dengan point-poitn tertentu. Dengan demikian, penulis mengharapkan ada perpaduan pemikiran yang dapat melahirkan saran-kritik untuk lebih meningkatkan berbagai cara pandang untuk menyikapi kemajuan pendidikan dan perubahan yang dihasilkan oleh pendidikan tersebut. Dan semoga Allah memberikan pencerahan bagi akal dan hati yang terdapat di dalam fakultas dada kita masing-masing. BAB II PEMBAHASAN A. Siklus Belajar Individu di Masyarakat Secara singkat pendidikan merupakan produk dari masyarakat, karena apabila kita sadari arti pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda maka seluruh upaya tersebut sudah dilakukan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Hampir segala sesuatu yang kita pelajari merupakan hasil hubungan kita dengan orang lain baik di rumah, sekolah, tempat permainan, pekerjaan dan sebagainya. Wajar pula apabila segala sesuatu yang kita ketahui adalah hasil hubungan timbal balik yang ternyata sudah sedemikian rupa dibentuk oleh masyarakat kita. Bagi masyarakat sendiri hakikat pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepada anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk tata perilaku lainnya yang diharapkan akan dimiliki oleh setiap anggota. Setiap masyarakat berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing periode jaman kepada generasi muda melalui pendidikan, secara khusus melalui interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi. Dalam pengertian tersebut, pendidikan sudah dimulai semenjak seorang individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan eksternal di luar dirinya, yakni keluarga. Seorang bayi yang baru lahir tentunya hidup dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Menyadari hal demikian sang ibu berupaya memberikan segala bentuk curahan kasih sayang dan buaian cinta kasih melalui air susunya, perawatan yang lembut serta gendongan yang begitu mesra kepada si bayi. Begitulah proses tersebut berlangsung selama si bayi masih tetap memerlukan pertolongan intensif dari manusia lain. Sampai pada umur lima tahun bayi itu tumbuh dan berkembang dengan sehat di dalam mahligai cinta kasih perpaduan sepasang manusia yang menjadi orang tuanya. Berbicara tentang siklus belajar individu dalam masyarakat, banyak sekali teori yang membahasnya, dari teori sosial Barat hingga Islam begitu antusias menggambarkan motivasinya. Rasulullah menggambarkannya lewat teori hadisnya yang artinya; Tuntutlah Ilmu Dari Ayunan Hingga Ke Liang Lahad. Dalam hadisnya yang lain dijelaskan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan Fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nashara ataupun Majusi. Terlihat bahwa peran individu dan lingkungan keluarga sangat mempengaruhi proses belajar seseorang dalam mengaruhi kehidupannya. Dari sini bisa kita sadari selain anggota keluarga baru itu belajar mengetahui, mempelajari serta melakukan berbagai reaksi terhadap stimulus dari dunia barunya maka bisa kita cermati pula bahwa sang bayi juga memahami esensi nilai-nilai kemanusiaan dari keluarganya dalam bentuk gerak tubuh, belajar berbicara, tertawa serta semua tindak tanduk yang menggambarkan bahwa jiwa raganya telah terpaut erat oleh belaian kasih sayang manusia dewasa. Ilustrasi di atas hanyalah sekelumit kecil dari siklus belajar individu di dalam masyarakat. Proses tersebut berlangsung pula ketika kita menjadi manusia dewasa. Apabila kita memenuhi kewajiban sebagai saudara laki-laki, suami atau warga negara serta menjalankan hal-hal lain yang tertanam kuat dalam benak kesadaran kita, itu berarti kita melakukan tugas yang sudah ditentukan secara eksternal oleh hukum-hukum kodrat sosial (Droit) dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang begitu alamiah dari lingkungan sosial. Kewajiban itu muncul bukan hasil dari proses pemaksaan eksternal yang mekanistis melainkan selalu diikuti oleh gejala resiprositas individu dengan lingkungan luarnya sehingga pada tahap akhirnya masyarakat telah menghasilkan ribuan atau bahkan jutaan manusia yang tunduk lahir batin dengan ketentuan-ketentuan kolektif (Abdullah dan Van der Leeden, 1986). Selain itu, dimensi sejarah juga berbicara serupa. Ratusan tahun silam pendidikan berjalan beriringan dengan struktur dan kebutuhan sosial masyarakat setempat. Bagi masyarakat sederhana yang belum mengenal tulisan maka para pemuda memperoleh tranformasi pengetahuan lewat media komunikasi lisan yang berbentuk dongeng, cerita-cerita dari orang tua mereka. Selain itu, pada siang hari pemuda-pemuda ini harus selalu sigap dan tanggap mempelajari, mencermati dan belajar mengaplikasikan teknik-teknik mencari nafkah yang dikembangkan oleh para orang tua baik itu menangkap ikan, memanah, beternak, berburu dan sebagainya (Purbakawatja dkk., 1955). Dalam cerita-cerita lisan itu tersirat pula adat dan agama, cara bekerja dan cara bersosialisasi yang berkembang di masyarakatnya. Tidak mengherankan apabila cerita yang sudah turun temurun diwariskan itu dianggap sebagai sesuatu yang bernilai suci. Sejarah, adat istiadat, norma-norma bahkan cara menangkap ikan atau berburu tidak hanya dipandang sebagai hasil pekerjaan manusia semata, tetapi memiliki makna sakral yang patut disyukuri dengan beberapa persembahan serta upacara-upacara ritual. Begitulah perjalanan pendidikan anak manusia telah berlangsung organis sesuai dengan iklim sosialnya. Sedangkan keperluan khusus untuk mendirikan sebuah lingkungan perguruan yang mapan dimulai ketika bangsawan-bangsawan feodal membutuhkan prajurit-prajurit serta punggawa kerajaan yang tangguh demi mempertahankan harta kekayaan milik sang raja. Mereka secara khusus dididik dalam lingkungan tersendiri agar memiliki kecakapan dan keahlian tertentu sesuai dengan kebutuhan sistem sosial masyarakat aristokrasi-feodal. Mereka-mereka ini menjadi ujung tombak pelaksana kekuasaan kerajaan di hadapan ribuan rakyat jelata yang memang dibikin bodoh. Melihat situasi demikian, wajar apabila jaman ini predikat golongan terdidik hanya bisa dimiliki oleh sanak saudara sang raja serta kaum-kaum agamawan yang telah memperkuat hegemoni kekuasaannya. Namun seiring dengan bertambahnya umur bumi ini maka kisah pergulatan karakter masyarakat tersebut mulai bergeser selaras dengan kecenderungan spirit jaman yang sudah berubah. Itulah cuplikan kecil argumentasi sederhana tentang renik-renik karakter fungsi pendidikan di masyarakat. Melihat alur perkembangannya maka berbagai jenis konfigurasi pendidikan di atas sesuai dengan konsep yang diutarakan oleh Randall Collins, 1979 (dalam Sanderson, 1993 : 489) tentang tiga tipe dasar pendidikan yang hadir di seluruh dunia, yakni; 1. Pertama jenis pendidikan keterampilan dan praktis, yakni pendidikan yang dilaksanakan untuk memberikan bekal keterampilan maupun kemampuan teknis tertentu agar dapat diaplikasikan kepada bentuk mata pencaharian masyarakat. Jenis pendidikan ini dominan di dalam masyarakat yang masih sederhana baik itu berburu dan meramu, nelayan atau juga masyarakat agraris awal 2. Pendidikan kelompok status, yaitu pengajaran yang diupayakan untuk mempertahankan prestise, simbol serta hak-hak istimewa (Privilige) kelompok elit dalam masyarakat yang memiliki pelapisan sosial. Pada umumnya pendidikan ini dirancang bukan untuk digunakan dalam pengertian teknis dan sering diserahkan kepada pengetahuan dan diskusi badan-badan pengetahuan esoterik. Pendidikan ini secara luas telah dijumpai dalam masyarakat-masyarakat agraris dan industri. 3. Tipe pendidikan birokratis yang diciptakan oleh pemerintahan untuk melayani kepentingan kualifikasi pekerjaan yang berhubungan dengan pemerintahan serta berguna pula sebagai sarana sosiolisasi politik dari model pemerintahan kepada masyarakat awam. Tipe pendidikan ini pada umumnya memberi penekanan pada ujian, syarat kehadiran, peringkat dan derajat. Demikianlah tipe-tipe pendidikan tersebut telah mewarnai corak kehidupan masyarakat. Pada dasarnya ketiga jenis pendidikan di atas selalu hadir dalam setiap masyarakat hanya saja prosentasi penerapan salah satu karakter pendidikan berbanding searah dengan model masyarakat yang terbentuk. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri pula ternyata gelombang sejarah dunia juga menentukan model konfigurasi masyarakat dunia secara global dan hal ini juga memiliki pengaruh bagi iklim pendidikan. Pengaruh modernisasi di berbagai sektor kehidupan telah melahirkan karakter pendidikan yang hampir sama meskipun memiliki ciri khas tertentu di tiap-tiap negara pada akhir abad ke 20 an. Sebagaimana penuturan Tilaar (2003: 62) bahwa dalam masyarakat yang sudah maju, proses pendidikan sebagian dilaksanakan dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah dan pendidikan dalam lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu kegiatan yang lebih teratur dan terdeferensiasi. Inilah pendidikan formal yang biasa dikenal oleh masyarakat sebagai “Schooling”. Untuk melihat latar belakang dari menyeruaknya situasi sosial dunia pendidikan demikian, pada kesempatan lain Randall Collins dalam karya Sanderson (1993: 429) juga mengungkapkan analisis fungsional untuk menjelaskan ekspansi pendidikan modern sebagai akibat dari lahirnya kebutuhan-kebutuhan kualifikasi mahir bagi corak masyarakat modern. Pendidikan dilihat memiliki kontribusi positif demi menjalankan roda perekonomian serta putaran gerigi-gerigi mesin industri masyarakat pendukungnya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain yaitu; 1. Persyaratan pendidikan dari pekerjaan-pekerjaan dalam masyarakat industri yang terus meningkat sebagai akibat dari adanya perubahan teknologi yang memiliki dua aspek, yaitu; a) Proporsi pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang rendah berkurang sementara proporsi yang memerlukan keterampilan tinggi bertambah; b) Pekerjaan-pekerjaan yang sama terus meningkatkan persyaratan keterampilannya. 2. Pendidikan formal memberi latihan yang diperlukan kepada orang-orang untuk mendapat pekerjaan yang berketerampilan lebih tinggi. 3. Sebagai akibat dari yang disebut di atas, persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat dan semakin banyak orang yang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di sekolah. Dari analisis tersebut kiranya cukup jelas pemahaman kita apabila masyarakat Indonesia semenjak kemerdekaannya tidak pernah lepas dari kehidupan pendidikannya. Dengan upaya penerapan sekolah secara merata bagi rakyat di seluruh penjuru tanah air dapat kita rasakan manfaat besarnya dalam membantu menopang ekskalasi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Baik itu wajah materil hasil pembangunan fisik wilayah negara kita maupun peningkatan pola pikir manusia Indonesia yang semakin cerdas menjadi bukti kuat prestasi pendidikan kita. Bisa disimpulkan pula bahwa alam reformasi yang kita rasakan saat ini merupakan salah satu aspek jerih payah kerja sekolah-sekolah di Indonesia (termasuk perguruan tinggi) demi mencapai cita-cita rakyat Indonesia. Dalam konteks sosial, pendidikan juga memiliki fungsi, peran dan kiprah lain yang berkorelasi dengan kekuatan-kekuatan kolektif yang sudah mapan. Tidak hanya puas dalam kondisi demikian pendidikan juga memberikan andil menterjemahkan nilai-nilai baru yang tumbuh akibat proses pergulatan sejarah dalam wujud emansipasi integrasi dengan sistem dan struktur sosialnya. Sehingga dengan begitu masyarakat tidak pernah kering dari dinamika perubahan dan evolusi sosialnya. Secara sederhana siklus belajar individu di masyarakat dapat digambarkan dengan lingkaran sebagai berikut; LINGKUNGAN / ALAM Dari gambar di atas, sedikit penulis menterjemahkan bahwa individu manusia hidup dalam lingkungan masyarakat yang begitu kompleks dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Mulai dari individu yang terbungkus dalam keluarga, dikelilingi oleh masyarakat dan berbagai lembaga social pendidikan hingga lingkungan alam disekitarnya. Dalam pada itu, peran individu dalam proses pendewasaan dirinya disini dapat dideskripsikan bahwa masyarakat (adat dan budaya) juga lingkungan alam tempat ia hidup sangat mempengaruhi gaya kematangan hidup individu tersebut. Oleh karenanya ketika kita bermimpi ingin menciptakan masyarakat yang berkualitas maka terlebih dahulu hendanya budaya bangsa (kearifan lokal) yang terdapat dalam masyarakat harus sudah terbentuk dalam sebuah system yang akan dijalankan dalam masyarakat tersebut sehingga dengan demikian individu-individu yang baru berkembang akan terbentuk oleh system B. Fungsi-fungsi Sekolah Secara mendasar sekolah bertugas untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang diperlukan seseorang agar ia dapat menapaki perjalanan kedewasaannya secara utuh dan tersalurkannya bakat-bakat potensial yang ia miliki. Namun dalam konteks sosial pada kenyataannya sekolah mempunyai beberapa fungsi yakni: 1. Sekolah mempersiapkan seseorang untuk mendapat suatu pekerjaan Apabila kita meninjau secara menyeluruh proses perjalanan pendidikan sepanjang masa, maka kita segera melihat kenyataan bahwa kemajuan dalam pendidikan beriringan dengan kemajuan ekonomi yang secara bersamaan melaju pesat dengan proses evolusi teknik berproduksi masyarakat. Dalam masyarakat bercorak agraris yang stabil pendidikan menyangkut penyampaian keterampilan-keterampilan, keahlian, adat istiadat serta nilai-nilai. Sementara itu pada sistem ekonomi masyarakat maju, sistem pendidikan tentunya mempunyai kecenderungan untuk memberikan pengetahuan dalam jumlah yang terus bertambah kepada kelompok-kelompok manusia dalam jumlah besar, karena proses-proses produksi yang lebih seksama menghendaki pekerja memiliki kualifikasi keahlian yang tinggi (Faure dkk., 1981). Oleh sebab itu penerapan sistem sekolah bermaksud untuk memberikan kompetensi-kompetensi jenis keahlian dalam lahan pekerjaan yang terbentang luas kompleksitasnya. Anak yang menamatkan sekolah diharapkan sanggup melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan dunia pekerjaan atau setidaknya mempunyai dasar untuk mencari nafkah. Makin tinggi pendidikan makin besar harapannya memperoleh pekerjaan yang layak dan memiliki prestise tinggi. Dengan ijazah yang tinggi seseorang dapat memahami dan menguasai pekerjaan kepemimpinan atau tugas lain yang dipercayakan kepadanya. Gambaran di atas merupakan sebuah harapan dan tujuan pedidikan, menurut penulis untuk merealisasikan impian pendidikan tersebut, maka sudah seharusnya lembaga-lembaga pendidikan memfokuskan dirinya dalam hal menciptakan lingkungan sekolah / pendidikan yang berorientasi pada Life Skill dan berbasis lingkungan. 2. Sebagai alat transmisi kebudayaan Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat kepada anak menurut Vembriarto (1990) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) Transmisi pengetahuan & keterampilan, dan (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Transmisi pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial serta penemuan-penemuan teknologi. Dalam era globalisasi sekarang dapat penulis katakan bahwa nyaris fungsi sekolah sebagai alat transmisi kebudayaan tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Bahkan lembaga pendidikan seperti kehilangan tempat berpijak dan tidak tahu apa yang hendak dilakukan begitupun masyarakat seakan tidak mau melepas kenikmatan hegemoni budaya asing. Dalam keadaan demikian Sebagai sokolah / lembaga pendidikan yang kredibel dan bertanggungjawab sudah seharusnya mengambil alih dalam hal merifitalisasi kembali kearifan local lewat kurikulum dan sistem pengajaran di sekolah yang kemudian dilestarikan kembali dalam masyarakat dan lingkungan luas. 3. Sekolah mengajarkan peranan sosial Pendidikan diharapkan membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan sesama manusia sekalipun berbeda agama, suku bangsa, pendirian dan sebagainya. Ia juga harus dapat menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang berbeda-beda. Kalau diselidiki, tentu akan ditemukan bermacam-macam alasan lain mengapa orang tua menyekolahkan anaknya. Misalkan menyekolahkan anak gadis sampai ada yang meminangnya, atau menyerahkan anaknya ke dalam pengawasan guru karena lebih sulit mengurusinya sendiri di rumah dan sebagainya. 4. Sekolah menyediakan tenaga pembangunan Bagi negara-negara berkembang, pendidikan dipandang menjadi alat yang paling ampuh untuk menyiapkan tenaga produktif guna menopang proses pembangunan. Kekayaan alam hanya mengandung arti bila didukung oleh keahlian. Maka karena itu manusia merupakan sumber utama bagi negara. Menurut analisis Faisal dan Yasik (1985) sepanjang dasawarsa 60-an, dunia pendidikan memiliki andil besar dalam membantu proyek negara untuk bangkit melakukan pembangunan di segala bidang. Persekolahan di kala itu, menjadi pusat perhatian dan dambaan para perencana yang mengupayakan perubahan-perubahan besar, baik dalam bidang ekonomi maupun sosial, menjadi pusat perhatian para politisi yang berusaha membangun semangat kebangsaan, serta menjadi kepentingan warga masyarakat yang berharap menemui peningkatan kesejahteraan hidupnya. Di awal-awal dasawarsa 60-an ada suatu keyakinan kuat dari seluruh komponen masyarakat tentang urgensi lembaga pendidikan bagi proses modernisasi dan industrialisasi. Sistem pendidikan dipandang sebagai penghasil tenaga-tenaga terampil dan juga pengetahuan baru yang dibutuhkan bagi perkembangan teknologi dan ekonomi. Sistem pendidikan, juga dianggap berandil besar dalam menanamkan disiplin, sikap dan motivasi sumber daya manusia guna menopang perkembangan industrialisasi. Dalam hubungan ini, modal manusiawi dianggap jauh melebihi pentingnya modal-modal fisik apapun juga; bahkan bagi para ahli ekonomi yang agresif sampai menunjukkan perbedaan signifikansi modal dalam wujud angka-angka presentase. Mereka-mereka ini memiliki keyakinan kuat bahwa orang-orang terdidik begitu produktif dalam melaksanakan tugas pekerjaan, tanggap terhadap tuntutan keterampilan baru, serta mampu menunjukkan loyalitas yang lebih tinggi terhadap dunia pekerjaannya. Inilah salah satu bukti dari kiprah pendidikan di Indonesia pada waktu segenap rakyat dan lapisan masyarakat memiliki hajat besar untuk membangun negaranya. 5. Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib Sekolah sering dipandang sebagai jalan bagi mobilitas sosial. Semenjak diterapkannya sistem persekolahan yang bisa dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh penjuru tanah air maka secara otomatis telah mendobrak tembok ketimpangan sosial masyarakat feodal dan menggantinya dengan bentuk mobilitas terbuka. Sekolah menjadi media untuk meningkatkan mutu dan kualitas nasib seseorang sebab dengan sekolah atau melalui pendidikan, seseorang dari golongan rendah dapat meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Dalam kenyataan perkembangan jaman modern sekarang gelar akademis sangat membantu dalam mencari pekerjaan, mempertahankan posisi jabatan hingga berpengaruh pada kenaikan pangkat atau kedudukan dalam dunia pekerjaan. Banyak pemuda-pemuda yang berhasil menapaki jenjang karir hidupnya melalui sekolah meskipun memiliki latar belakang status yang tergolong rendah. Oleh karena itu orang tua berusaha menyekolahkan anaknya dengan harapan akan dapat memperoleh hasil yang memuaskan bagi peningkatan derajat dan status keluarga di kemudian hari. 6. Sekolah memberikan keterampilan dasar. Seorang yang telah bersekolah setidak-tidaknya pandai membaca, menulis dan berhitung yang diperlukan dalam tiap masyarakat modern, Juga akan memperoleh pengetahuan umum lainnya yang dapat menjadi landasan dasar bagi kehidupannya hingga menjadi Life Skill bagi yang bersangkutan. Kemudian dalam kontek siklus belajar individu, maka keterampilan dasar ini menjadi hal yang berpengaruh dalam membentuk individu yang matang / dewasa dan ikut membentuk sebuah sistem dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sebuah harapan sekaligus tantangan bagi sekolah modern sekarang untuk selalu berinovasi dalam mengembangkan keterampilan dasar tersebut. Bahwa sekolah / lembaga pendidikan yang diharapkan adalah sekolah yang terus dibutuhkan oleh masyarakat keberadaannya dan dapat selalu selangkah lebih maju dari peradaban masyarakat yang ditinggalkan. 7. Menciptakan integrasi sosial Dalam masyarakat yang bersifat heterogen dan pluralistik, terjaminnya integrasi sosial merupakan fungsi pendidikan sekolah yang cukup penting. Masyarakat Indonesia mengenal bermacam-macam suku bangsa masing-masing dengan adat istiadatnya sendiri, bermacam-macam bahasa daerah, agama, pandangan politik dan lain sebagainya. Dalam keadaan demikian bahaya disintegrasi sosial sangat besar. Sebab itu tugas pendidikan sekolah yang terpenting adalah menjamin integrasi sosial. Untuk menjamin integrasi sosial itu, caranya ialah sebagai berikut: a. Sekolah mengajarkan bahasa nasional. Bahasa nasional ini memungkinkan komunikasi antara suku-suku dan golongan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Pengajaran bahasa nasional ini merupakan cara yang paling efektif untuk menjamin integrasi sosial. b. Sekolah mengajarkan pengalaman-pengalaman yang sama kepada anak melalui keseragaman kurikulum dan buku-buku pelajaran dan buku bacaan di sekolah. Dengan pengalaman yang sama itu akan berkembang sikap dan nilai-nilai yang sama dalam diri anak. c. Sekolah mengajarkan kepada anak corak kepribadian nasional (National Identity) melalui pelajaran sejarah dan geografi nasional, upacara-upacara bendera, peringatan hari besar nasional, lagu-lagu nasional dan sebagainya. Pengenalan kepribadian nasional itu akan menimbulkan perasaan nasionalisme dan perasaan nasionalisme itu akan membangkitkan patriotisme. Ada hal yang menarik ketika kita berbicara integrasi social dalam era global sekarang bahwa sejak demokrasi menguasai Negara ini, integrasi social menjadi hal yang asing dalam individu masyarakat. Moral bangsa seakan hilang karena demokrasi, hal ini tercermin dalam sikap bangsa yang terlalu mendewakan demokrasi atas nama hak asasi dan mengesampingkan kearifan moral dan akhlak, dan satu solusinya adalah pendidikan. Lembaga pendidikanlah yang dapat mengembalikan peran moral dalam menghadapi globalisasi dan hegemoni asing yaitu dengan cara menanamkan kembali pelajaran-pelajaran agama dan moral pancasila terhadap anak didik dan guru / pendidik harus menjadi model dalam memberikan contoh aplikasi moral dan akhlak tersebut. 8. Kontrol Sosial Pendidikan Di dalam percakapan sehari-hari, sistem pengendalian sosial atau Social Control seringkali diartikan sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahan khususnya pemerintah beserta aparaturnya. Asumsi tersebut memang ada benarnya namun dalam pengertian yang mendasar pengendalian sosial tidak hanya berhenti pada pengertian itu saja. Arti sesungguhnya pengendalian sosial jauh lebih luas, karena pada pengertian tersebut tercakup segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Jadi pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya seorang ibu mendidik anak-anaknya agar menyesuaikan diri pada kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku) atau mungkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial (umpamanya, seorang dosen di Perguruan Tinggi memimpin beberapa orang mahasiswa dalam kegiatan kuliah kerja lapangan). Seterusnya pengendalian sosial dapat dilakukan oleh kelompok terhadap kelompok lainnya, atau oleh suatu kelompok terhadap individu. Itu semua merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, meskipun seringkali manusia tidak menyadari. Dengan demikian secara mendasar pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat atau suatu sistem pengendalian bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan. Menurut Soekanto (1990) sifat pengendalian sosial bisa bersifat preventif atau represif. Preventif merupakan suatu usaha pencegahan terhadap munculnya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Usaha-usaha preventif dijalankan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal. Dari penegasan tersebut bisa dikatakan bahwa aktivitas pendidikan baik itu di sekolah maupun di luar sekolah merupakan salah satu alat pengendalian sosial yang telah melembaga baik itu pada masyarakat tradisional maupun yang sudah modern. Sehingga dalam hal ini pengertian pendidikan merupakan proses pengendalian secara sadar di mana perubahan-perubahan tingkah laku dihasilkan dari di dalam diri orang itu melalui pergulatan sosialnya. Dari pandangan ini pendidikan adalah suatu proses yang dimulai pada waktu lahir dan berlangsung sepanjang hidup. Pengertian pengendalian secara sadar ini berarti adanya tingkat-tingkat kesadaran dari tujuan yang hendak di dapat. Sementara itu, sebagaimana uraian penjelasan pada halaman-halaman terdahulu bahwa di era modern ini lembaga pendidikan juga mengalami proses transformasi baik itu pola kegiatan, tata nilai, bentuk dan organisasi perannya di masyarakat. Secara spesifik telah memunculkan lembaga sekolah sebagai manifestasi wujud orientasinya. Sehingga pada segi sosialnya sekolah memegang peranan penting dalam sosialisasi anak-anak. Sebagai salah satu upaya pengendalian sosial ada empat cara yang dapat digunakan sekolah yakni : a. Transmisi kebudayaan, termasuk norma-norma, nilai-nilai dan informasi melalui pengajaran secara langsung, misalnya tentang falsafah negara, sifat-sifat warga negara yang baik, struktur pemerintahan, sejarah bangsa dan sebagainya. b. Mengadakan kumpulan-kumpulan sosial seperti perkumpulan sekolah, Pramuka, kelompok olah raga, dan sebagainya yang dapat memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mempelajari dan mempraktikkan berbagai keterampilan sosial. c. Memperkenalkan anak dengan tokoh-tokoh yang dapat dijadikan anak sebagai figur tauladannya. Dalam hal ini guru-guru dan pemimpin sekolah memegang peranan yang penting. d. Menggunakan tindakan positif dan negatif untuk mengharuskan murid mengikuti tata perilaku yang layak dalam bimbingan sosial. Yang termasuk dalam tindakan positif ialah pujian, hadiah dan sebagainya sedangkan cara yang negatif berupa hukuman, celaan dan sebagainya. Uraian di atas menjelaskan idealnya peran control social pendidikan dalam masyarakat, namun dalam era kemerdekaan demokrasi sekarang, sungguh sebuah ironi yang sangat besar bahwa control social yang diharapkan menjadi benteng terakhir dalam membina moral bangsa dan menyaring hegemoni demokrasi dan budaya asing seakan terkikis dan hilang bersamaan dengan berjalannya waktu. Pertanyaan kita adalah apa hal yang harus dan dapat kita lakukan untuk control social pendidikan katika kaadaannya seperti sekarang..??? menurut penulis, yang harus kita lakukan adalah merevitalisasi kembali kearifan lokal yang dimiliki bangsa untuk kemudian ditanam dan dikembangkan kepada anak didik dan masyarakat pada umumnya sehingga dengan demikian minimal masyarakat dan generasi muda akan kembali mengetahui nilai-nilai moral yang seharusnya tetap tetanam dalam jiwa setiap individu masyarakat. Dalam hal pendidikan masyarakat seharusnya lebih sadar bahwa perannya dalam mengontrol jalannya pendidikan sangatlah dibutuhkan. Control menurut penulis dalam arti yang luas bahwa peran masyarakat tidaklah bisa dikatakan ideal hanya dengan diwakilkan dalam komite sekolah. Akan tetapi menurut penulis control social dalam pendidikan mencakup dan melibatkan masyarakat dan lingkungan secara umum dan yang paling utama adalah masyarakat menjadi model dalam mentranfer ilmu dan kebudayaan kepada anak didik dalam pergaulannya di masyarakat. C. Perubahan Sosial dan Pendidikan Perubahan adalah sebuah keniscayaan, tiada hal yang tidak berubah, “Tempus Muntantur Et Nos Mutamur” waktu berubah dan kita ikut pula berubah di dalamnya. Namun persoalannya adalah apakah perubahan itu mengarah kepada perbaikan atau malah menjadikan objeknya mengalir ke arah yang tidak menguntungkan. Dalam sistem masyarakat sosial yang ditunjang oleh alat komukasi yang begitu canggih dan teknologi modern, perubahan sangat cepat hingga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tidak ada hal yang stagnan di dalam kehidupan, baik itu dalam hal tatanan social masyarakat, budaya atau adat istiadat, bahkan dalam skala religiulitas. Sebagai contoh penulis melihat perubahan dalam skala religiulitas pada diri anak bangsa, perubahan terjadi dari tradisi local ke tradisi Islam lokal. Telah banyak dibicarakan oleh publik bahwa masyarakat kita saat ini tidak pernah lepas dari gejala perubahan. Namun karena gejala tersebut memiliki intensitas yang begitu kuat maka banyak pihak yang mengkhawatirkan ketangguhan “daya tangkal” nilai-nilai masyarakat yang telah mapan menjadi goyah lalu perlahan-lahan akan mengalami pemudaran. Perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak jaman dulu. Namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat. Telah menjadi hukum alam bahwa masyarakat memiliki perbedaan dalam adopsi setiap perubahan ataupun inovasi baru. Ada masyarakat yang sangat cepat mengadopsi suatu perubahan, ada yang lambat bahkan ada yang sangat skeptik, di samping yang terjadi pada kebanyakan anggota masyarakat umumnya. Hal ini terjadi, karena anggota masyarakat memiliki perbedaan kesiapan untuk menerima perubahan itu, sebagai akibat dari adanya variasi pengetahuan, cara berpikir, sikap, variasi personalitas, pengalaman, selain kesesuaiannya antara nilai yang ia miliki dengan nilai baru yang ditawarkan. Selain karakteristik yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat, faktor referensi atau panutan juga berperan penting dalam adopsi perubahan itu. Dalam hal ini, penulis teringat pada daerah kalahiran penulis “Bima-NTB” yang saat ini terlihat sangat jauh antara masyarakat pesisir dengan masyarakat di pegunungan dalam hal perubahan dan perkembangannya. Dimana masyarakat pesisir jauh lebih maju (dalam segala hal) dibanding masyarakat yang memilih mengasingkan diri di pegunungan hanya karena tidak terbuka dengan perubahan dan perkembangan zaman. Unsur-unsur ketertutupan tersebut diakibatkan oleh proyeksi masyarakat tentang perubahan masa depan yang cenderung statis. Dan tidak adanya kecenderungan untuk bergerak maju kea rah yang lebih baik. Dalam hal kemajuan dan perubahan, biasanya yang dapat dijadikan referensi oleh seseorang atau masyarakat terhadap proses adopsi perubahan itu di antaranya adalah, (1) orangtua (2) pemuka masyarakat baik formal mupun non-formal, (3) teman dekat, (4) figur idola, dan (5) orang yang paling berpengaruh terhadap diri seseorang. Perbedaan ini yang dapat menghasilkan kesenjangan tata nilai di dalam masyarakat, lebih-lebih lagi dalam situasi dimana kompleksitas perubahan itu semakin meluas dan perubahan itu terjadi sangat cepat. Sementara kalau kita sadari perubahan budaya manusia melekat dengan perubahan alam dan jaman. Pada era teknologi suatu masyarakat akan ketinggalan apabila masyarakat itu tidak menerapkan teknologi dalam tatanan hidup mereka. Bahkan teknologi telah terbukti membawa tingkat efisiensi dan kemakmuran masyarakat, karena sifat dari teknologi itu yang pada dasarnya memburu perolehan nilai tambah perubahan budaya itu pada dasarnya adalah untuk adaptasi terhadap perubahan alam dan jaman agar manusia tetap mampu mempertahankan eksistensi hidup mereka. Meskipun kekayaan sumber daya alam bukan faktor penentu terhadap kemajuan suatu masyarakat dibandingkandengan kekayaan sumber daya manusia tetapi semakin berkurangnya daya dukung potensi sumber daya alam dibanding dengan tuntutan kebutuhan manusia yang jumlahnya semakin besar tetap akan berdampak terhadap terjadinya perubahan pola hidup manusia. Apabila produk dan jasa yang menjadi ukuran kekuatan suatu masyarakat potensial bagi masyarakat tertentu, maka mereka itu yang akan mampu menguasai pasar, yang akhirnya merekalah yang akan mampu mempertahankan eksistensi hidup mereka. Akhirnya penguasaan teknologi yang akan menghasilkan unggulan suatu bangsa. Berdasarkan tinjauan di atas, bahwa untuk mempertahankan eksistensi hidup masyarakat tidak dapat terhindar dari penguasaan teknologi, maka unsur kreativitas, unsur kemandirian dalam kebersamaan, unsur produktivitas, menjadi faktor yang sangat penting untuk menaggapi budaya hidup teknologis itu. Berarti pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia kreatif menjadi tuntutan dalam pola pendidikan umum saat ini banyaknya media yang dapat berperan sebagai sumber informasi pendidikan bagi generasi bangsa saat ini, maka konsep pendidikan perlu mengalami pergeseran, pendidikan bukan lagi sebagai usaha yang di sengaja lagi akan tetapi menjadi kondisi apapun yang dampaknya dapat menyebabkan terjadinya perubahan nilai-nilai manusia. Kondisi dalam kehidupan keluarga, kondisi yang terjadi dalam masyarakat luas sebagai panggung pentas budaya bangsa kondisi yang ditampilkan oleh berbagai media baik cetak maupun elektronika, kondisi yang terjadi di sekolah kesemuanya secara bersamasama mewujudkan terjadinya proses pendidikan bagi generasi bangsa kita. Dengan demikian, perubahan ataupun kemajuan pendidikan yang dapat mengubah masa depan sosial masyarakat jika dipandang dari dimensi tuntutan kualitas manusia masa kini dan masa datang maupun dari kondisi pendidikan yang semakin kompleks dan multidimensional itu, maka pendidikan kita telah saatnya lebih banyak memberi kesempatan anak-anak kita mengaktualisasikan diri dalam kondisi yang terkontrol baik dirumah maupun di sekolah untuk mengimbangi kondisi yang tidak terkontrol dalam kehidupan di masyarakat luas yang justru tarik menarik pengaruhnya terhadap proses pendidikan formal semakin besar. Peran pendidikan orang tua dan pendidikan sekolah dituntut semakin besar, apabila kita ingin generasi bangsa kita tidak mengalami pemudaran nilai-nilai budaya bangsa kita yang akan menjalar kepada pemudaran rasa kebangsaan kita, dengan lebih besar memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengaktualisasikan diri mereka masing-masing.

Sabtu, 12 Januari 2013

PERANG SALIB DAN MENGALIRNYA PERADABAN ISLAM DI EROPA oleh: Hanafi elSila, M.Pd.I

PERANG SALIB DAN MENGALIRNYA PERADABAN ISLAM DI EROPA A. Perang Salib Perang salib merupakan sebuah konflik terbesar antar umat Islam yang berkuasa di sebagian eropa, afrika utara dan asia melawan kekuatan kristen yang baru muncul dan baru berkembang yang berusaha merebut kota yerussalem sebagi kota suci kaum kristen. Perang salib itu sendiri berlangsung hampir dua abad (bermula pada tahun 1096 M dan berakhir pada tahun 1291 M). Dalam perang salib wilayah Islam terpecah dalam beberapa wilayaha yaitu; sebelah utara meliputi Khurasan, Persia, Irak, Armenia, Asia kecil yang ikuasai Dinasti saljuk; sebelah selatan meliputi Mesir, Syiria, Palestina, dan termasuk pulo spanyol yang dikuasai Dinasti Fathimiah yang berpusat di Kairo sedangkan dinasti Abbasiyah berpusat di Bagdad. “Begitulah Kehendak Tuhan” sebuah semboyan yang diteriakkan oleh kaum kristen dibawah pimpinan paus untuk menyerang kaum Muslimin yang berakibat merusak hubungan antara dunia timur dan dunia barat. 1. Sebab-Sebab Perang Salib Secara garis besarnya, sebab-sebab perang salib terjadi kerena dua dua faktor, yaitu: sebab internal dan eksternal. Sebab internal maksudnya adala sebab yang berasal dari umat Islam sendiri, diantaranya; kondisi kekuasaan Islam (dinasti saljuk di Asia kecil) pada waktu itu sedang melemah karena mengalami perpecahan dan berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperanan diantara keluarga melemahkan mereka sendiri; dinasti fathimiyah juga dalam keadaan lumpuh; dan kekuasaan Islam di spanyol semakin goyah. Sedangkan sebab-sebab eksternal yaitu sebab-sebab yang berasal dari luar umat Islam, terutama permusuhan dan kebencian umat atau orang-orang kristen terhadap umat Islam. Kebncian orang-orang Kristen semakin menjadi setelah Bait Al-Maqdis pada tahun 471 H dapat direbut oleh dinasti Saljuk dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir, sebab penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan bagi Umat Kristen yang berziarah ke sana dan peraturan tersebut dirasakan sangat memberatkan umat Kristen. 2. Periodesasi perang salib Perang salib merupakan peperangan yang amat dahsyat dan sangat besar kerena memakan waktu yang sangat lama dan melibatkan ratusan ribu tentara Islam dan Kristen. Menurut Philip K. Hitti (orientalis yang menulis buku The History of the Arabs) menyederhanakan periodesasi perang salib dalam tiga periode. Sedangkan Prof . Dr. Hj. Musyrifah Sunanto dalam bukunya “Sejarah Islam Klasik”, membagi periodesasi perang salib tidak kurang dari empat periode. Yang dalam karya ilmiah ini, pemakalah akan menguraikannya secara singkat. a.) Periode pertama (1095-1147 M) Perang salib semula digerkan oleh seorang pendeta peter dari prancis, kemudian didukung oleh paus di Vatikan, oleh raja Kristen di Eropa dan oleh kepala Kristen Ortodox yang berkedudukan di konstantinopel. Paus Urbanus II mengadakan pidato yang berapi-api di Clermont pada tangga 26 November 1095 yang menurut penilaian Prof. Philip K. Hitti “kemungkinan sekali pidato yang paling berkesan di dalam sejarah”. Pidato Paus II, pada periode I perang salib ini menjadi spirit bagi orang-orang Kristen yang menyebabkan negara-negara Kristen mempersiapkan diri untuk penyerbuan dengan berbagai bala bantuannya, gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang semua pihak dan kalangan masyarakat ikut serta dalam penyerbuan tersebut hingga masyarakat yang tidak mempunyai pengalaman berperang. Periode pertama pernag salib ini, juga dinamakan periode penaklukan. Dalam periode pertama ini, orang-orang Kristen Eropa dibawah pimpinan Godfrey mencapai tujuannya yaitu merebut dan menguasai Kota Palestina dengan menduduki Bait Al-Maqdis taggal 15 Juli 1099 M. Dan kemenangannya yang pertama ini kaum Kristen Eropa berhasil mendirikan empat kerajaan yaitu di baitul Maqdis, di Antiochia, di Tripolisia dan di Edessa. Dan ketika itu terjadi pembunuhan massal dan penyembelihan secara basar-besaran. Menurut sejarawan Ibn Atsur tidak kurang dari 70.000 manusia yang menjadi korban. Sebuah operasi pembunuhan massal yang hampir sebanding dengan pembunuhan massal oleh Khulago di Bagdad yang mencapai 750.000 orang, juga hampir bersamaan juga dengan korban pembunuhan dan penyiksaan oleh Ratu Essabella dan Raja Ferdinand di Andalusia yang mencapai angka 340.000 orang lebih. Dari kekalahan itu, kaum muslimin mengalami trauma yang panjang dan katakutan yang tahun-tahun lamanya, hingga akhirnya pada tahun 521 H/1127 M, muncul seorang pahlawan Islam yang masyhur “Imaduddin Zanki” (gubernur dari Mousul) yang berhasil mengalahkan tentara salib di Kota Aleppo dan Humah. b.) Periode perang Salib kedua (1147-1179 M). Menurut penulis, Periode kedua dari perang salib ini, menjadi periode pemenangan besar-besaran bagi kaum Muslimin dibawah dua pimpinan Umat Islam yang masyhur yaitu Nuruddin Zanki (putera Imaduddin Zanki) yang berhasil menahan bahkan mengalahkan kekuatan besar kaum Salibiyah di bawah pimpinan Raja Louis VII dari Prancis, Kaisar Kourad dari Jerman dan Putra Roger dari Sisilia; dan Shalah ad-Din al-Ayyubi yang berhasil mendirikan Dianasti Ayyubiyah di Mesir pada Tahun 1175. Hasil peperangan Shalah ad-Din yag terbesar adalah merebut kembali Yerussalem, kota yang menjadi tujuan tentara Salib. Dengan demikian kerjaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. c.) Periode Perang Salib ketiga (1189-1192 M). Periode ketiga ini merupakan periode yang sangat menegangkan bagi umat Islam karena harus berhadapan dengan tentara Salib III yang kekuatannya sangat besar dibawah pimpinan raja Austria dan Jerman bernama Frederik dengan 200.000 orang tentara, juga pada tahun 1190 dibawah pimpinan Rickard The Lion Hart yang sangat kejam yang berhasil merebut kota Okka. Penyerangan kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qisthi dan pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Kekalahan umat Islam yang berakibat jatuhnya Kota Okka ke tangan Rickard, merupakan kelalaian yang sangat besar dan sangat disesalkan oleh Sultan shalah ad-Din al-Ayyub. Kelalaian tersebut yaitu dengan membiarkan musuh memperkuat diri pada pelabuhan Shour sehingga memudahkan pasukan salabiyah meminta bantuan kepada eropa. Menyadari kelalaian tersebut dengan segera Sultan mengirim utusan ke Magribi untuk meminta bantuan kepada Sultan Ya’kub bin Yusuf bi Abdul Mu’min, raja terbesar dari Daulah Muwahiddin yang menguasai daerah Magribi (Maroko) dan Andalusia Selatan. Namun permintaan bantuan oleh Sultan tersebut di tolak karena Sultan Ya’kub khawatir tentara Eropa berbalik menghantam negara mereka. Dengan demikian tentara salib dapat lewat dengan bebasnya di selat Gibraltar. Berulang kali tentara Salib mencoba merebut kembali Yerussalem dari tangan Kaum Muslimin, namun tidak membuahkan hasil yang baik, oleh karena itu mereka memusatkan penyerangan dan penyerbuan menuju Mesir dan meninggalkan kota-kota yag telah mereka kuasai seperti Kaisariya, Yaffa, dan Asqalan terbuka tanpa perlindungan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Shalahuddin untuk memukul musuh dari belakang, sehingga Shalahuddin dapat merebut Kota Yaffa dan merampas semua pembelakan tentara salib yang ada disana sehingga tentara Salib kalang kabut dan pada saat itu Rickard jatuh sakit dan meminta damai kepada Sultan Shalahuddin. Secara diam-diam Shalahuddin menjadi dokter Arab dan datang ke kemah Rickard untuk megobatiya hingga ia sembuh. Saat itulah shalahuddin mempertunjukkan siapa dirinya. Periode ketiga ini berakhir dengan penyadaran raja Rickard terhadap kebaikan hati dan keberanian musuhnya dan kedua orang raja ini sepakat untuk mengadakan perdamaian yang terjadi pada tahun 1192 M. Dan setahun kemudian Sultan Shalahuddin al-Ayyubi wafat dalam usia 75 tahun. d.) Perang Salib keempat dan seterusnya Berita meninggalnya pahlawa besar (Shalahuddin), dipergunakan oleh Paus Cylensius III untuk menggerakkan tentara Salib ke IV. Namun tentara salib ke IV hingga ke VIII tidak sedahsyat serangan sebelumnya sehingga pada tahun 1292 M tentara Salib dapat terusir dari Timur. 3. Akibat-akibat Perang Salib Peristiwa perang Salib berdampak besar bagi tumbuhnya perdagangan bagi Asia Barat dan Eropa. Meskipun perang salib berakhir menyakitkan bagi orang-orang Kristen Eropa, tetapi membawa pengaruh positif bagi peradaban mereka, bahkan kerena pengaruh kebudayaan dan peradaban yang mereka peroleh dari Timur-Islam menyebabkan munculnya Renaisans di Barat pada abad ke-7 M. Sedangkan bagi pihak Islam, akibat dari perang Salib ini menjadikan kekuatan politik Umat Islam menjadi lemah dan terpecah belah, karena perang Salib terjadi di daerah kekuasaan umat Islam walaupun pada hakikatnya Umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib atau berhasil mengusir tentara Salib dari wilayah Timur. Bahkan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad. B. Mengalirnya Peradaban Islam di Eropa. Peradaban Islam menjadi peradaban yang sangat didambakan dan menjadi target oleh setiap kaum, tidak ketinggalan kaum kafir eropa yang dengan segala cara merebut kekuasaan umat Islam dengan segala peradaban yang telah terbangun. Umat Islam yang telah mencapai puncak kejayaannya (renaisans) di berbagai belahan dunia eropa mengalami masa kemunduran dan berkemelut panjang, dari bentrok atau konflik dalam diri umat Islam sendiri hingga mereka diusir dari tanah air mereka oleh orang-orang kafir eropa dan sekitarnya. Sehingga dapat kita katakana bahwa kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini, merupakan hutang atau hasil rampokannya terhadapa khazanah keilmuan dan peradaban Islam klasik. Bersamaan dengan dikuasainya dunia Islam oleh kaum kafir, umat Islam kehilangan segala yang pernah dimiliki. Namun terjadi sesuatu yang di luar dugaan manusia, ternyata bangsa yang menghancurkan daulah Islamiyah yang berpusat di Bagdad itu, keturunanya justru menjadi pembangun dan pembela agama Islam dan kebudayaannya yang gigih sehingga agama Islam menjadi tumbuh dan berkembang mekar kembali. Demikian juga daerah Andalusia dan Afrika Utara, kebudayaan Islam tidak musnah bahkan mengalir ke Eropa membangun zaman Renaissance Eropa. Paling tidak ada beberapa jalur atau jalan mengalirnya peradaban Islam ke Eropa. Dan berikut ini pemakalah akan menjelaskan beberapa jalur tersebut dan apa saja peradaban Islam yang berhasil menjadikan dan membawa Eropa ke masa kejayaannya atau renaisence. 1. Melalui Andalusia Bermula pada abad ke-11 yaitu sekitar tahun 1085 M, ditandai dengan hilangnya pusat sekolah tinggi dan pusat ilmu pengetahuan Islam beserta segala isinya yang terdiri dari perpustakaan beserta ilmuwan-ilmuwannya, disusul hilangnya Cordova dengan pusat kebudayaan dunia di sebelah Barat beserta Masjid Raya Cordova yang didirikan oleh amir-amir amawiyah Andalusia pada tahun 1236 M oleh raja Alfonso VII dari Castilia. Kehilangan itu terus berlanjut kota demi kota, menyusul sevilla, Malaga dan Granada. Yang akhirnya umat Islam beserta bani Ahmar terakhir, Abu Abdullah harus terusir dari tanah airnya dengan meninggalkan segala bentuk kebudayaanya dan rakyat islam dari penduduk asli Andalus yang dipaksa untuk menjadi Kristen kembali. Penduduk Islam asli Andalusia yang digelari sebagai golongan Muzarobus, yang dalam bahasa Eropanya berubah menjadi Muzareb menjadi pintu utama sekaligus sebagai pelaku mengalirnya ilmu pengetahuan atau peradaban Islam ke Eropa. Peranan kaum Muzarobus menjadi sangat penting dalam kemajuan peradaban Eropa hingga masa kini, kerena orang-orang Eropa pada umumnya takut akan orang Islam, bukan pada Muzarabes walaupun secara keyakinan kaum Muzarabes masih banyak yang muslim. Diantara peradaban Islam yang mengalir di eropa lewat Andalusia ini adalah mengalirnya ilmu-ilmu Islam dalam berbagai bidang, seperti terpakainya bahasa Arab sebagai bahasa keseharian di eropa, sebagaimana yang utarakan Hitti Orang Spanyol Kristen terpesona pada peradaban Islam yang gemilan dan mereka sadar akan kerendahannya dalam bidang seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan sehingga dalam keseharian mereka selalu mencontoh kehidupan orang arab. Di samping peradaban tersebut, di Toledo didirikan Sekolah Tinggi Terjemah untuk mempermudah penyerapan ilmu Arab yang dipimpin oeh Raymond. Dan adapun buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku Arab sisa dari pembakaran, juga buku-buku dari kota Cordova, Sevilla, Malaga dan Granada. Penerjemah-penerjemah Baghdad banyak pindah ke Toledo, terutama yang berasal dari bangsa Yahudi. Dari peradaban Islam tersebut menjadikan Toledo sebagai pusat perkembangan Ilmu Islam ke Dunia Barat. Beberapa orang penerjemah yang terkenal adalah Avendeath yang menyalin buku Astronomi dan Astrologi dalam bahasa Latin dan Gerrard Cremona yang menyalin buku-buku filsafat, matematika dan ilmu kedokteran. 2. Melalui Pulau Sisilia Telah kita ketahui bersama bahwa Sisilia menjadi salah satu daerah atau wilayah kekuasaan Islam yang sangat masyhur dan sangat maju peradabannya. Dalam sejarahnya Sisilia dikusai oleh Islam dengan tiga penguasa besarnya, yaitu Bani Aghlab, Daulah Fatimiyah dan Dinasti Kalbiyah yang berhasil menjadika peradaban Islam menjadi jaya di wilayah tersebut dan berlanjut pada masa awal kekuasaan kerajaan Normandia. Beberapa Peradaban Islam yang berkembang dan mengalir lewat pulau Sisilia ini setelah direbut kembali orang-orang Kristen, yaitu dibangunnya sekolah kedokteran oleh Constantin African di kota Salerno dekat Napals yang merupakan sekolah Tinggi kedokteran yang pertama di Eropa dan merupakan pengembang ilmu kedokteran Islam. Di samping itu Contantin juga mendirikan badan penerjemah yang menerjemahkan buku-buku kedokteran Hunain bin Ishaq, Ali Abbas, dan Al-Razi. Buku Hunain “Sepuluh Masalah Mata” menjadikan nama Contantin menjadi masyhur. Karangan Ali Abbas “Liber Regalis” dan karangan Ar-Razi “Liber Experimenterum” juga diterjemahkan. Dimulai oleh Rober I, pulau Sisilia menjadi pusat peradaban Islam, kendatipun raja ini masih Kristen namun sangat melindungi perdaban Islam sehingga mulai dari gaya pakaiannya hingga bentuk bangunan gedung-gedung memakai corak dan gaya Timur Islam, juga dalam pemerintahan banyak jabatan-jabatan tinggi diduduki oleh ilmuan-ilmuan Islam. Setelah pulau Sisilia berhasil dikuasai oleh kaum Kristen, maka yang menjadikan Eropa berada pada puncak kejayaannya atau renaisence Eropa adalah peradaban Islam yang dimulai dari didirikannya Universitas Napels, yang diantara siswanya adalah Thomas Aquinas seorang pemimpin katolik yang sangat terkenal. Disini Frederik menghimpun naskah-naskah Arab. Buku-buku Aristoteles dan Averoes yang disuruh diterjemahkan, dipergunakan dalam daftar pelajaran. Salinan tersebut juga dikirim ke Universitas Paris dan Bologna. Di samping itu peradaban Islam yang juga memajukan Eropa adalah pabrik tenun yang didirikan di istana Palermo, sebuah pabrik tenun yang membuat pakaian kebesaran istana raja-raja di Eropa yeng berfotifkan huruf Arab. Begitu sempurnanya peradaban Islam ini, hingga suatu masa orang Eropa belum merasa sempurna jika belum memilikinya. Renaissance Eropa ditandai juga dengan banyaknya perguruan tinggi yang di dalamnya terdapat studi-studi Islam, dari Toledo di Andalusia, alumnus pertama adalah Abelard Bath yang kemudian menjadi ahli matematika dan Filiosof inggris termasyhur. Ia juga membawa pengaruh Toledo ke Inggris dengan mendirikan universitas Oxford dan Cambridge. Penjelasan di atas menjadi bukti betapa orang-orang Kristen Eropa sangat berhutang budi kepada Islam walaupun secara liciknya mereka tidak sudi mengakui bahwa kemajuan yang mereka raih merupakan sebuah contekan dari peradaban Islam, disamping pemikiran-pemikiran dan ilmu pengetahuan tersebut, peradaban yang juga sangat berpengaruh bagi kelangsungan dan kejayaan Eropa adalah dibangunnya rumah sakit-rumah sakit Kristen yang mencontoh pada gaya Islam, seperti rumah sakit Eropa yang mencontoh pada rumah sakit Kairo yang didirikan oleh Sultan al-Mashur Qolawun, rumah sakit “San Spirito” yang Multi fungsi yaitu disamping sebagai tempat perawatan orang sakit juga dipakai sebagai tempat kuliah dan praktik mahasiswa ilmu kedokteran Roma. Rumah sakit ini didikrikan oleh Paus Innocent III pada permulaan abad XIII M. rumah sakit “Los Quinze Vingt”, didirikan oleh Louis IX sepulangnya dari perang salib, rumah sakit ini berdiri di Paris dibawah pengaruh pemikiran Ibn Rusyd yang dibawa dari spanyol. Yang sekarang menjadi rumah sakit mata termashur di Eropa. 3. Media Perang Salib. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Perang salib meninggalkan satu hal yang positif bagi orang-orang Kristen Eropa walaupun secara menang kalah mereka kalah. Dari sejarahnya tentara Salib datang ke tanah Suci membawa anggapan bahwa mereka lebih derajatnya dari orang-orang Arab. Namun sesampai mereka disana apa yang mereka saksikan merupakan sebuah peradaban yang sangat tinggi sehingga selama dua abad mereka hidup di Tanah Suci setelah penyerbuan selesai, sedikit demi sedikit mereka beradaptasi dan meniru peradaban Islam. Dari berbagai aspek peradaban Islam mereka ikuti, mulai dari hal terkecil seperti makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, music, alat-alat perang, hingga obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman dan pemerintahan. Bahkan dalam keseharian mereka memakai bahasa Arab, ada yang kawin dengan penduduk asli juga yang tidak kalah pentingnya, banyak yang kemudian menjadi muslim. Banyak cara yang mereka tempuh untuk mengambil peradaban Islam mulai dari mereka mengikutinya secara diam-diam hingga mereka mengambilnya dengan paksa atau denagn cara merampok. Seperti ketika mereka di usir dari Okka, mereka membawa lari segala yang dirapas dari peradaban Islam.

Tafsir Mafatih al-Ghaib KISAH HARUT DAN MARUT

Tafsir Mafatih al-Ghaib KISAH HARUT DAN MARUT oleh: Hanafi elSila BAB I PENDAHULUAN Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Shalwat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW., sang guru dan pembawa obor kemenangan. Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk manusia dan makhluk lainnya di dunia, memiliki mukjizat dan kemuliaan tersendiri dan selalu menjadi rujukan pertama dan utama dalam penetapan hukum di dunia Islam, oleh karena itu Al-Qur’an merupakan kitab yang elastis dan sesuai dengan zaman. Dari penjelasan di atas maka mau tidak mau kita harus menafsirkan al-Qur’an dengan melihat teks dan konteks suatu zaman. Dalam sejarah manusia dengan peradaban Islam, Islam memeiliki masa kejayaan (abad VIII – XIII), dalam tempo beberapa abad tersebut Islam melahirkan banyak peradaban, para ulama dunia hingga para mufassir-mufassir yang begitu handal dalam menjelaskan Al-Qur’an. Syaikh Fakhrurrazi merupakan salah seorang mufassir yang begitu terkenal dalam dunia Islam dan menjadi salah satu Tokoh terbesar Islam sapanjang sejarah. Dari latar belakang hidupnya yang begitu haus dengan ilmu sehingga separoh hidupnya beliau wakafkan sebagai seorang pengembara (mencari ilmu) dan berda’wah dan menulis. Diantara obyek yang menjadi tulisan beliau adalah masalah fiqh, ushul fiqh, filsafat, dan juga tafsir, sehingga melahirkan sebuah karangan yang begitu spektakuler yaitu Tafsir Mafatih Al-Ghaib. Bagaimana pandangan beliau tentang kisah dua malaikat Harut dan Marut yang ditunkan di Babilonia dan merupakan kisah Israiliat dalam tafsirannya? Kita akan membahasnya dalam bab berikutnya. Semoga kisah ini dan pandangan Syaikh Fakhrurrazi tentang kisah tersebut dapat menjadi pelajaran bagi kita dan menambah khazanah keilmuan kita juga menjadi rujukan kita dalam dakwah Islam yang kita sampaikan kepada masyarakat umum. BAB II PEMBAHASAN A. Pengenalan Kitab Biografi Penulis Dan Sekilas Tentang Bukti Fisik Kitabnya Imam Fakhrurrazi memiliki nama asli Muhammad bin Umar bin Hasan Al-Bakri, yang biasa dipanggil dengan Abu Abudullah dan dijuluki dengan Fakhrurrazi. Beliau dilahirkan di kota Raz pada tahun 554 H. karena dilahirkan di Desa Raz maka disebut Razi, baliau bernasab Quraisy asalnya dari Tabrastani. dari sumber asli (kitab asli), beliau memiliki atau memakai nama Muhammad Ar-Razi Fakhruddin Ibnu Al-‘Allamah Diya Uddin ‘Umar, beliau terkenal dengan tulisannya Al-Musytahir bi Khatiibin Ar-Ray. Dalam himpunan kitab-kitab Al-Maktabah Asy-Syamilah disebutkan nama aslinya adalah Fakhruddin Muhammad bin Umar at-Tamimi ar-Razi as-Syafi’i. Al-Razi merupakan nisbah kepada tempat kelahirannya yaitu al-Razy. Beliau juga dinisbatkan kepada as-Syafi’I karena selain bermazhab Syafi’I di dalam fikihnya, iapun salah seorang ulama yang tercantum dalam al-Thabaqat al-Syafi’iyyah dan ini menandakan bahwa beliau adalah merupakan seorang ulama basar mazhabsyafi’i. Dalam hidupnya beliau sangat sibuk dengan pendidikan atau menuntut ilmu, beliau sibuk dengan studi ilmu kalam, hikmah, falsafah, fiqh, ushul fiqh, tafsir, adab, bahasa, falak dan hadis. Semua dikuasai dan ditulis. Dia mangajar dan mengawasi serta memberikan nasehat dengan dua bahasa yaitu bahasa Arab dan bahasa Prancis. Dalam memberikan nasehat beliau sangat menjiwai sehingga banyak jamaahnya menangis terharu bersamanya. Imam Fakhrurrazi memperoleh kedudukan tinggi dalam dunia hukum, baik oleh para hakim maupun terdakwa. Disamping itu beliaujuga mendirikan majelis ta’limdengan para tokoh, raja, pimpinan, menteri, pejabat pemerintah, kaum fakir miskin dan rakyat umum.banyak orang yang mendapatkan petunjuk dari nasehat baliau dan kembali kejalan petunjuk. Beliau mengisi hidupnya dengan pendidikan dan berkeliling ke Khawarizm, negari timur, Khurasan, dan menetap di Harah. Dalam hal pembaharuan dan sumbangsih pemikiran, terkenal pada masa baliau yaitu menyatukan antara dalail nash, logika dan realita menjadi satu argumentasi yang tidak dapat dipisahkan. Disamping itu semua, Imam Fakhrurrazi juga banyak mengarang kitab-kitab, yaitu diantaranya: Al-Mathalib Al-Aliyah dalam ilmu kalam, Al-Mahsul Fi Ilmi Al-Usul dalam ilmu Ushul Fiqh, Syarah Al-Mufashil Li Al-Zamakhsyari dalam ilmu nahwu, Sarh Al-Wajiz Li Al-Ghazali dalam ilmu fikih, Ta’zil Al-Falasifah dalam ilmu filsafat dan yang kita kenal bersama karya beliau yang begitu tersohor ke segala penjuru dunia dalam ilmu tafsir yaitu Tafsir Al-Qur’an Mafatih Al-Ghaib. Imam Fakhrurrazi mangahiri hayatnya (wafat) di Harah pada tahun 606 H. Kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib ini terdiri dari 15 jilid yang terkumpul di dalamnya 32 Juz penerbit Darul Fikru, 1985 M / 1405 H.. B. Metodologi Penafsiran Dalam menafsirkan ayat dalam al-Qur’an, Imam Fakhrurrazi menggukan metodologi sebagai berikut: 1. tahlili atau ilmi 2. menghimpun beberapa pendapat ulam tafsir dari kalngan sahabat maupun setelahnya 3. mengutamakan nasabah antar surat dengan yang lainnya berdasarkan hikmah , membehas secara detail tentang ayat-ayat kauniyah yang dihubungkan dengan kalam tauhid aqliyah 4. membutuhkan banyak pendapat filodof kalam setelah beliau menyaringnya telah merujuk pada kitab-kitab hadis 5. bila beliau menyebut nam tentang hokum, beliau menyebutkan semua pendapat imam mazhab, namun lebih mentarjih pada mazhab syafii 6. menggunakan fiqh, ushul fiqh, nahwu dan balaghah serta syair 7. menampilkan pendapat mu'tazilah karakteristik penafsiran beliau adalah tafsir ilmiah atau bercorak sanstis dan pemikiran. Ciri-ciri tafsir Mafatih Al-Ghaib adalah sebagai berikut: a. Menguraikan pendapatpendapat para ahli filsafat b. Uraian pendapat-pendapat teolog c. Uraian alasan-alasan penagnut mu'tazilah dan as-ariyah C. Penafsiran Ayat وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ “Dan mereka mengikuti apa[76] yang dibaca oleh syaitan-syaitan[77] pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat[78] di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya[79]. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.” Riwayat Israiliat dalam kisah Harut dan Marut Banyak ilmuan yang meriwayatkan kisah Harut dan Marut dalam versi israiliat. Para Mufasir mengambil riwayat itu sebagai nara sumber, dimana versi israiliat ini sangat menakjubkan sehingga mereka menjadikannya sebagai referensi dalam tafsir-tafsir mereka, bahkan mereka menafsirkan kalam Allah dengannya. Berikut ini, penulis akan menguraikan secara singkat kisah Harut dan Marut dengan versi Israiliat. Para malaikat menghalang-halangi dipilihnya manusia untuk menjadi Kahlifah di muka bumi dan mengutamakan manusia yang beriman di atas derajat malaikat. Allah menerangkan kepada mereka bahwa derajat manusia yang beriman lebih tinggi dari derajat malaikat dikarenakan pada manusia terdapat syahwatd an kecenderungan untuk berbuat maksiat, tapi dia sungguh-sungguh mengendalikan nafsunya dan menahan hingga dia dapat beristiqomah dalam ketaatan kepada Allah SWT. Maka mereka (malaikat-malaikat) berkata: “jika engkau jadikan syahwat dalam diri kami maka kami tidak akan berbuat maksiat.” Maka dipilihlah dua malaikat diantara mereka untuk menjalani ujian itu, yaitu Harut dan Marut. Allah mejadikan syahwat dalam diri mereka lalu mereka diturunkan ke bumi dan Allah melarang mereka berbuat keji dan maksiat. Akhirnya turunlah mereka di kota Babil dan mereka beribadah kepada Allah SWT. hingga suatu hari mereka melihat wanita yang begitu cantik di kota itu, bahkan mngkin dialah yang tercantik. Maka terbersitlah dalam hati keduanya hasrat dan keinginan terhadap wanita itu. Mereka merayu wanita tersebut yang belum menjawab saat pertama kalinya, tapi wanita itu memberikan pilihan kepada mereka antara meyembah berhala, membunuh anak kecil, atau meminum khamar sebelum mereka mereka memiliki wanita yang sangat cantik itu. Maka berkatalah mereka, “menyembah berhala adalah perbuatan kufur dan dosa besar, membunuh anak kecil merupakan dan termasuk dosa besar, sedangkan minum khamar hanyalah dosa kecil.” Maka mereka memilih meminum khamar. Setealah meminum khamar itu, mereka pun mabuk, akibatnya mereka lalu membunuh anak kecil dan menyembah berhala. Kemudian terjerumuslah mereka ke dalam kekejian bersama wanita itu. Maka dicabutlah ismul a’dzam’ sifat kemalaikatan dari mereka yang dahulunya dengan asma itu mereka dapat naik dan terbang ke langit. Kemudian Allah mengubah wanita itu di udara hingga menjadi bintang yang terang yang dikenal dengan nama az-Zahrah, sebuah bintang yang beredar yang merupakn salah satu dari kumpulan bintang-bintang di sekitar matahari. Adapun Harut dan Marut, Allah murka kepada mereka karena mereka terjerumus ke dalam dosa, lalu memberikan pilihan antara azab di dunia dan azab di akhirat. Maka mereka memilih azab di dunia karena azab di dunia hanyalah sementara dan mereka bisa selamat pada hari kiamat nanti. Kemudian digantunglah mereka di angkasa Babil, yaitu antar lngit dan bumi. Mereka tergantung di sana sejak saat itu sampai hari kiamat. Pada ayat “Wamaa Unzila ‘Alal Malakaini Bibaabila Haruta Wa Maruut”, terdapat beberapa masalah : Masalah pertama: Kata “MAA” pada ayat di atas terdapat dua pendapat: Wajah Pertama “Ma” bararti yang, kemudian memiliki tiga makna yang berbeda: 1. Sebagai ataf dari kata sihir yang berarti mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan mereka mangajarkan kepada manusia suatu yang diturunkan juga atas dua malaikat. 2. Merupakn ataf dari firman Allah “Maa Tatlusyayatin” atau “Wattabau Maa Tatlu Syayathin”…….atas raja sulaiman dan apa yang diturunkan atas dua malaikat karena sesungguhnya sihir dari adalah perbuatan kufur dan dia sihir yang dibacakan oleh syaithan-syaithan kepada-nya. Dan darinya memberikan pengaruh kepadanya dan pemisahan antara suami dan istri dan itulah yang diturunkan kepada kedua malaikat itu. Maka oleh karena itu Allah SWT. mengabarkan dari pada orang Yahudi bahwa sesungguhnya mereka orang-orang Yahudi mengikuti dua perkara dan tidak membatasi diri terhadap salah satu diantaranya. 3. Bahwa kedudukan “Maa” sebagai Jar Ataf dari kata “Mulki Sulaiman” dan adapun arti sebenarnya “Yang dibaca oleh syaitan-syaitan[77] pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat”. Dan itu merupakan ikhtiar Abi Muslim ra. Dan mengingkari pada malaikat yang membuat sihir yang turun bersama mereka berdua, menolak dengan argumen. 1. Sesungguhnya apabila sihir itu turun atas kedua malaikat maka yang menurunkannya adalah Allah ta’ala, dan itu tidak boleh karena sihir merupakan suatu kekufuran, kebathilan, dan itu tidak ada andil Allah dalam proses penurunan itu. 2. Dan adapun firman Allah “Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia” itu menunjukkan bahwa mempelajari sihir itu merupakan kekufuran. Seandainya-pun Malaikat yang mengajarinya (sihir) mereka juga tetap kufur dan itu hal yang bahtil. 3. Seperti tidak mungkinnya para Nabi diutus untuk mengajarkan sihir maka seperti itu juga pada malaikat pada pengertian yang pertama. 4. Bahwa sesungguhnya sihir tidak bergabung kecuali kepada kekafiran dan kefasikan dan pada syaithan-syaithan….dan bagaimana hal itu disandarkan kepada Allah sedangkan Allah melarangnya dan menjanjikan atasnya siksaan? Dan apakah sihir kecuali kebathilan….dan sungguh bertolak belakang dengan kehendak Allah yang membatalkan sihir tersebut sebagaimana firmannya pada kisah Musa AS. “Maa Ji’tum Bi Sihru Innallaha Sayubthiluhu” kemudian Abu Muslim ra. Memasuki pada penjelasan tafsir ayat yang lain yang berbeda dengan perkataan para Mufassir yang lain. Beliau berkata sebagimana bahwa sesungguhnya para syaithan itu membacakan sihir kepada sulaiman, bersamaan dengan bacaan itu sesungguhnya sulaiman terbebas dari bacaan sihir itu. Maka begitu juga kapada kedua malaikat itu, mereka terbebas dari bacaan sihir itu. Dan sesungguhnya yang diturunkan atas dua Malaikat itu adalah syariat dan agama dan doa untuk kebaikan dan sesungguhnya itulah yang diajarkan oleh kedua Malaikat itu kepada manusia. Sebagaimana perkataan mereka berdua "Sesungguhnya kami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Sebagai penguat untuk diterima dan pegangan atas diutusnya mereka, dan ada pengikut yang berpegang teguh, sedang yang lain menolak dan menyimpang dari itu, dan mereka mempelajari dari keduanya (fitnah dan kufur) dengan ukuran apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Maka ini adalah keterangan dari mazhab Abi Muslim. Wajah Kedua: mengatakan “MAA” tersebut berarti pengingkaran dan menjadi Ma’tuf dari ayat “Wamaa Kafara Sulaiman” seperti halnya tidak kafir Sulaiman dan seperti itu juga tidak diturunkannya sihir atas kedua malaikat tersebut. Karena sesungguhnya ahli sihir cenderung sihir kepada Sulaiman dan berdalih bahwa sesungguhnya sihir itu diturunkan dua Malaikat di Babil yaitu Harut dan Marut. Maka Allah menjauhkan diri atas mereka dengan dua perkataan dan firman-Nya “sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun”. Menjadi bantahan juga artinya mereka berdua tidak mangajarakan tetapi mereka berdua melarang dengan tegas. Makna “Hatta Yakula Inna Nahnu Fitnatun Falaa Takfur” yaitu fitnah berarti cobaan seperti kata imtihan dan fala takfur tidak menyuruh untuk melakukan sesuatu atau apabila kamu melakukan sesuatu atau aku tidak menyuruh melakukan sesuatu tapi aku malarangnya. Wajah yang pertama adalah perkatan yang lebih benar. Kalau dikatakan sihir itu turun kepada keduanya maka yang menurunkan sihir itu adalah Allah Ta’ala. Pendapat kedua: bahwa mempelajari sihir adalah kufur seperti firman Allah “Walaa Kinna Syayathina Kafaru Yu’alllimuunannasa Shihra” Masalah kedua: Hasan membaca Malakain dengan Kasrah Lam yaitu Malikain seperti yang diriwayatkan oleh Ad-Dhihak dan Ibnu Abbas. Hasan berkata dua orang itu adalah dua orang jahat dan kuat yang berada di Babil yang mengajarkan sihir kapada manusia, ada juga yang mengatakan dua orang itu adalah dua orang Raja yang sholeh. Dan adapun bacaan yang lebih mashur yaitu dengan Fatah “Laam” yang berarti dua Malaikat yang turun dari langit bernama Harut dan Marut, ada yang mangatakan dua malaikat itu adalah Jibril dan Mikail dan ada juga yang mangatakan bukan Jibril dan Mikail. Yang mangatakan dengan Kasrah Lam, memiliki beberapa alasan Yaitu: 1. Sesungguhnya tidak dapat diterima kalau malaikat itu mangajarkan sihir 2. Bagaimana mungkin diturunkan dua Malaikat sedangkan firman Allah dan kalau kami turunkan (kepadanya) Malaikat, tentulah selesai urusan itu, Kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun). 3. seandainya diturunkan kedua malaikat Masalah katiga: Perbedaan pada Sabab Nuzul ayat: Riwayat Ibnu Abbas: sebabnya adalah karena bantahan dari Malaikat terhadap rencana penciptaan adam AS. Maka dijadikan dan diuji dua Malaikat yaitu Malaikat Harut dan Marut. Riwayat ibnu Abbas sama dengan riwayat israiliyat yang telah dipaparkan di atas. Imam Fakhrurrazi mengatakan Riwayat Ibnu Abbas dikatakan rusak, ditolak dan tidak diterima karena tidak ada ayat Allah yang memperkuat hal itu bahkan ada bebarapa hal yang membatalkannya (riwayat itu) yaitu Pertama; tidak ada dalil yang mengatakan bahwa Malaikat melakukan maksiat, Kedua; adapun perkataan memilih azab dunia dan azab akhirat adalah salah akan tetapi yang dipilih adalah antara taubat dan azab. Masalah keempat: Sebagian ahli tafsir mengatak Kisah ini terjadi pada zaman Idris AS. Karena apabila dua Malaikat itu turun dengan sosok manusia dan memiliki tujuan, maka harus ada seorang Rasul pada saat itu untuk menjadikan utusan itu sebagai mukjizat baginya. Dan tidak mungkin dua orang itu adalah dua orang Rasul karena sesungguhnya Allah tidak mengutus Rasul kepada manusia dengan sosok malaikat. Masalah kelima: Harut dan marut merupakan penjelas dari kata Malakain. Kata “Wama Yauallaimani Min Ahadin Hatta Yakuula Innamaa Nahnu Fitnatun Falaatakfur” maka ketahuilah bahwa Allah menjelaskan keadaan keduanya itu adalah kadua Malaikat itu tidak mengajarkan sihir kecuali larangan keras untuk melakukannya yaitu dengan perkataan mereka berdua itu “sesungguhnya kami ini adalah cobaan maka janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dari kata fitnah dari ayat tersebut adalah intruksi dan peringatan kepada orang-orang yang melakukan maksiat, sebagaimana kami menjelaskan bahwa sesungguhnya untuk memperbaiki pemahaman mereka tentang diutuskan dua Malaikat itu untuk mengajarkan sihir, maksudnya bahwa dua Malaikat itu tidak pernah mengajarkan sihir kepada seseorang-pun dan sifat-sifatnya. Adapun firman Allah “Fayata’allamuuna Minhuma Maa Yufarrikunabihi Bainal Mar’i Wazaujihi” Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Terdapat beberapa masalah: Masalah pertama; mereka mengatakan didalam tafsir ini (Pemisahan) tersebut, bahwa ada dua pendapat yang berbeda: 1. Bahwa pemisahan yang dimaksud adalah pemisahan akan terjadi jikalau diyakini bahwa sihir dapat memisahkan dan apabila diyakini maka akan menjadi kafir dan apabila kafir maka akan menjadi pemisah diantara keduanya. 2. Sesungguhnya…. Masalah kedua: Sesungguhnya Allah tidak menyebutkan hal itu karena sesungguhnya orang-orang yang mempelajari sihir bukan dari Malaikat kecuali atas kehendak dia. Sihir yang disebutkan tersebut hanya sebagai peringatan atas semua sihir-sihir. Adapun firman Allah “Wamahum Bi Dhoorina Bihi Min Ahadin” dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun. Sesungguhnya manunjukkan atas talak darurat dan bukan maksudnya untuk memisahkan antar suami dan isteri. Adapun firman Allah “Illa Bi Iznillah”. maka sesungguhnya izin itu pada hakikatnya dalam perintah dan Allah tidak menyuruh untuk melakukan sihir. Adapun firman Allah “Wayata’allamuna Ma Yadurruhum Wala Yanfauhum...ila akhir” dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Terdapat beberapa masalah: Masalah Pertama: bahwa kata Istiara dengan maksud meminjamkan sesuatu. Dan memiliki beberapa wajah: Pertama; Mereka membuang kitab Allah ke balakang punggung mereka dan mangambil apa-apa yang dikatakan oleh syaithan dan mereka membeli atau menukar sihir dengan kitab Allah. Kedua ; sesungguhnya kedua Malaikat itu, jikalau mereka bermaksud mengajarkan sihir untuk menjaga diri supaya dengan itu mendapatkan manfaat akhirat, maka ketika orang-orang menggunakan sihir itu seakan-akan mereka telah membeli keutaman akhirat dengan manfaat dunia. Masalah kedua: Jumhur Ulama mengatakan Al-Khalaq, berarti bagian (an-Nasib) “Laukanu Ya’lamun” merupakan jawab dari wajah-wajah atau pendapat-penadapat. Pendapat para ulama tentang kisah Harut dan Marut Telah kita ketahui bersama bahwasanya kisah Harut dan Marut merupakan kisah israiliat yang sama sekali tidak memiliki rujukan dari hadis-hadis yang shohih dari Rasulullah SAW., dan begitupun para ulama dan mufasirin menolak kisah ini dilihat dari versinya orang yahudi. Di bawah ini penulis akan memaparkan komentar dari para ulama mufassirin. Ulama-ulama peneliti menolak kisah itu dan menganggapnya batil dari segi sanad dan maknanya. Ibnu Katsir berkata setelah menolak riwayat itu, “kisah Harut dan Marut ii telah diriwayatkan oleh banyak orang dari kalangan Tabi’in, seperti Mujahid As-Sudai, Hasan Al-Bashri, Qatadah, Ubai Al-A’liyah, az-Zuhri, Al-Rabi bin Anas, dan Muttaqin bin Hayyan serta yang lainnya, juga sekelompok Imam dari kalanganMufassir yang terdahulu dan yang kontemporer ikut mengomentarinya. Dan hasilnya, ternyata perincian kisah ini bersumber dari berita-berita keturunan Yahudi, yang didalamnya tidak ada satu-pun Hadis yang Marfu’ dan Shahih yang bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW. Imam pengamat Ahmad Muhammad Syakir mengatakan tentang versi Israil itu dalamtiga tempat berikut: 1. Dalam penegasannya terhadap banyaknya riwayat yang dikemukakan Imam At-Thabari, dimana beliau berkata, “Berita-berita dalam kisah Harut dan Marut dan cerita bahwa sesungguhnya ada seorang wanita lalu diubah rupanya menjadi bintang adalah berita yang diilatkan oleh ahli ilmu dengan hadis.” 2. Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsir yang dinamakan Umdatut-Tafsir ‘ainil-Hafidz Ibnu Katsir, dia mengaitkan sanad riwayat-riwayat yang dikemukakan Ibnu Katsir dengan apa yang termaktub dalamkisah itu. 3. Dalam penjelasan dan pengamatannya terhadap musnad Imam Ahmad bin Hambal, dalam sanadnya sebuah hadis marfu’ dari Ibnu Umar ra. dan itulah yang menyebabkan sebagian dari mereka (ulama) menganggapnya benar. Ahmad Syakir mengomentari dengan panjang lebar tentang hadis tersebut yaitu hadis nomor 6178 dari sanadnya, dimana ia menjelaskan celaan ulam terhadap Rijalus sanad dan sanad-sanad lainnya yang serupa seperti apa yang pernah ia katakan tentang hadis tersebut dari segi arti dan keasingannya, juga dari segi kemungkarannya. Sayyid Quthb juga menjelaskan bahwa tentang cerita dua malaikat ini, tidak ada satu riwayat-pun yang benar dan dapat dipercaya. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa turunnya Dua Malaikat itu karena ada kepentingan dengan sihir dan penyihir yang tujuannya adalah untuk melenyapkan sihir dari orang-orang yahudi dan segala ketakutan yang melekat pada jiwa manusia yang disebabkan sihir itu. Dan beliau mengatakan sesungguhnya sihir itu tidak dapat mencelakai seseorang dan tidak dapat memberikan manfaat kepada orang lain kecuali dengan izin Allah semata. D. Analisan Penulis Setelah menerjemahkan dan memahami tafsiran Imam Fakhrurrazi tentang ayat yang menceritakan kisah dua malaikat yang turun ke bumi yaitu Harut dan Marut, maka penulis dapat menganalisa dari berbagai segi dan pandangan yaitu mulai dari menganalisa tentang pengarang kitab, corak penafsiran, tafsiran ayat dan lain-lain. Saya melihat bahwa Imam Fakhrurrazi merupakan seorang ulama yang bakan saja ahli dalam bidang tafsir, akan tetapi beliau juga lihai dalam memahami ilmu-ilmu yang lainnya seperti ilmu filsafat, ilmu fikih, balagah, ushul fikih, syair dan lain-lain. Dalam menafsirkan ayat beliau sering kali menggunakan penafsiran ayat dengan ayat, dengan hadis rasul, pendapat para sahabat dan ulama juga pendapat beliau sendiri artinya dapat dikatakan bahwa tafsir yang dibangun oleh Imam fakhrurrazi merupakan tafsir yang bercorak gabungan antara bil ma’tsur dan bil ra’yi dengan pendekatan bahasa (nahwu), syair arab kuno, perbedaan bacaan Qira’at, asbabun nuzul ayat. Sehingga tafsir yang beliau bangun memiliki corak ilmi. Sejauh yang saya pahami bahwa bahasa yang Imam Fakhrurrazi tawarkan dalam tafsirnya relatif mudah dan simpel juga beliau sering sekali menggunakan metode mahiyah atau devinitif. Juga dalam menafsirkan ayat belai sangat hati-hati dan hal ini mungkin sedikit tidak ada terpengaruh dari mazhab yang belaiu anut yaitu mazhab Syafi’i. Dalam kaitannya dengan ayat 102 surat Al-Baqarah ini, penulis sependapat dengan Imam Sayyid Qutb bahwa hal yang melatarbelakangi diturunkannya dua malaikat yaitu Harut dan Marut adalah masalah sihir dan penyihir yaitu dengan tujuan melenyapkan penyihir dan menghilangkan rasa takut yang tertanam dalam diri manusia ketika itu terhadap sihir. Dan sangat sepakat sekali dengan Imam Fakhrurrazi yang mengatakan bahwa tidak mungkin Malaikat turun untuk mengajarkan sihir kepada manusia kerena yang mengajari dan mempelajari sihir adalah kufur. Hal ini dapat kita analisa dari dalil-dalil sebagai berikut: 1. Penafian sulaiman dari perbuatan sihir dengan ungkapan “padahal Sulaiman tidak kafir”, berarti bahwa sulaiman tidak termasuk tukang sihir dan dia tidak mengajrkan sihir. Jadi ayat ini menegaskan bahwa ada kaitan atau ikatan antara penyihir dan sihir itu sendiri yaitu sama-sama dihukumi dengan kufur. 2. Penegasan ayat “sesungguhnya setan-setan itu telah kafir karena mereka mengajarkan sihir kepada manusia”. 3. Penolakkan oleh dua malaikat “sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang pun sebelum mengatakan: “sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu. Oleh karena itu janganlah kaian kafir”. 4. Rasulullah SAW. menyebut sihir sebagai kekufuran dan menganggap orang-orang yang membenarkan peramal dan dukun sebagai orang-orang kafir. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai kesimpulan dari makalah atau karya ilmiah ini, bahwa Syaikh Fakhrurazi dalam menafsirkan ayat tentang kisah Harut dan Marut sangat hati-hati sekali terutama dalam menilai kisah tersebut dari kaca mata israiliat, hingga dalam penafsirannya beliau menolak kisah tersebut dari riwayat Ibnu Abbas yang dipandang lebih cenderung israiliat dengan megatakan riwayat ibnu Abbas merupakan riwayat yang rusak, ditolak dan tidak boleh diterima. Beliau mengomentari bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sihir orang-orang yahudi dan mengatakan bahwa bukan bagian dari malaikat yang mengajarkan sihir kepada manusia. Dalam pandangan Syaikh Fakhrurrazi, kisah Harut dan Marut terjadi pada zamannya Nabi Idris AS. di wilayah Kota Babil di Irak dan menjadi mu’jizat bagi Rasul ketika itu sebab Allah tidak mungkin menurukan Rasul dari jenis Malaikat. Menurut Imam Fakhrurrazi juga, bahwa sihir tidak dapat memberikan mudharat dan manfaat kepada seseorang, mempelajari sihir adalah pekerjaan yang kufur dan orang merupakan orang yang kafirjuga. Allah tidak menyuruh hamba-Nya untuk melakukan sihir. B. Saran dan Penutup Sebagai rangkaian terakhir dari tulisan ini, penulis menyarankan kepada pembaca untuk selalu menggali lebih dalam lagi masalah tafsir ayat ini, karena ayat ini merupakan ayat yang banyak malahirkan kontroversi antara ulama terdahulu, juga saya mohon maaf karena dalam menjelaskan tafsiran ayat tersebut masih banyak kekurangan dan membutuhkan saran dan kritik dari semua pihak yang bersifat membangun. Sekian dan terima kasih. Wallahu a’lam.
PENTINGNYA ILMU DAN AMAL Oleh:Hanafi el-Sila “Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat”, itulah hadist Nabi SAW yang mewajibkan kepada ummat manusia untuk selalu menuntut ilmu. Allah Ta’ala berfirman “Niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al Mujadilah : Ayat 11). Rasulullah SAW bersabda, “Manusia yang paling utama adalah orang mukmin yang alim dan bermanfaat jika dibutuhkan, jika ia tidak dibutuhkan maka iapun mencukupi dirinya”. Al Qur’an dan Al Hadist banyak sekali memerintahkan pada kita semua untuk menuntut ilmu juga menerangkan keutamaan-keutamaan orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mu’adz Bin Jabal berkata, “Belajarlah ilmu, karena mempelajari ilmu karena Allah adalah kebaikan dan menuntut ilmu adalah ibadah pengkajiannya adalah seperti tasbih, penyelidikannya seperti jihad, pengajarannya adalah sedekah, dan pemberiannya kepada ahliyah adalah pendekatan diri kepada Allah. Ilmu adalah penghibur dikala kesepian, teman diwaktu menyendiri, dan petunjuk dikala waktu senang dan susah, ia adalah pembantu dan teman yang baik dan penerang jalan ke surga”. Lebih daripada itu islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari dengan jalan menyampaikan dan mengajarkannya kepada orang lain serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari karena pada hakikatnya amalan itulah yang akan mengangkat derajat kita dihadapan ALLAH dan makhluq-Nya. Nabi SAW selalu mendorong umatnya agar selalu menyebarkan kebaikan dan ilmu kepada orang sesudahnya supaya kebodohan tidak terjangkit pada diri manusia, Beliau bersabda,” sampaikanlah dariku walau satu ayat” (H.R. Bukhari) KEWAJIBAN MENGAMALKAN ILMU Dari penjabaran di atas jelas bahwa Islam sangat mennuntut umatnya untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya demi kemaslahatan ummat. Akn tetapi sangat buruk akibatnya bila mana ilmu itu tidak diamalkan atau penyalahgunaan ilmu tersebut atau pengamalannya bertentangan dengan anjuran syariat, kalau hal ini terjadi maka ilmu teoritis seperti ini termasukm ilmunm yang tidak di ridhoi oleh Allah. Sesungguhnya ilmu yang haq adalah ilmu yang dapat menerangi jiwa pemiliknya, bersenyawa dengannya. Sehingga yang jauh menjadi dekat, yang gelap menjadi dekat, yang gelap menjadi terang, menjadi pengobat bagi jiwa-jiwa yang sakit. Dari Jabir Rasulullah SAW bersabda “ilmu itu ada dua : Ilmu yang meresap dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu yang hanya dilisan, itulah murka Allah atas manusia”. Pertanyaannya adalah mana kategori ilmu yang diridhoi Allah dan mana kategori ilmu yang dimurkai Allah ? di atas telah dijelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa yang menjadikan pemiliknya bermanfaat bagi orang lain ketika ia dibutuhkan dan ketika ia tidak dibutuhkan maka ilmu itu mencukupi dirinya, akan tetapi ilmu yang akan dimurkai Allah adalah bukan hanya ilmu yang bisa mencelakakan manusia lain seperti ilmu sihir, santet, dan lain-lain. Akan tetapi, juga ilmu yang pada dasarnya baik hanya saja ia tidak bermanfaat bagi orang lain dengan kata lain ia adalah ilmu yang hanya dibawa-bawa, tak ubahnya seperti orang-orang yahudi yang “membawa-bawa” Taurat untuk bicara tanpa membawanya dalam berbuat dan bertindak. Mereka itu adalah golongan orang-orang yang diancam oleh Allah SWT dalam Al Qur’an, “Perumpamaan orang-orang yang membawa-membawa Taurat, kemudian tidak mengamalkannya Tak ubahnya dengan HIMAR yang membawa sekumpulan kitab di punggungnya” (QS. AL Jumuah : ayat 5). Begitulah perumpamaan Allah atas orang-orang yang tidak merealisasikan pengetahuannya yaitu bagaikan HIMAR yang membawa-bawa sekumpulan kitab di punggungnya yang tidak sedikitpun dia mengetahui apa isi kitab yang dibawanya. Lebih lanjut lagi Allah SWT melaknat orang-orang yang berilmu, tapi ia tidak mengamalkan ilmunya dalam Qs. Ashaff ayat 2-3. Allah SWT berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak kerjakan?. Itu sangat lah dibenci di sisi Allah, jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Nabi SAW mengingatkan pada kita semua yang memiliki ilmu agar kita bangun dan sadar untuk mengamalkan ilmu mkita dijalan Allah karena sesungguhnya ilmu yang tidak diamalkan itu hanya akan memperberat siksa yang akan ditimpakan kepadanya. “seberat-berat siksa pada hari kiamat nanti, “kata Nabi SAW, “adalah ilmuwan dan cerdik pandai yang tidak menabur nilai manfaat dengan ilmunya”. Ilmu disini adalah bukan sebatas hanya latihan berargumen dan olah otak semata, lebih dari itu ilmu yang dimaksud adalah pengetahuan dan pengamalan ilmu tersebut dalam setiap gerak hidup di setiap tempat dan waktu. Disitulah ilmu akan menuai makna dan itulah hakekat ilmu yang dikehendaki Allah ta’ala. Sesungguhnya eksistensi kedirian kita itu ditentukan oleh amal perbuatan kita. Sejarah membuktikan orang yang namanya harum di dunia ini adalah orang yang membangun eksistensi kediriannya di atas amal baiknya, sebagai contoh terbesar adalah Rasulullah SAW tauladan kita, beliau penyebar kedamaian dan kearifan di muka bumi ini, beliau dikenal sebagai orang nomor satu di dunia ini karena akhlak dan keteladanan beliau, subhannallah… semoga salam dan shalawat selalu tercurahkan atas beliau, keluarga dan sahabatnya, juga semoga kita termasuk ummat beliau yang selalu istiqomah dalam melaksanakan sunnah-sunnahnya dan mendapatkan syafaat dari belaiu kelak di hari kiamat AMIN… Bila DESCARTES mengatakan ”Aku berpikir, maka aku ada”, maka kita harus membuat semboyan baru “Aku beramal, maka aku ada”, sebab keberadaan kita tidak hanya ditentukan oleh pikiran kita tapi lebih dari itu keberadaan kita ditentukan oleh amal berbuatan kita. Siapa yang menabur dosa, akan menuai siksa, dan siapa yang menabur maksiat akan menuai laknat, tapi siapa yang menabur kebaikan akan menuai kebahagiaan, wallahu a’lam bi shawaf. Dalam surat as-shaff di atas tadi dapat dilihat dengan jeli bahwasannya Al Qur’an sangat menuntut kita agar apapun yang kita ketahui mari kita sampaikan kepada saudara-saudara kita dan merealisasikannya dalam kehiduoan sehari-hari sebab Allah sangat membenci terhadap orang-orang yang menyampaikan suatu ilmu namun ia tidak melaksanakannya sendiri, dalam hadist Nabi, “Usamah Bin Zaid pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda “seseorang pada hari kiamat nanti ditemukan dan dicampakkan kedalam neraka, orang-orang itu berputar di neraka bagaikan seekor HIMAR yang berputar-putar pada tali pengikatnya. Disitu para penghuni neraka dikumpulkan, mereka berkata : wahai fulan, bagaimana keadaan kamu ? bukankah dahulu kamu menyuruh berbaut kebaikan dan melarang kemungkaran ? ia menjawab : dahulu aku menyuruh kalian berbuat kebaikan sementara aku tidak melaksanakannya”. Dapat disimpulkan bahwa seorang yang dianugerahi ilmu kepadanya maka hendaklah ia mengamalkan ilmunya tersebut namun bila mana ia menyampaikan ilmu tersebut dan dia sendiri tidak mengamalkannya maka amatlah besar kebencian Allah atasnya, diakhirat dia akan dicampakan kedalam neraka sementara ilmunya di kategorikan sebagai ilmu yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Nauzubillahi min zalik. Sebagai penutup uraian singkat ini semoga kita termasuk orang-orang yang dapat mengamalkan ilmu yang kita miliki dan berlindung kepada Allah dari sekelompok orang-orang yang mempunyai ilmu, ia menyampaikannya pada orang lain namun ia sendiri tidak mengamalkannya. Wallahu A’lam Bi Shawaf.
TAFSIR AL-KASYAF KARYA SYAIKH ZAMAKHSYARI I. Pembahasan A. Seputar Tafsir Al-Kasyaf Tafsir al-kasyaf merupakan salah satu dari sekian banyak tafsir-tafsir yang lahir dari para tokoh-tokoh mufasir, tafsir al-kasyaf merupakan hasil karya yang begitu popular dari syaikh zamakhsyari, yaitu muncul sekitar tahun 467-538 H. yang terdiri dari empat jilid dan setiap jilid ditempatkan sesuai dengan uruta surat dalam al-qur’an. B. Riwayat hidup syaikh zamakhsyari Syaikh Zamakhsyari memiliki nama asli atau nama panjang yaitu Abul Qosim Jarullah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari al-khawarizami. C. Karakteristik Tafsir Al-Kasyaf Untuk melihatseberapa jauh karakteristik tafsir al-kasyaf, maka dapat kita lihat dari aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan tafsir tersebut, seperti gaya bahasa yang dipakai, sumber penafsiran, kecenderungan (mazhab /aliran) dalam menafsirkan, daya kritisnya dan lain-lain. Dari segi linguistic (bahasa) Zamakhsyari adalah seorang mufasir yang sangat memperhatikan pendekatan bahasa, yang berpegang pada syair-syair arab kuno dalam menjelaskan makna kosa-kata dengan pendekatan ilmu nahwu. Disamping itu syaikh zamakhsyari sangat memperhatikan sistematika penulisan (dalam hal ini tentang syair) beliau mengurutkan syair-syair tersebut sesuai dengan huruf-hurufnya seperti urutan dalam kamus untuk mempermudah memahami maksud ayat al-qur’an. Dari segi konsistensi dalam penulisan, syaikh zamakhsyari adalah seorang yang konsisten dalam penulisan yaitu dalam menafsirkan ayat-ayat dalam al-Qur’an. D. Metode dan Sistematika Penafsiran Tafsir Al-Kasyaf dikenal sebagai tafsir yag bercorak ra’yi (tafsir bil ra’yi), yang dalam menafsirkan ayat beliau selalu memberikan pandangan dan pendapat beliau sendiri dengan diperkuat oleh perkataan dan sejarah dari pendahulunya atau para shahabat nabi dan kadang-kadang menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, juga menafsirkan ayat dengan hadis Nabi SAW. Tafsir al-kasyaf bisa dikategorikan dalam tafsir analisis (tahlili), yaitu ditandai dengan beliau menganalisa ayat al-qur’an dengan cara beliau yaitu pandekatan bahasa dan memberikan pendapat beliau tarhadap ayat tersebut. Dalam tertib penulisan atau sistematika penafsiran, pertama-tama beliau menjelaskan kedudukan surat yaitu tempat turunnya ayat dan jumlah ayat dalam sebuah surat, dilanjutkan dengan manafsirkan atau menjelaskan makna ayat perayat.

Selasa, 27 Maret 2012

ANTROPOLOGI

ANTROPOLOGI Menurut etnologinya kata antropologi berasal dari kata yunani “Antropo” yang berarti manusia dan “logy” atau “logos” berarti ilmu yang mempelajari tentang manusia Menurut Ralfh L Beals dan Harry Hoijen : 1954: 2 antropologi adalah ilmu yang mempelajarai manusia dan semua apa yang dikerjakannya. Ralfh L Beals dan Harry Hoijen : 1954: 2 Antropologi adalah ilmu yang mempelajarai manusia dan semua apa yang dikerjakannya Tulian Darwin ”The origin of spicies” Antropologi fisik berkembang pesat dengan melakukan penelitian-penelitian terhadap asal mula dan perkembangan manusia. Manusia asalnya monyet, karena makhluk hidup mengalami evolusi. Antropologi ingin membuktikan dengan melakukan berbagai penelitian terhadap kera dan monyet di seluruh dunia. William A. Haviland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. David Hunter: Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia. Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Di Tengah Gaung yang Kian Pudar... Oleh Indira Permansari http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/25/humaniora/3866298.htm ===================== Masih ingat Snouck Hurgronje? Snouck (1857-1936) adalah ilmuwan berkebangsaan Belanda yang menawarkan diri untuk memberikan gambaran lengkap tentang Aceh. Pada 1889, Snouck tiba di Pulau Jawa dan sejak itu ia meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia Belanda, khususnya Aceh. Dia mempelajari politik kolonial untuk memenangi pertempuran Belanda di Aceh. Sosok Snouck kontroversial. Bagi Belanda dan kaum orientalis, boleh jadi dia dianggap sebagai peneliti yang sukses. Namun, bagi rakyat Aceh, Snouck adalah sosok pengkhianat sejati yang telah memanipulasi mereka. Kisah Snouck adalah penggalan dari perkembangan antropologi di masa lalu. Saat Eropa mulai membangun koloni di benua lain, termasuk Asia, mereka mendapat berbagai tantangan dari warga asli; pemberontakan sampai iklim yang kurang cocok. Dalam menghadapi permasalahan itu, pemerintah kolonial berusaha mencari kelemahan suku-suku asli dan menaklukkannya. Mereka mencari bahan-bahan etnografi tentang suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan serta kebiasaan warga koloninya itu untuk kepentingan kolonisasi. Cerita tentang Snouck dapat dikatakan bagian dari tahapan itu. Pascakemerdekaan, antropologi menjadi kajian para intelektual di negeri sendiri dengan didirikannya Jurusan Antropologi Universitas Indonesia, setengah abad lampau. Tepatnya, di akhir September 1957, kajian antropologi hadir sebagai jurusan di lingkungan Fakultas Sastra UI, diprakarsai Profesor Koentjaraningrat. Dia pula yang mendorong berdirinya jurusan antropologi di berbagai universitas negeri lainnya di Indonesia. "Dalam perkembangannya, antropologi ternyata lebih dekat dengan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu humaniora sehingga (tahun 1983) antropologi di UI berpindah dari fakultas sastra ke fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP)," kata Jasmine Zaky Shahab, Ketua Departemen Antropologi, FISIP-UI. Bedanya dengan masa kolonial, di era pascakemerdekaan antropologi lebih dimaksudkan menjadi semacam alat bagi kita untuk belajar melihat dan mengenal diri sendiri. Bukankah antropologi pada intinya adalah ilmu yang mempelajari manusia, baik fisik maupun budayanya? Oleh karena itu, kata antropolog Achmad Fedyani Saifuddin, ada bidang ilmu yang mempelajari tentang antropologi fisik atau jasmani dan ada antropologi sosial budaya. "Yang disebut terakhir berkembang dengan baik di Indonesia. Budaya juga dalam artian luas; mulai dari adat istiadat, tradisi, nilai, cara pandang hidup, cara pandang terhadap lingkungan, hingga cara memandang dunia," ujarnya. Bagi Fedyani, masalah mengenal diri sendiri bukan perkara mudah. Perlu upaya lebih berat dan keras bagi Indonesia dibandingkan bangsa-bangsa lain, mengingat Indonesia berpenduduk sangat besar dan majemuk sehingga rentan disintegrasi. Dan itu merupakan bagian dari pergulatan para antropolog. Terutama untuk menghadapi tantangan yang kian berat dengan adanya permasalahan seperti kemiskinan, korupsi, konflik kepentingan, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan jurang generasi. Belum lagi fenomena global seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi serta meningkatnya komunikasi lintas-batas negara serta budaya. Pudar Akan tetapi, memasuki usia 50 tahun, gaung dari kajian antropologi seakan memudar. Hanya sedikit terdengar nama besar di bidang ini, terutama sepeninggal pakar antropologi Koentjaraningrat. Di tengah berbagai tantangan dan isu pembangunan, misalnya, peran para ahli antropologi juga seakan tenggelam. Bagi Jasmine, eksistensi ilmuwan antropologi di Indonesia tetap ada. Hanya saja, saat ini tidak terpusat pada satu tokoh seperti di era Koentjaraningrat. "Saat itu antropologi masih terbilang baru dengan sedikit orang yang menguasai ilmu itu. Sekarang sudah jauh lebih banyak dan terspesifikasi," ujarnya. Lain lagi pendapat James Danandjaja, pakar antropologi yang menekuni folklore. Ketidakmunculan lagi nama-nama besar, antara lain, dikarenakan para akademisi di bidang antropologi malas menulis sehingga tidak terukir dalam peta ingatan masyarakat pembaca. "Menulis merupakan monumen diri sendiri. Harus ada yang dihasilkan, baik tulisan, video, atau dokumentasi apa pun," ujarnya. Selain itu, menurut James, dahulu ahli antropologi lebih dilibatkan dalam program pembangunan. Koentjaraningrat, misalnya, masuk ke dalam struktur pemerintahan. Walaupun diakuinya, terpakainya kajian- kajian antropologi dalam program pembangunan masih dapat diperdebatkan. "Sekarang malah jauh berkurang. Padahal, departemen-departemen tertentu, seperti Departemen Sosial, dapat menggunakan manfaat dari antropologi," ujarnya. Bagi Iwan Tjitradjaja, Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi UI, "kekalahan" antropologi dari sektor lain antara lain karena eksekutif pembangunan cenderung memandang pembangunan sebatas pembangunan ekonomi. Padahal, secara retorika, sejak dua dekade lalu telah ditekankan pembangunan mementingkan sosial dan budaya. Praktiknya, secara teknis ekonomi tetap dikedepankan. "Dalam perencanaan sebetulnya para ahli antropologi telah dilibatkan, misalnya dalam feasibility studies. Sayangnya, banyak hasil studi yang tidak dimanfaatkan. Terkadang, para antropolog telah dilibatkan, namun saran-saran itu rawan masuk laci meja jika tidak sesuai dengan kepentingan," kata Iwan. Dia mencontohkan pentingnya arti kajian antropologi dalam persoalan kehutanan, penebangan liar, dan okupasi lahan yang telah terjadi luar biasa. Mulai tahun 1980-an, laju kerusakan hutan sekitar dua juta hektar dan secara teknis deforestasi kurang berhasil. Muncul konflik antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat hutan. Konflik lalu mulai meletupkan kekerasan. Ketidakberhasilan itu bukan semata masalah teknis, melainkan soal sosial budaya. Untuk memahami mengapa terjadi kerusakan hutan, kata Iwan, perlu dipahami dalam konteks dan dimensi budaya. "Dengan memahami kebudayaan, potensi, kebiasaan masyarakat, semua pihak bisa duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan. Terdapat apresiasi terhadap keberagaman. Warga desa umumnya tidak berpendidikan formal tinggi dan kerap dianggap bodoh oleh pengusaha atau pemerintah. Di sisi lain, warga desa tidak mengerti gaya dan penampilan hidup yang ditampilkan oleh aparat dan pengusaha yang terdidik dan orang perkotaan. Orang luar, bagi warga hutan, kerap dianggap sebagai penyebab terbatasnya akses mereka terhadap sumber daya alam. Apalagi gaya materialistis yang ditampilkan orang luar. Pengaruh itu menular dan menguat menjadi kecemburuan. Ini menimbulkan potensi konflik sosial," ujarnya. Di negara seperti Indonesia, persoalan yang muncul dari keberagaman suku bangsa, kelas ekonomi, dan kelas sosial menjadi rawan. Apalagi diwarnai ketimpangan penguasaan aset ekonomi. Antropologi yang mencermati kejadian di lapangan dan mendapatkan informasi langsung dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjalankan pembangunan yang berawal dari bawah dan tidak elitis. Manusia dikesampingkan Senyapnya gaung antropologi dalam pembangunan, menurut Achmad Fedyani, tak lepas dari kenyataan betapa selama ini pembangunan kerap mengesampingkan manusia dan budayanya. Seharusnya manusia ditempatkan sebagai subyek, mengingat arah pembangunan yang baik ialah untuk kesejahteraan rakyatnya: manusia! "Antropologi memang mempelajari suatu komunitas secara mendalam dan dari dekat. Akan tetapi, ia mempunyai kemampuan reflektif. Ibarat cahaya lampu yang ditutupi kertas berlubang- lubang, sebagian cahaya akan menembus lubang dan terpantul di sana-sini. Begitu juga dengan antropologi, suatu kasus yang dipelajari di suatu tempat dapat terjadi di tempat lain dan menjadi pembelajaran. Walaupun, tentu saja, solusinya tetap harus disesuaikan dengan aspirasi masyarakat dan tidak seragam," ujarnya. Lebih miris lagi, kebudayaan kerap kali didangkalkan menjadi sekadar adat istiadat dan kesenian. Padahal, budaya secara lebih luas ialah cara berpikir, pengetahuan, pandangan hidup, dan nilai-nilai. Jika para pengguna penelitian antropologi menggunakannya dengan tepat, antropologi akan sangat besar memberikan pengaruh. Saat ini Fedyani, misalnya, dilibatkan dalam Lembaga Demografi UI yang mempunyai ide untuk memasukkan aspek sosial budaya ke dalam dunia kesehatan. Bentuknya, berupa program non-gelar sosial budaya untuk seluruh fakultas kedokteran di Indonesia. Antropologi dijadikan satu mata kuliah. "Jangan salah, dokter juga harus mempunyai kompetensi sosial budaya. Begitu mereka bertugas di lapangan akan muncul beragam tantangan. Pemahaman sosial budaya akan sangat baik untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Dokter berhadapan dengan manusia dengan segala latar belakang budayanya. Kasarnya, kalau mereka menyuntik, itu bukan sekadar menyuntik benda fisik dan yang disuntik lalu sembuh," katanya. Di usia yang setengah abad, semoga saja kajian antropologi di Indonesia semakin dihargai. Tentu saja agar hidup kita bersama sebagai bangsa tidak diwarnai kesalahkaprahan.... ANTROPOLOGI : ILMU MANUSIA 1. Pengertian Antropologi Secara harfiah antropologi adalah ilmu (logos) tentang manusia (antropos). Definisi demikian tentu kurang jelas, karena dengan definisi seperti itu antropologi mencakup banyak disiplin ilmu seperti sosiologi, psikologi, ilmu polotik, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, biologi manusia dan bahkan humaniora, filsafat dan sastra yang semuanya mempelajari atau berkenaan dengan manusia. Sudah tentu hal ini tidak benar, palagi disiplin-disiplin ilmu lain tersebut justru sudah berkembang jauh lebih tua dari pada antropologi. Oleh karena itu pasti ada sesuatu yang khusus tentang manusia yang menjadi pusat perhatian antropologi. Sayang bidang permasalahan yang khusus dipelajari oleh antropologi tidak jelas batasnya, karena terlalu cepatnya pemisahan ilmu-ilmu cabang antropologi yang sangat berlainan bidang permasalahan yang dipelajari. Akibatnya tidak ada satupun definisi umum yang dapat disepakati oleh semua ilmuwan antropologi. Salah satu karakteristik yang paling banyak mendapat perhatian dalam antropologi adalah hubungan antara kebudayaan dan ciri-ciri biologis manusia. Masa ketergantungan manusia pada pengangkutan jalan kaki, ukuran otak yang besar, dan kemampuan menggunakan simbol-simbol adalah contoh beberapa ciri biologis yang memungkinkan mereka menciptakan dan mendapatkan kebudayaan. Untuk membantu mahasiswa dalam pelajaran awal, dapat dipergunakan rangkuman sebagai berikut: antropologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik hidup manusia dengan naberorientasi pada kebudayaan yang dihubungkan dengan ciri-ciri sosio-psikologi atau ciri-ciri biologis, melalui pendekatan yang holistik yaitu pendekatan dengan cara melihat atau memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh atau holistik. 2. Bidang Kajian Antropologi Sub-sub bidang kajian antropologi dapat dikategorisasi menurut dua cara, yakni menurut masalah yang dipelajari (budaya dan fisikal) dan menurut kurun waktu terjadinya fenomena yang dipelajari (lampau dan sekarang). Sub-sub bidang kajian antropologi dan cabang ilmu yang mempeljarinya menurut Stanley Wahburn, yaitu : a. Antropologi ragawi Mempelajari tentang evolusi manusia dan hubungan dengan hewan lain, khususnya primat, pada hakikatnya lebih dekat kepada biologi dari pada ilmu sosial. Namun demikian, para ilmuan antropologi budaya tergantung pada informasi dari ilmuwan ragawi mengenai unsur-unsur biologis yang unik pada manusia yang esensial dalam pembentukan kebudayaan. Sebaliknya para ilmuwan antropologi ragawi juga sangat tertarik pada ras manusia. Mereka mempergunakan berbagai konsep budaya untuk klasifikasi ras manusia. b. Antropologi budaya dan sosial Antropologi budaya mempelajari keseluruhan kebudayaan termasuk perubahan, akulturasi dan difusi kebudayaan sebaliknya konsep kunci dalam antropologi sosial adalah struktur sosial, bukan kebudayaan. Antropologi budaya memfokuskan diri pada pelacakan sejarah dari unsur-unsur kebudayaan, sedangkan antropologi sosial memfokuskan pada pencarian hukum-hukum dan generalisasi tentang lembaga-lembaga sosial. Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa antropologi budaya lebih bersifat deskriptif historik, sedangkan antropologi sosial lebih bersifat eksplanatori. c. Etnografi, etnologi, dan linguistik Adalah 3 sub-bidang antropologi yang sangat berdekatan satu dengan lainnya. Etnografi adalah sub-bidang antropologi yang mendeskripsikan secara akurat kebudayaan-kebudayaan yang masih hidup sekarang. Etnologi menaruh perhatian untuk membanding-bandingkan dan menjelaskan kesamaan dan perbedaan antar sistem kebudayaan. Linguistik dikhususkan untuk mendeskripsi dan menganalisis bahasa-bahasa yang dipergunakan dalam berbagai kebudayaan. d. Arkheologi atau prahistori Adalah sub-bidang antropologi yang berusaha merekonstruksi sejarah masyarakat yang tak punya sejarah tertulis dengan cara menggali”artifact” (objek yang berupa benda buatan manusia) dan unsur-unsur kebudayaan lainnya. 3. Pendekatan dalam Antropologi Studi kebudayaan adalh sentral dalam antropologi. Bidang kajian utama antropologi adalah kebudayaan dan dipelajari melalui pendekatan. Berikut 3 macam pendekat utama yang biasa dipergunakan oleh para ilmuwan antropologi. a. Pendekatan holistik Kebudayaan dipandang secara utuh (holistik). Pendekatan ini digunakan oleh para pakar antropologi apabila mereka sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan di pandang sebagai suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam keadaan terpisah dari keutuhan tersebut. Para pakar antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh generalisasi (simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu masyarakat, para pakar antropologi merasa bahwa mereka harus memahami dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang bersangkutan. b. Pendekatan komparatif Kebudayaan masyarakat pra-aksara. Pendekatan komparatif juga merupakan pendekatan yang unik dalam antropologi untuk mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis (pra-aksara). Para ilmuwan antropologi paling sering mempelajari masyarakat pra-aksara karena 2 alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap generalisasi dan teori harus diuji pada populasi-populasi di sebanyak mungkin daerah kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah mempelajari keseluruhan kebudayaan masyarakat-masyarakat kecil yang relatif homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang hidup di daerah-daerah terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan antropologi. c. Pendekatan historik Pengutamaan asal-usul unsur kebudayaan. Pendekatan dan unsur-unsur historik mempunyai arti yang sangat penting dalam antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok ilmu tingkah laku manusia. Para ilmuwan antropologi tertarik pertama-tama pada asal-usul historik dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada unsur-unsur kebudayaan yang unik dan khusus. 4. Metodologi dalam Antropologi Banyak metode yang dipergunakan oleh ilmuwan antropologi untuk mengembangkan aturan konsep, generalisasi, dan teori, tetapi baru beberapa yang telah mempunyai aturan konsep, baku, sedangkan yang lainnya lebih bersifat tradisi-tradisi khusus. a. kelangkaan metode yang baku Antropologi adalah ilmu yang relatif masih muda, sehingga belum berhasil mengembangkan metode-metode penelitian yang jelas dan sistematik. Dalam tulisan-tulisan etnografis dapat dilihat terlalu sedikitnya perhatian para penulis pada metode penelitian. b. ’Participant observation” Jika seorang ilmuwan antropologi sedang melakukan penelitian tentang suatu kebudayaan, maka ia hidup bersama orang-orang pemilik kebudayaan tersebut, memelajari bahasa mereka, ikut aktif ambil bagian dalam kegiatan sehari-hari masyarakat (komunitas) tersebut. c. ”Indepth interview” Wawancara mendalam (indepth interview) biasanya dipergunakan bersama-sama (kombinasi) dengan observasi mendalam berperanserta. Wawancara dilakukan secara informal dan non-sistematik. Jika ilmuwan sosiologi memilih secara acak (random) subyek yang diwawancarai, maka ilmuwan antropologi mewawancarai orang-orang yang telah kenal baik dan mempercayainya, atau oran-orang yang ia pandang dapat memberikan informasi yang akurat dan rinci tentang berbagai aspek kebudayaan yang diteliti. d. Upaya memperkecil kesalahan Informasi yang ia peroleh dari berbagai subyek seringkali berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan. Para ilmuwan antropologi berusaha meminimalkan kesalahan pada data mereka dengan jalan mengulang-ulang observasi atau wawancara, dan dengan melakukan ’cross-check’ dengan informan lain apabila mereka menemukan informasi yang bertentangan. e. Kecendrungan menggunakan metode tradisional Para ilmuwan antropologi hanya sedikit menggunakan kuesioner tertulis, terutama karena sebagian besar subjek mereka buta aksara. Walaupun para ilmuwan antropologi semakin banyak mempelajari kelompok-kelompok masyarakat modern, tetapi mereka cenderung tetap menggunakan metode-metode antropologi tradisional. 5. Konsep-konsep dalam Antropologi a. Kebudayaan (culture) Konsep paling esensial dalam antropologi adalah konsep kebudayaan. Pada tiap disiplin ilmu sosial terdapat konsep kebudayaan, yang didefinisikan menurut versi yang berbeda-beda. Kebudayaan adalah konsep yang paling esensial dalam antropologi budaya dan semua konsep-konsep yang lain dalam antropologi budaya pasti berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena itu konsep kebudayaan perlu mendapat perhatian khusus. b. Unsur kebudayaan Satuan terkecil dalam suatu kebudayaan disebut unsur kebudayaan atau ”trait”. Unsur-unsur kebudayaan mungkin terdiri dari pola tingkah laku atau artefak. Tiap kebudayaan mungkin terdiri dari gabungan antara unsur-unsur yang dipinjam dari masyarakat lain dan yang ditemukan sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan. c. Kompleks kebudayaan Seperangkat unsur kebudayaan yang mempunyai keterkaitan fungsional satu dengan lainnya disebut kompleks kebudayaan. Sistem perkawinan pada masyarakat indonesia adalah sebuah contoh kompleks kebudayaan. d. Enkultrasi Adalah proses dimana individu belajar untuk berperan serta dalam kebudayaan masyarakatnya sendiri. e. Daerah kebudayaan (culture area) Adalah suatu wilayah geografis yang penduduknya berbagi (sharing) unsur-unsur dan kompleks-kompleks kebudayaan tertentu yang sama. f. Difusi kebudayaan Adalah proses tersebarnya unsur-unsur kebudayaan dari suatu daerah kebudayaan ke daerah kebudayaan lain. g. Akulturasi Adalah pertukaran unsur-unsur kebudayaan yang terjadi selama dua kebudayaan yang berbeda saling kontak secara terus –menerus dalam waktu yang panjang. h. Etnosentrisme Adalah sikap suatu kelompok masyarakat yang cenderung beranggapan bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul dari pada semua kebudayaan yang lain. i. Tradisi Pada tiap masyarakat selalu terdapat sejumlah tingkah laku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan ddalam kurun waktu yang panjang disebut dengan tradisi j. Relativitas kebudayaan Tiap kebudayaan mempunyai ciri-ciri yang unik, yang tidak terdapat pada kebudayaan lainnya, maka apa yang dipandang sebagai tingkah laku normal dalam kebudayaan mungkin dipandang abnormal dalam kebudayaan yang lain. k. Ras dan kelompok etnik Ras dan etnik adalh dua konsep yang berbeda, tetapi sering dikacaukan penggunaannya. Ras adalah sekelompok orang yang kesamaan dalam unsur biologis atau suatu populasi yang memiliki kesamaan unsur-unsur fisikal yang khas yang disebabkan oleh keturunan (genitik) sedangkan etnik adalah sekumpulan individu yang merasa sebagai satu kelompok karena kesamaan identitas, nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama, pola tingkah laku yang sama, dan unsur-unsur budaya lainnya yang secara nyata berbeda dibandingkan kelompok-kelompok lainnya. 6. Generalisasi dalam Antropologi Kebanyakan generalisasi dalam antropologi didasarkan pada hasil studi terhadap sampel-sampel lintas budaya (cross-cultural samples) dan berkenaan dengan konsep paling esensial, ialah kebudayaan. Ada pula sejumlah generalisasi lintas-disiplin karena ilmuwan antropologi mempelajari banyak masalah yang juga menjadi pusat perhatian para ilmuwan lain. 7. Teori dalam Antropologi a. Teori Evolusi Deterministrik Adalah teori tertua dan dikembangkan oleh 2 tokoh pertama dalam antropologi, ialah Edward Burnet Tylor (1832-1917) dan Lewis henry Morgan (1818-1889). Teori ini berangkat dari anggapan bahwa ada suatu hukum (aturan) universal yang mengendalikan perkembangan semua kebudayaan manusia. Menurut teori ini setiap kebudayaan mengalami evolusi melalui jalur dan fase-fase yang sudah pasti. b. Teori Partikularisme Pada awal abad ke-20 berakhirlah kejayaan teori evolusionisme dan berkembanglah pemikiran yang menentang teori tersebut. Pemikiran baru tersebut dipelopori oleh Franz Boas (1858-1942) yang kemudian disebut teori partikularisme historik. Boas tidak setuju dengan teori evolusi dalam hal asumsi tentang adanya hukum universal yang menguasai kebudayaan manusia. Ia menunjukkan betapa sangat kompleksnya variasi kebudayaan, dan percaya bahwa terlalu prematur merumuskan teori yang universal. c. Teori Fungsionalisme Teori ini dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942) yang selama Perang Dunia II mengisolir diri bersama penduduk asli pulau Trobrian untuk mempelajari cara hidup mereka dengan jalan melakukan observasi berperanserta (participant observation). Ia mengajukan teori fungsionalisme, yang berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan. PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM Jamhari Ma'ruf Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap. Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya. Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya. Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi. Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia. Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia. Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia. Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan. Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting. Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai "international morality", suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada. Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning). Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka." Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia. Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai "international morality" berdasarkan pada kekayaan budaya dunia. Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati. Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami. Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama. Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi. Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu. Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru. Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial. Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable. Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern. Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia. Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial. Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting. Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition. Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara. Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta-- tetapi juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L. Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus. Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut. Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini. Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh. Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting. Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai "menjadi Melayu." Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam. Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia Muslim lainnya. Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan budaya. Islam popular dan Islam formal Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai "office" (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama. Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, "offical," gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai. Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular. Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang lain-lainnya. Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal. Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama tertentu. Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari'ah. Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat. Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban) dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social cohesion lebih besar. Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam. Agama Sebagai Sistem Budaya Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai: "A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic." Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia. Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal. Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal. Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu. Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam. Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia. Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.***